Drama politik pilkada serentak seluruh Indonesia tahun 2018  baru saja dimulai secara resmi. Para  calon kepala daerah propinsi maupun kota/kabupaten telah mendapat nomor urut peserta pilkada.  Partai-partai pengusung cakepda (calon kepala daerah) dan cawakepda (calon wakil kepala daerah) mulai secara terbuka begerak  menyosialisasikan atau mengkampayekan jagoan-jagoannya ke masyarakat.Â
Masa kampanye bisa jadi merupakan masa yang paling penting dalam proses pilkada. Karena disinilah para cakepda/cawakepda berusaha maksimal menampilkan dirinya untutk menarik perhatian dan meninggalkan pesan mendalam kepada masyarakat/calon pemilih, dengan harapan pada saat hari pemungutan suara nanti masyarakat memilih mereka.Â
Pilkada serentak 2018 ini diyakini oleh para pelaku politik/politisi dan  pengamat politik khususnya, menjadi pilkada yang sangat strategis untuk kepentingan Pilihan Presiden di 2019 nanti. Sementara bagi masyarakat umum tidak terlalu mempedulikan itu, siapapun pemimpinnya nanti, baik walikota/bupati, gubernur maupun presiden, yang penting bagi mereka adalah terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan yang merata, memadai dan pantas. Ini artinya siapapun pemimpinnya, apapun latar belakangnya dan darimanapun asalnya, masyarakat bisa menerima dan siap dipimpinnya walaupun tingkat penerimaan masyarakat berbeda-beda.Â
Ada yang terpaksa menerima karena pilihannya kalah, ada yang setengah terpaksa karena memilih tidak didasari oleh rasa senang kepada yang dipilih tetapi lebih kepada program kerjanya, atau  benar-benar menerima dengan senang hati karena pilihannya menang.
KPU RI sudah menetapkan bahwa ada 171 daerah di seluruh Indonesia yang mengikuti Pilkada 2018, dengan rincian 17 Propinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten. Pencoblosan Pilkada Serentak 2018 akan dilakukan pada tanggal 27 Juni 2018. Dari sejumlah 171 daerah peserta pilkada tersebut maka pilgub/pilkada di tiga propinsi di Pulah Jawa-lah yang  paling mendapat banyak perhatian dan liputan dari media massa cetak maupun elektronik  yang nasional maupun lokal. Ketiga propinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pusat perpolitikan tanah air sejak jaman pra-kemerdekaan hingga saat ini  ada di Pulau Jawa, bahkan kalau ditarik lebih jauh ke belakang lagi sudah dimulai sejak masa pemerintahan kerajaan Majapahit (1293 -- 1500 M). Â
Hal ini bisa dimengerti mengingat pusat pemerintahan memang ada di Pulau Jawa  di Jakarta. Oleh karena itulah  di setiap Pilkada DKI selalu ramai, panas, cenderung memainkan emosi negatif massa bukan akal sehat (seperti Pilkada 2017 yang lalu) yang akibatnya bisa memunculkan friksi atau ketidaknyamanan dalam berkehidupan sosial di masyarakat.Â
Partai-partai politik melalui calon kepala  daerah yang diusungnya berusaha sekuat mungkin mengerahkan sumber dayanya memenangkan Pilkada DKI. Ada anggapan bahwa yang bisa memenangkan Pilkada di Ibu Kota Negara RI akan mudah meraih kemenangan  pilkada-pilkada di luar DKI Jakarta (khususnya di tiga Propinsi besar di Pulau Jawa). Anggapan ini tidak sepenuhnya benar, buktinya di tahun 2013, PDIP yang menang di DKI Jakarta, tidak bisa memenangkan Pilgub Jatim maupun Jabar, meskipun  menang di Jateng.Â
Pilgub Jatim  2013 dimenangkan oleh Partai Demokrat sebagai motor utama, sementara di Pilgub Jabar 2013 pemenangnya adalah PKS sebagai motor utama.  Selain alasan Ibu Kota Negara ada  di Pulau Jawa, alasan yang tidak dapat dipungkiri adalah jumlah suara pemilih di Pulau Jawa paling banyak di seluruh Indonesia. Jumlah suara pemilih inilah yang jadi target utama diraih oleh partai-partai politik.Â
Berdasarkan data dari KPU jumlah suara pemilih terdaftar di Pulau Jawa pada tahun 2014 sebesar 57,19%, dengan rincian: Jabar 17,44%, Jatim 15.95%, Jateng 14.23%, Banten 4.24%, DKI Jakarta 3.88% dan DI Jogjakarta 1.45%. Ini artinya bila satu partai politik bisa mendapatkan  jumlah suara pemilih yang sangat signifikan, misalnya (di atas) 40%, maka peluang menang di Pilpres akan lebih besar. Â
Pilkada Serentak 2018 berdekatan dengan proses/tahapan Pilpres 2019, bulan Agustus 2018 yang akan datang dimulai pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Jadi tidak salah bila banyak yang berasumsi bahwa pilkada serentak 2018 ini menjadi tolak ukur keberhasilan pilpres 2019 nanti. Â Situasi ini pasti menjadi perhatian besar dan sangat penting bagi partai politik-partai politik dalam menentukan taktik atau strategi agar capres-cawapres yang diusungnya bisa menang di pilpres nanti.Â
Menarik memperhatikan gerakan-gerakan, sepak terjang, atau taktik politik yang dilakukan PDI di pilgub Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Meskipun PDIP di Pilgub Banten dan DKI Jakarta 2017 kalah, namun jumlah suara yang diperoleh cukup signifikan untuk dijadikan gambaran perolehan suara yang akan diperoleh dalam Pilpres 2019 yang akan datang.Â
Dari sumber KPU Provinsi Banten, suara yang diperoleh oleh PDIP beserta partai koalisinya (PPP dan Nasdem) di pilkada Banten 2017 sebanyak 2.321.323 Â (49.05%), beda tipis dengan pemenang dari Golkar dan partai koalisinya (Demokrat,PKB,Hanura, Gerindra,PKS,dan PAN) sebesar 2.411.213 (50.95%). Sementara di Pilgub DKI Jakarta 2017, berdasar sumber dari KPU DKI Jakarta, suara yang diperoleh PDIP dan partai koalisinya (Golkar,Nasdem,Hanura) adalah 2.351.141 (42.05%), Â sedangkan Gerindra dan koalisinya (PKS,PAN,PPP,PKB) sebagai pemenang, memperoleh suara 3.240.057 (57.95%).Â
Kemudian bila mengacu pada data Pilgub Jabar, Jateng dan Jatim tahun 2013 lalu, suara yang diraih oleh PDIP (tanpa partai koalisi) di Jabar adalah 5.714997 (28.4%) lebih sedikit dari  PKS dan partai koalisinya (PPP dan Hanura) sebagai pemenang yaitu sebesar 6.515.313 (32.39%),  tetapi lebih banyak dari Demokrat, PAN dan PKB yang meraih suara 5.007.522 (25.24%); di Jateng PDIP (tanpa partai koalisi) sebagai pemenang memperoleh suara 6.962.417 (48.82%), lebih banyak dari Partai Demokrat dan koalisinya (Golkar dan PAN) yang memperoleh suara 4.314.813 (30.26%) ataupun dari PKS dan koalisinya (Gerindra,PPP,PKB,PPP,Hanura dan PKPU) dengan suara perolehan 2.982.715 (20.92%); kemudian di Jatim PDIP (tanpa koalisi) memperoleh suara 2.220.069 (12.69%) lebih sedikit dari pemenang pilgub yaitu Demokrat plus Golkar,PAN,PKS,PPP,Gerindra, dan Hanura dengan suara 8.195.816 (47.25%) dan juga lebih sedikit dari PKB plus PKPI,PKPB,PMB,Partai Kedaulatan, dan PPNU  dengan raihan suara 6.525.015 (37.62%).
Data jumlah suara yang diraih oleh partai-partai pada  Pilkada di Pulau  Jawa tahun 2017 dan 2013 tersebut , menggambarkan peta jumlah suara yang kemungkinan akan diperoleh oleh partai-partai peserta pilkada 2018 ini dan pilpres 2019 nanti. Selain itu bisa juga diketahui partai politik mana saja yang menjadi pesaing utama PDIP, khususnya dalam Pilpres 2019 nanti. Seperti diketahui bersama, PDIP sebagai partai penguasa pemerintahan dan parlemen (DPR), saat ini didukung oleh parpol koalisi: Golkar,Nasdem,PKB,PPP,Hanura, dan PAN (PAN mendukung dengan satu kaki). Â
Parpol lain Gerindra, PKS dan Demokrat bukan pendukung pemeritah/PDIP dan penguasa parlemen/DPR, terlebih Gerindra dan PKS yang jelas memposisikan diri sebagai partai oposisi. Partai-partai pendukung PDIP tersebut, bila tidak ada peristiwa politik tertentu, diyakini akan tetap dan terus mendukung PDIP yang mengusung lagi Ir.H.Joko Widodo sebagai calon presiden 2019-2024.  Mereka akan berkompetisi dengan Gerindra dan PKS yang kemungkinan besar akan mengusung  Prabowo sebagai calon presiden 2019-2024.Â
Mengingat sangat strategisnya Pilkada 2018 di tiga propinsi Jabar, Jateng, dan Jatim untuk kepentingan Pilpres 2019, maka PDIP menerapkan taktik tertentu yang efektif  tetapi  mungkin dianggap remeh oleh Gerindra, PKS, dan PAN, yakni taktik political clinch 'rangkulan politik'.  Meskipun kalah dalam Pilgub 2017 di DKI Jakarta dan Banten, di Pilkada DKI 2017 dihajar habis-habisan dengan praktek politik tidak sehat  berupa isu SARA, perolehan suara PDIP tetap tingggi dan sangat signifikan.Â
Ini bisa menjadi semacam modal awal perolehan suara untuk pilpres 2019 nanti, lebih-lebih itu belum ditambah suara dari parpol pendukung PDIP di pemerintahan dan parlemen saat ini. Parpol-parpol yang berseberangan dengan PDIP dalam Pilkada 2017 di Banten dan DKI Jakarta akan mengalihkan dukungan suaranya ke PDIP di Pilpres 2019 nanti, yaitu PKB, Hanura, PPP, dan Golkar.Â
Partai-partai politik yang berseberangan dengan PDIP dalam Pilkada 2017 di Banten dan DKI Jakarta ini, faktanya adalah pendukung PDIP di pemerintahan dan parlemen saat ini. Ini menunjukkan bahwa PDIP mampu merangkul mereka sebagai mitra koalisi di Pilpres 2019 nanti. Dan ini akan telah dan sedang berlanjut dalam Pilgub 2018 di Jabar, Jateng, dan Jatim.
Di Pilgub Jabar 2018, kita ketahui parpol-parpol pendukung pemerintahan Jokowi (PDIP) berseberangan dengan PDIP sebagai partai penguasa pemerintahan. Mereka adalah PPP,PKB, Nasdem, dan Hanura yang mengusung Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum sebagai cagub/cawagub; Golkar dan Demokrat mengusung Deddy Mizwar dan Dedi Mulyadi sebagai cagub/cawagub. Gerindra, PKS, dan PAN parpol yang bukan pendukung pemerintah mengusung Sudrajat dan Ahmad Syaikhu sebagai cagub/cawagub. Â Sementara PDIP sendirian mengusung cagub/cawagub TB Hasanudin dan Anton Charliyan.Â
Mencermati data cagub-cawagub dan partai pengusungnya serta  perolehan suara pada Pilgub 2013 lalu, dan juga mengacu pada parpol-parpol pendukung PDIP di pemerintahan dan parlemen, maka bisa diperoleh gambaran bahwa PDIP di Provinsi Jabar, terkait dengan perolehaan suara di Pilpres 2019, pada dasarnya akan telah meraih jumlah suara yang terbanyak lebih dari 50%  (sama seperti di Provinsi Banten dan DKI Jakarta). Jadi meskipun misalnya cagub-cawagub yang diusung oleh PDIP nanti kalah atau yang menang adalah cagub-cawagub yang diusung oleh PPP,PKB,Nasdem, dan Hanura atau juga yang menang adalah pasangan yang diusung Golkar dan Demokrat, pada dasarnya tidak merisaukan PDIP. Bahkan sekalipun nanti yang menang adalah cagub-cawagub yang diusung Gerindra,PKS, dan PAN, juga tidak merisaukan PDIP.Â
Target utama PDIP adalah meraih jumlah suara pemilih sebanyak-banyaknya yang  berasal dari pemilih setia PDIP ditambah dari  Golkar,PPP,PKB,Nasdem, dan Hanura sebagai pendukung PDIP di pemerintahan dan parlemen. Gambaran situasi politik Pilgub Jabar 2018 ini berlaku juga untuk Pilgub Jateng dan Jatim 2018. Â
Di Pilgub Jateng 2018 sesuai dengan pengalaman pilkada dan pilpres serta pileg yang lalu-lalu maka PDIP kemungkinan besar akan tetap muncul sebagai peraih jumlah suara terbanyak dengan kata lain akan menjadi pemenang di Pilgub 2018. Jawa Tengah adalah kandang banteng, begitu kata orang-orang, sepertinya anggapan ini tidak salah. Jawa Tengah bagai lumbung suara abadi bagi PDIP, sebagai contoh ketika Pilgub 2013 lalu.Â
Pada saat itu Bibit Waluyo selaku petahana diusung oleh Demokrat,Golkar dan PAN (saat Pilgub Jateng2008 beliau diusung oleh PDIP), namun di Pilgub 2013 bercerai dengan PDIP Â dan akhirnya kalah dengan pasangan yang diusung PDIP sendirian tanpa dukungan partai lain yaitu Ganjar Pranowo dan Heru Sudjatmoko. Â
Di Pilgub Jateng 2013 itu , PDIP meraih suara 6.962.417 (48.82%) hampir 50%  dari total suara. Bisa kita bayangkan begitu besarnya jumlah suara pemilih setia PDIP meskipun tanpa dukungan partai politik lain, apalagi bila ditambah dengan jumlah suara pemilih dari parpol  pendukung di pemerintahan maupun parlemen saat ini (PKB,PPP,Golkar,Hanura dan Nasdem).  Jumlah suara pemilih yang begitu banyak ini menjadi modal awal bagi PDIP di Pilpres 2019, dengan kata lain suara pemilih di Provinsi Jawa Tengah sudah dijaga dan dirawat dengan baik oleh PDIP demi keberhasilan di Pilpres 2019. Khusus di Jawa Tengah, sepertinya sangat tidak mudah bagi parpol-parpol lain mengungguli perolehan suara PDIP di Pilgub Jateng 2018 ini maupun di Pilpres 2019 nanti bila tidak berkoalisi dengan PDIP baik di pemerintahan maupun di parlemen,
Situasi di Pilgub Jatim 2018 juga tidak kalah menarik. Jawa Timur biasa dianggap basis PKB/PPP yang sumber suara utamanya dari warga nahdiyin. Parpol manapun yang tidak berkoalisi dengan PKB/PPP kecil kemungkinan meraih suara yang maksimal, contohnya adalah PDIP sendiri yang di pilgub 2013 maju sendirian tanpa koalisi dengan PKB/PPP sebagai akibatnya jumlah suara yang diraih hanya 12,69%, kalah jauh dari PKB maupun PPP beserta parpol-parpol koalisinya. PKB yang berkoalisi dengan parpol kecil daerah di Pilgub 2013 meraih  jumlah suara terbanyak ke dua sebesar 37,62%. Dan PPP yang berkoalisi dengan Demokrat,PKS,PAN,Hanura,dan Gerindra meraih jumlah suara terbanyak yaitu sebesar 47.21%. Â
Dalam Pilgub Jatim 2018 ini PDIP menerapkan taktik yang berbeda dengan Pilgub 2013 yang lalu, ini demi keberhasilan/kemenangan pada Pilpres 2019, yang mengusung lagi Bapak Ir.H.Joko Widodo sebagai Presiden periode 2019-2024. Kali ini PDIP berkoalisi dengan PKB ditambah Gerindra dan PKS mengusung Saifullah Yusuf dan Puti Guntur Sukarno sebagai Cagub dan Cawagub.  Dengan dukungan suara pemilih dari  PKB maka jumlah perolehan suara PDIP untuk keberhasilan Pilpres 2019 akan meningkat pesat,  sekalipun tanpa dukungan suara pemilih dari Gerindra dan PKS.Â
Jika pasangan Gus Ipul-Puti Guntur Sukarno menang maka itu adalah bonus politik. Demikian pula bila yang menang pasangan Khofifah Indar Parawansa dan Emil Elistianto Dardak ( diusung oleh Demokrat,Golkar,PPP,Nasdem,Hanura,PAN), PDIP tidak merisaukannya karena Golkar,PPP, Nasdem dan Hanura adalah parpol pendukung PDIP di pemerintahan maupun parlemen. PDIP meyakini bahwa suara pemilih dari parpol pengusung Khofiffah dan Emil Dardak juga akan menjadi salah satu sumber suara bagi Joko Widodo pada Pilpres 2019.
Dari paparan di atas bisa terlihat  cukup jelas bahwa bagi PDIP, mendapatkan kursi gubernur atau wakil gubernur bukan target utama. Kalau toh nanti ada pasangan cagub-cawagub yang diusung PDIP menang di Pilgub 2018 maka itu adalah semacam insentif/bonus politik. Pilkada serentak 2018 bagi PDIP hanyalah alat untuk meraih jumlah suara semaksimal-maksimalnya demi kemenangan/keberhasilan di  Pilpres 2019.Â
Target utama PDIP adalah ingin mempertahankan kekuasaan politik untuk mengatur pemerintahan/negara dan parlemen dengan cara mengusung lagi Ir.H.Joko Widodo sebagai Calon Presiden RI 2019-2024. Oleh karena itulah, PDIP terus merawat dan menjaga sebaik-baiknya dengan parpol-parpol pendukungnya, misalnya dengan  memberi kursi menteri di kabinet pemerintahan atau kedudukan penting di lembaga-lembaga pemerintah tertentu seperti di BUMN, atau  bisa juga memberi kursi untuk menjadi duta besar, dan lain-lain. Pun, dari paparan di atas bisa terlihat potensi jumlah suara pemilih yang begitu banyak yang dimiliki oleh PDIP,  potensi jumlah tersebut sekaligus sebagai modal awal untuk kepentingan Pilpres 2019. PDIP berusaha semaksimal mungkin meraih jumlah suara sebanyak-banyaknya di Pilgub Jabar,Jateng, dan Jatim 2018 ini.Â
Bila suara pemilih di Pulau Jawa dikuasai secara mutlak oleh PDIP dan parpol-parpol pendukungnya, maka optimisme PDIP untuk memenangkan Pilpres 2019 akan semakin besar.  Jika ini nanti benar-benar terjadi maka pesaing utama PDIP, Gerindra dan PKS akan semakin berat bersaing di Pilpres 2019. Demikianlah paparan  taktik 'rangkulan politik' dari PDIP pada Pilgub Serentak 2018 di Pulau Jawa demi  meraih kemenangan di Pilpres 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H