Suny pagi itu sedang berbicara dengan Bung Tomo. Si Bung sudah tidak berapi-api lagi seperti suaranya di corong radio itu. Dia lebih gemuk. Si Bung bukan menjadi juru cerita perjuangan dalam lazimnya upacara bendera 17 Agustus ketika Suny melihatnya di penjara Nirbaya.
Bung Tomo menjadi bagian dari barisan peserta upacara. Di penjara yang dipenuhi tahanan PKI, Bung Tomo menjadi pesakitan, karena terseret peristiwa penolakan pembabnguan  Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dia mengritik keras praktik korupsi Soeharto yang makin terang-terangan. Baginya ulah pemimpin semacam ini adalah penghianatan terhadap perjuangan. Â
Selain Bung Tomo, anak keduanya, Bambang Sulistomo juga 'diinapkan' di penjara yang sama. Bambang saat itu menjadi mahasiswa UI. Dia sejak lama tidak suka praktik korupsi Soeharto. Namun, akibatnya, si Bung dikirim ke penjara ujung timur Jakarta ini tanpa proses pengadilan. Lantaran catatan itulah, gelar pahlawan tidak bisa diberikan kepada Bung Tomo, sampai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalu.
"Bapak memang orang yang keras kepala. Beliau selalu membandingkan peristiwa sekarang dengan nilai nilai perjuangan," kata anak kedua Bung Tomo, Bambang Sulistomo kepada saya.
Oleh karena itu, tidak heran jika di zaman Sukarno dan Soeharto, si Bung dipenjara gara-gara suaranya dianggap menghardik sang presiden yang dianggap menghianati perjuangan.
Namun, akhir hidupnya begitu tragis, lelaki kelahiran Kampung Blauran, 3 Oktober 1922, ini nyaris tidak berpolitik sekeluar dari penjara. Dia konsetrasi merawat anaknya.
Cita citanya hanya satu: Menjadikan semua anaknya menempuh jenjang pendidikan setinggi-tingginya dan bekerja sebaik-baiknya. "Itu saja," pungkas Bambang.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H