Rute utara-selatan sudah beres, kali ini lintasan timur barat mulai digarap di tahun yang sama. Yaitu menghubungkan Gubeng di timur dan Sawahan di barat. Dibangunlah jalur mulai di ujung barat Jl Sulawesi di Gubeng, bercabang di depan Stasiun Gubeng, melewati Jl Pemuda- Jl Gubernur Suryo- Jl Simpang, Jl Embong Malang- Jl Tidar dan berakhir di Sawahan.Â
Di ujung timur itu kemudian dibangun dipo trem terbesar plus pembangkit listriknya. Hingga kini pembangkit listrik itu masih digunakan sebagai gardu induk PLN Sawahan. Sedangkan Dipo trem mangkrak dan menjadi pergudangan. Â
Hingga peresmian jaringan trem listrik pada 15 Mei 1923, semua area kota sudah tercover angkutan massa berbasis rel. Saat itu, beralan kaki dari kampung-kampung dan perumahan ke jalur trem tidak lebih 1 kilometer.Â
Efektif menghubungkan tempat tinggal dengan semua aktifitas bisnis, sekolah, dan perkantoran. Juga terintegrasi dengan angkutan  massal lain.Â
Saat itu, Surabaya dianggap kota ideal. Sebagai kota berpenduduk 187.903 pada sensus 1920, jalanan kota relatif luas, area kota baru seperempat dari wilayah sekarang, namun angkutan massalnya sudah modern. jadwalnya tepat. Tiap 30 menit trem pasti datang.Â
Kisah Kemundurannya
Zaman Jepang menjadi awal kemunduran trem di Surabaya.  Jalur Karangpilang-Krian terpaksa mati akibat semua rel dibongkar pekerja romusha Jepang. Termasuk semua jalur kereta api antarkota yang sebelumnya dua jalur menjadi satu jalur hingga sekarang.
Paska kemerdekaan masa depan trem semakin  terpuruk. Akibat kirisis yang berakibat tidak adanya perawatan dan modernisasi teknologi, trem listrik mulai menemui ajalnya tahun 1968.
Secara bertahap hingga  1969, trem listrik dihentikan operasinya. Kabel listrik yang berada di atas jalur trem dicabut. Jalur jalur rel sebagian juga ditutup aspal.Â
Saat itu yang tersisa hanya jalur trem uap rute Wonokromo hingga Ujung. Namun akibat urbanisasi yang masif, sekaligus kebijakan Orde Baru yang membuka impor kendaraan pribadi dari Jepang pada awal 1970an, memukul nasib trem uap. Â