Menangis Saat Upacara di Dalam Penjara
Bung Tomo memang tidak gugur di perang akbar 10 November 1945. Bahkan paska perang Surabaya itu, karirnya berkibar. Dia sempat 'menikmati' buah perjuangannya.Â
Dilantik menjadi salah satu dari lima pucuk pimpinan TNI masa agresi militer, Bung Tomo juga pernah menjadi menteri pada 1955-1956, dan anggota DPR pada 1956-1959. Namun, ironisnya, kenikmatan itu tidak berlangsung lama, belakangan dia berseteru dengan Bung Karno.
Bung Tomo pernah menyatakan bahwa Sukarno dan kabinet Ali Sastroamidjojo telah gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ia juga pernah menggugat Sukarno ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960 karena membubarkan DPR melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Padahal dua tokoh ini adalah karib perjuangan yang sudang dianggap sebagai kakak beradik. Â
BACA JUGA : Kisah Bung Tomo yang Membakar  Surabaya (1)Â
BACA JUGA : Kisah Bung Tomo yang Membakar  Surabaya (2)Â
Peristiwa paling epik adalah di masa Orde Baru, suatu pagi, 17 Agustus 1978 di lapangan Penjara Nirbaya Pondok Gede, Bekasi, seorang pria tua memberi hormat sambil matanya berkaca-kaca, ketika melihat merah putih dikerek dan lagu Indonesia Raya dinyanyikan. Tahanan 58 tahun ini bahkan terlihat menangis.
Usai upacara, Suny mendekati lelaki berkulit keriput yang rambutnya sudah beruban itu. Suny mendekatkan mulutnya ke telinga kakek ini. "Mengapa Bung menangis? Biasa sajalah," kata Suny. Dia merasakan gejolak sang kakek. Dia mencoba menenangkan dengan mengutip kata bijak tokoh Vietnam Ho Chi Min: "Dari penjara justru muncul orang-orang besar."
Tetapi, tampaknya kalimat ini salah alamat. Seandainya Suny berbicara dengan seorang aktivis mahasiswa yang dipenjara mungkin pas, karena punya masa depan. Namun, yang dihadapinya ini adalah seorang lelaki yang sudah melewati masa produktif, usianya lebih dari setengah abad.
Sepanjang hidup dipenuhi kisah-kisah heroik. Bahkan, di usia paling produktif, saat umur 25 tahun, dia pernah 'membakar' Surabaya, memimpin agitasi dari corong radio, membuat semuanya terbakar semangatnya. Namanya menjadi legenda, fotonya dipajang dimana mana setiap 10 November.
Suny pagi itu sedang berbicara dengan Bung Tomo. Si Bung sudah tidak berapi-api lagi seperti suaranya di corong radio itu. Dia lebih gemuk. Si Bung bukan menjadi juru cerita perjuangan dalam lazimnya upacara bendera 17 Agustus ketika Suny melihatnya di penjara Nirbaya.
Bung Tomo menjadi bagian dari barisan peserta upacara. Di penjara yang dipenuhi tahanan PKI, Bung Tomo menjadi pesakitan, karena terseret peristiwa penolakan pembabnguan  Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dia mengritik keras praktik korupsi Soeharto yang makin terang-terangan. Baginya ulah pemimpin semacam ini adalah penghianatan terhadap perjuangan. Â
Selain Bung Tomo, anak keduanya, Bambang Sulistomo juga 'diinapkan' di penjara yang sama. Bambang saat itu menjadi mahasiswa UI. Dia sejak lama tidak suka praktik korupsi Soeharto. Namun, akibatnya, si Bung dikirim ke penjara ujung timur Jakarta ini tanpa proses pengadilan. Lantaran catatan itulah, gelar pahlawan tidak bisa diberikan kepada Bung Tomo, sampai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalu.
"Bapak memang orang yang keras kepala. Beliau selalu membandingkan peristiwa sekarang dengan nilai nilai perjuangan," kata anak kedua Bung Tomo, Bambang Sulistomo kepada saya.
Oleh karena itu, tidak heran jika di zaman Sukarno dan Soeharto, si Bung dipenjara gara-gara suaranya dianggap menghardik sang presiden yang dianggap menghianati perjuangan.
Namun, akhir hidupnya begitu tragis, lelaki kelahiran Kampung Blauran, 3 Oktober 1922, ini nyaris tidak berpolitik sekeluar dari penjara. Dia konsetrasi merawat anaknya.
Cita citanya hanya satu: Menjadikan semua anaknya menempuh jenjang pendidikan setinggi-tingginya dan bekerja sebaik-baiknya. "Itu saja," pungkas Bambang.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H