Pakai Pemancar Curian dan Frekwensi Berubah-Ubah
Bung Tomo akhirnya memilih jalannya sendiri. Lepas dari induk organisasinya, Pemuda Republik Indonesia (PRI), Menyempal dari komando Jakarta, agar menerima kedatangan Sekutu untuk melucuti Japang. Â Bung Tomo membentuk barisan kecil, bermodal kemampuannya berorasi, dia memilih jalan pelawanan dengan bentuk agitasi melalui corong radio.
BACA SEBELUMNYA : Kisah si Bung yang 'Membakar' Surabaya (1)
Dari kamar kecil di rumah Jl Biliton 7, Si Bung seperti membangun kemarahan, membakar Surabaya. Kelompok garis keras. "Pidatoku mulai kubaca. Aku lupa bahwa aku sedang berada sendirian di dalam studio. Seolah-olah di mukaku ada beribu-ribu, bahkan puluhan ribu orang yang mendengarkan pidatoku. Seakan-akan pendengarku itu seorang demi seorang kudekati dan kupegang bahunya, kuajak waspada, bersiap, menghadapi bahaya yang mendatang....
Tak dapat kulukiskan betapa gembiraku, ketika selesai aku membaca. Hampir tak kubersihkan peluh yang membasahi mukaku.... Aku mendengar beberapa orang di antara mereka itu berkata: "Tidak berbeda dengan Bung Karno'."
Kalender tercatat 14 Oktober 1945. Jarum jam berhenti di angka 19.30 malam. Saat itulah pertama kali Bung Tomo berbicara di corong Radio Pemberontakan Rakyat Indonesia. Dan itulah kali pertama Radio Pemberontakan tersebut mengudara. Namun saat itu pemancarnya masih meminjam Radio Surabaya (sekarang RRI). Jarak rumah di Jalan Biliton dengan gedung Radio Surabaya kira-kira satu kilometer.
Ketika radio pemberontakan ini mengudara, sejak saat itulah Bung Tomo tidak hanya menjadi buruan tentara Jepang dan Inggris, namun juga pemimpin pusat. Sebab, cara Bung Tomo ini dianggap kontraproduktif dengan upaya pusat yang memilih upaya perundingan paska Jepang kalah padam perang dunia ke dua. Upaya yang bertujuan tidak timbul korban jiwa. Â
Cerita Pendirian Radio
Dua hari sebelumnya, Bung Tomo mengajak empat orang sejawatnya untuk menyampaikan gagasannya tentang perlunya memiliki radio sendiri yang independen. Keempatnya adalah Abdullah, Asmanu, Samiadji, dan Sumarno. Di rumah ini, hanya diterangi beberapa lilin. Dia menyatakan, memimpin pemberontakan sendiri tanpa melibatkan republik, jika sewaktu-waktu Inggris menang dan meminta pertanggungjawaban, maka pelopor pemberontakan ini, kata Bung Tomo, harus bertanggung jawab.Â
"Jangan sekali-sekali menyangkutkan pemerintah pusat dalam pemberontakan ini," katanya sambil memejamkan mata. Permintaan itu disetujui keempat temannya. Sejak saat itulah mereka berlima menyatakan diri menolak kedatangan Inggris yang berdalih hanya untuk melucuti Jepang. Sikap penolakan inilah yang bertentenangan dengan kebijakan pusat. Esok harinya, surat Kabar Suara Rakjat melaporkan terbentuknya pucuk pimpinan pemberontakan dari markas yang ditulisnya sangat dirahasiakan.
Karena latarbelakangnya sebagai wartawan, dia memilih melawan melalui siaran radio. Alasan lainnya adalah radio-radio yang ada saat itu adalah milik pemerintah, sehingga tentu tidak bisa membawa pesan siara di luar kebijakan pusat. Â