Hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah faktor personalitas dan gaya kepemimpinan sang presiden dalam memimpin pemerintahan. Dalam presidensialisme setengah hati ini, diperlukan sosok presiden yang mempunyai kapasitas kuat dalam kepemimpinan, terampil dalam mengelola koalisi, serta mampu menjalin komunikasi efektif dengan oposisi. Lebih penting dari semua itu adalah semangat yang kuat melakukan kerja besar untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Mengangkat dan Memberhentikan Anggota Kabinet
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu keistimewaan yang diberikan kepada seorang presiden dalam sistem pemerintahan presidensial adalah memimpin langsung pemerintahan yang diangkat olehnya, dalam bahasa yang lebih sederhana adalah presiden mempunyai hak prerogatif dalam mengangkat dan memberhentikan anggota kabinet.
Hal itulah yang kemudian membuat wacana reshuffle kabinet yang menguat beberapa waktu terakhir merupakan ujian bagi kapasitas kepemimpinan seorang Presiden Joko Widodo. Apakah wacana tersebut merupakan murni berasal dari inisiatif dan kehendaknya sendiri atau justru merupakan tekanan dari koalisi partai pengusung yang dalam hal ini adalah KIH. Sebagai partner pemerintah, sah-sah saja bila KIH memberikan masukan. Akan tetapi, keputusan apakah akan melakukan reshuffle atau tidak tetap berada pada tangan presiden.
Menurut Yunarto Wijaya, pengamat politik yang sekaligus sebagai Direktur Eksekutif Charta Politika, paling tidak ada tiga faktor yang berpengaruh bagi seorang presiden termasuk Jokowi dalam mengangkat atau berhentikan kabinetnya, ia menyebut ketiga faktor tersebut dengan istilah 3 C, yaitu Competency, Chemistry dan Coalition. Syarat pertama dan utama dari seorang menteri adalah mempunyai kompetensi, baik kompetensi yang bersifat soft, hard maupun technical competency.
Kompetensi merupakan karakter asasi yang mendasari seseorang dalam berpikir, bersikap dan berperilaku dalam berbagai jenis situasi. Kompetensi yang dimiliki oleh seorang calon menterti dapat digunakan oleh presiden untuk memprediksi kinerjanya di masa yang akan datang. Seorang menteri merupakan pembantu presiden dalam menjalankan tugasnya, posisinya sangat strategis karena ia merupakan fungsi yang akan menjalankan semua rencana pembangunan yang dimiliki oleh seorang presiden. Karena itu, tidak cukup hanya dengan mempunyai kompetensi, seorang menteri juga harus mempunyai chemistry atau “hubungan kimia jiwa” yang baik dengan sang presiden.
Hubungan kejiwaan yang dapat menimbulkan rasa saling percaya diantara presiden dan kabinetnya, presiden menunjukkan kepercayaannya sedangkan para menteri menunjukkan kinerja dan integritasnya. Chemistry yang terbangun dengan baik membuat seorang presiden dapat dengan mudah menjalankan fungsi kepemimpinannya terhadap para menteri; mempengaruhi mereka, mengarahkan, memberi stimulasi, atau bahkan memberi reward dan funishment.
Sebenarnya, kompetensi yang dimiliki oleh para menteri dan hubungan kimia jiwa yang baik antara presiden dan menteri tersebut dapat dikatakan sebagai modal berharga untuk membangun kinerja yang positif, tetapi keberadaan koalisi partai pendukung pemerintah mempunyai peran strategis dalam menge-goal-kan program dan kebijakan pemerintah di parlemen, serta mengkonsolidasikan dukungan publik, karena itu pengangkatan anggota kabinet, selain mempertimbangkan kompetensi dan chemistry, tetap harus mempertimbangkan keterwakilan partai politik anggota koalisi.
Epilog
Presiden Joko Widodo harus mampu menyeimbangkan antara ketiga faktor tersebut; competency, chemistry dan coalition. Kompetensi seharusnya menjadi faktor utama dalam menentukan siapa kabinetnya, sedangkan chemistry dan coalition merupakan faktor pendukung yang tetap diperlukan sesuai dengan proporsinya. Jokowi mempunyai hak prerogatif untuk melakukan atau tidak melakukan reshuffle kabinet, kemudian pada saat yang sama, partai politik pendukung boleh saja melakukan manuver sedemikian rupa untuk mempengaruhi pikiran, sikap dan kebijakan seorang presiden.
Kebijakan reshuffle kabinet dapat dianggap sebagai adu kekuatan antara kepemimpinan Presiden Jokowi dan KIH serta pihak lain yang berkepentingan, dari sana kemudian terlihat seberapa kuat kapasitas kepemimpinan seorang Jokowi, dan seberapa terampil ia dalam mengelola dan membangun koalisi, serta seberapa efektif komunikasi yang dibangunnya dengan kelompok oposisi. Bila kemudian kebijakan reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Joko Widodo merupakan sebuah keterpaksaan akibat intervensi dari partai politik pendukung, maka Presiden Jokowi dapat dikatakan belum melewati ujian dengan baik, karena masih tersandera, tunduk dengan kekuatan lain di luar dirinya, dan menjadi petugas partai dalam arti yang sebenarnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H