Badan Perencanaan Pembangunan Kota pasti tidak menjalankan kaidah konservasi dalam pemperbaiki makam bersejarah, prinsip-prinsip yang seharusnya dengan mudah bisa diunduh di banyak modul proyek konservasi dan revitalisasi itu justru diabaikan.
Akibatnya, output-nya fatal, karena faktanya proses di lapangan justru kontraproduktif dari semangat konservasi itu sendiri. Serampangan.
Entah di mana peran Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya dalam posisi ini? seharusnya kumpulan para ahli itu juga bertanggungjawab.Â
Yang lebih fatal lagi, Makam Belanda seluas 6 hektare ini tidak menyandang status bangunan cagar budaya, padahal TACB Surabaya sudah lebih dari 20 tahun mengkajinya. Entah apa alasannya tidak segera mengeluarkan rekomendasi bangunan cagar budaya untuk Makam Peneleh. Akibatnya, perusakan ini tidak bisa dijerat pidana.
Kaidah konservasi itu secara sederhana meliputi upaya-upaya perencanaan dengan pengumpulan database, identifikasi masalah, memetakan pola pendekatannya, pembuatan gambar teknik, menerima masukan dari seminar, baru kemudian aksi yang terukur secara bertahap.
Belum lagi cara penanganannya yang hati-hati. Misalnya pemilihan jenis cat yang bisa bernafas, hingga penggantian bahan rusak dengan bahan sejenis yang harus sama persis.
Jika ada perencanaan, cungkup-cungkup yang rusak itu harusnya dikembalikan dengan direkonstruksi. Tidak malah seperti sekarang, barang yang dinilai rusak malah disingkirkan ke tempat lain.Â
Atau jika kaidah konservasi dijalankan, tidak mungkin pelaksana lapangan dengan sengaja menimpa rel lantai pagar dengan paving sehingga menghilangkan fungsi pintu utama. Jika perencanaannya ada, tidak ada perdebatan tentang bagus tidaknya pilihan warna, mana yang bisa dibongkar dan mana yang dipertahankan.
Ini belum lagi membahas bagaimana teknis pemanfaatan pasca revitalisasi.