[caption id="attachment_416573" align="aligncenter" width="630" caption="Menteri kabinet ketika baru diangkat tengah mengatakan sumpah mereka selama upacara pelantikan mereka di istana presiden di Jakarta, Indonesia, Senin, 27 Oktober, 2014 (AP Images/Dita Alangkara)"][/caption]
Hiruk pikuk perpolitikan Indonesia beberapa waktu terakhir dihebohkan dengan pemberitaan media tentang rencana pergantian beberapa menteri kabinet kerja pemerintahan Presiden Jokowi Widodo. Reshuffle kabinet tentu saja merupakan wewenang seorang presiden, tetapi peristiwa tersebut dapat dibaca sebagai sebuah pertarungan politik antara Jokowi dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan kebijakan tersebut.
Presiden Jokowi maju sebagai presiden untuk kemudian terpilih pada pemilu 2014 dengan dukungan beberapa partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH), koalisi yang dipimpin oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Jokowi adalah kader PDIP, tetapi ia bukan pimpinan di partai tersebut, tidak pula tercatat sebagai kader senior. Bagi PDIP, terutama bagi seorang Megawati Soekarno Putri, Ketua Umum PDIP, Jokowi dianggap sebagai seorang petugas partai.
Posisinya sebagai seorang presiden yang sekaligus sebagai seorang petugas partai dari PDIP dan didukung oleh KIH, membuat Jokowi tidak mudah untuk mengeluarkan sebuah kebijakan. Anomali tersebut membuat wacana reshuffle kabinet yang mulai berhembus menjadi ujian bagi kapasitas kepemimpinan seorang Joko Widodo, apakah wacana tersebut berasal dari keinginan pribadinya atau justru merupakan bentuk intervensi dari pihak luar.
Dalam sistem pemerintahan presidensial, seorang presiden merupakan pihak yang paling bertanggung jawab dalam setiap hasil dari kinerja pemerintahannya, baik keberhasilan ataupun kegagalan. Jika pemerintahan tersebut dianggap gagal oleh publik, maka presiden menjadi sosok yang paling tepat untuk dikambinghitamkan, sedangkan jika berhasil, maka ia layak untuk mendapatkan tepuk tangan dan puja puji.
Anomali Sistem Politik Indonesia
Sistem pemerintahan presidensial yang dipraktikkan di Indonesia boleh dikatakan sebagai sebuah sistem pemerintahan yang unik, kalau tidak ingin mengatakannya sebagai sebuah sistem yang anomali dari kebiasaan, sistem pemerintahan presidensial yang dipraktikkan di Indonesia disebut oleh Hanta Yudha, seorang pengamat politik sekaligus Direktur Poltracking Institute, sebagai presidensialisme setengah hati, sistem presidensial yang bercita-rasa parlementer.
Burhanuddin Muhtadi di dalam bukunya yang berjudul “Perang Bintang 2014, Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan Pilpres” menjelaskan presidensialisme sebagai sebuah sistem pemerintahan yang pemimpinnya, dalam hal ini adalah presiden, terpilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu. Presiden tersebut tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen selama periode kepemimpinan dan ia juga memimpin langsung pemerintahan yang diangkat olehnya.
Keterpilihan secara langsung oleh rakyat (direct popular vote) yang didapatkan oleh seorang presiden dalam pemilihan umum, membuat seorang presiden mempunyai legitimasi yang sangat kuat, selain bahwa ia juga dipilih untuk masa jabatan yang tetap (fixed term officed). Oleh karena itu, tertutup kemungkinan bagi parlemen untuk menjatuhkan seorang presiden, kecuali presiden tersebut melanggar hukum yang hal itupun harus dibuktikan melalaui proses yang panjang dan berliku. Panjang dan berlikunya sebuah proses pembuktian apakah seorang presiden melanggar hukum atau tidak, membuat peristiwa penjatuhan seorang presiden menjadi sesuatu yang dapat dikatan mustahil.
Hanya saja kemudian, sistem presidensial tersebut menjadi unik dan anomali dalam penerapannya di Indonesia karena harus bertemu dengan sistem politik multipartai. Desain presidensialisme yang dkombinasikan dengan sistem politik multipartai ternyata dapat menghasilkan pemerintahan yang tidak stabil, hal tersebut ditegaskan dalam temuan Mainwairing dalam cross-national survey. Menurut Mainwaring, seperti yang dikutip oleh Muhtadi (2013), tidak ada negara yang stabil ketika menerapkan sistem pemerintahan presidensial yang dikombinasikan dengan sistem politik multipartai.
Mengingat bahwa kombinasi antara presidensialisme dan sistem politik multipartai merupakan kombinasi yang sulit, maka kemudian banyak masukan dari para pakar dan ilmuwan politik agar terjadi desain ulang terhadap pelaksanaan presidensialisme di Indonesia, sebagian dari masukan tersebut sudah terlaksana dan akan dilaksanakan. Beberapa kebijakan yang perlu diapresiasi dalam kaitannya dengan upaya untuk mengefektifkan presidensialisme diantaranya adalah konsistensi dalam penerapan Parliamentary Treshold yang dilembagakan pada UU Pemilu No. 10 tahun 2008 serta rencana penggabungan pelaksanaan pemilu legislatif dan presiden di tahun 2019.
Polarisasi koalisi di parlemen hari ini sepatutnya harus diberikan apresiasi, keberadaan KIH sebagai koalisi pendukung pemerintah dan Koalisi Merah Putih sebagai oposisi seharusnya membuat terjadinya kejelasan dalam sikap politik. keberadaan KIH dan KMP merupakan kelanjutan dari koalisi partai politik saat pemilihan presiden, sebagaimana yang diketahui, KIH merupakan koalisi pengusung pasangan Jokowi-JK, sedangkan Koalisi Merah Putih merupakan gabungan partai politik yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah faktor personalitas dan gaya kepemimpinan sang presiden dalam memimpin pemerintahan. Dalam presidensialisme setengah hati ini, diperlukan sosok presiden yang mempunyai kapasitas kuat dalam kepemimpinan, terampil dalam mengelola koalisi, serta mampu menjalin komunikasi efektif dengan oposisi. Lebih penting dari semua itu adalah semangat yang kuat melakukan kerja besar untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Mengangkat dan Memberhentikan Anggota Kabinet
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu keistimewaan yang diberikan kepada seorang presiden dalam sistem pemerintahan presidensial adalah memimpin langsung pemerintahan yang diangkat olehnya, dalam bahasa yang lebih sederhana adalah presiden mempunyai hak prerogatif dalam mengangkat dan memberhentikan anggota kabinet.
Hal itulah yang kemudian membuat wacana reshuffle kabinet yang menguat beberapa waktu terakhir merupakan ujian bagi kapasitas kepemimpinan seorang Presiden Joko Widodo. Apakah wacana tersebut merupakan murni berasal dari inisiatif dan kehendaknya sendiri atau justru merupakan tekanan dari koalisi partai pengusung yang dalam hal ini adalah KIH. Sebagai partner pemerintah, sah-sah saja bila KIH memberikan masukan. Akan tetapi, keputusan apakah akan melakukan reshuffle atau tidak tetap berada pada tangan presiden.
Menurut Yunarto Wijaya, pengamat politik yang sekaligus sebagai Direktur Eksekutif Charta Politika, paling tidak ada tiga faktor yang berpengaruh bagi seorang presiden termasuk Jokowi dalam mengangkat atau berhentikan kabinetnya, ia menyebut ketiga faktor tersebut dengan istilah 3 C, yaitu Competency, Chemistry dan Coalition. Syarat pertama dan utama dari seorang menteri adalah mempunyai kompetensi, baik kompetensi yang bersifat soft, hard maupun technical competency.
Kompetensi merupakan karakter asasi yang mendasari seseorang dalam berpikir, bersikap dan berperilaku dalam berbagai jenis situasi. Kompetensi yang dimiliki oleh seorang calon menterti dapat digunakan oleh presiden untuk memprediksi kinerjanya di masa yang akan datang. Seorang menteri merupakan pembantu presiden dalam menjalankan tugasnya, posisinya sangat strategis karena ia merupakan fungsi yang akan menjalankan semua rencana pembangunan yang dimiliki oleh seorang presiden. Karena itu, tidak cukup hanya dengan mempunyai kompetensi, seorang menteri juga harus mempunyai chemistry atau “hubungan kimia jiwa” yang baik dengan sang presiden.
Hubungan kejiwaan yang dapat menimbulkan rasa saling percaya diantara presiden dan kabinetnya, presiden menunjukkan kepercayaannya sedangkan para menteri menunjukkan kinerja dan integritasnya. Chemistry yang terbangun dengan baik membuat seorang presiden dapat dengan mudah menjalankan fungsi kepemimpinannya terhadap para menteri; mempengaruhi mereka, mengarahkan, memberi stimulasi, atau bahkan memberi reward dan funishment.
Sebenarnya, kompetensi yang dimiliki oleh para menteri dan hubungan kimia jiwa yang baik antara presiden dan menteri tersebut dapat dikatakan sebagai modal berharga untuk membangun kinerja yang positif, tetapi keberadaan koalisi partai pendukung pemerintah mempunyai peran strategis dalam menge-goal-kan program dan kebijakan pemerintah di parlemen, serta mengkonsolidasikan dukungan publik, karena itu pengangkatan anggota kabinet, selain mempertimbangkan kompetensi dan chemistry, tetap harus mempertimbangkan keterwakilan partai politik anggota koalisi.
Epilog
Presiden Joko Widodo harus mampu menyeimbangkan antara ketiga faktor tersebut; competency, chemistry dan coalition. Kompetensi seharusnya menjadi faktor utama dalam menentukan siapa kabinetnya, sedangkan chemistry dan coalition merupakan faktor pendukung yang tetap diperlukan sesuai dengan proporsinya. Jokowi mempunyai hak prerogatif untuk melakukan atau tidak melakukan reshuffle kabinet, kemudian pada saat yang sama, partai politik pendukung boleh saja melakukan manuver sedemikian rupa untuk mempengaruhi pikiran, sikap dan kebijakan seorang presiden.
Kebijakan reshuffle kabinet dapat dianggap sebagai adu kekuatan antara kepemimpinan Presiden Jokowi dan KIH serta pihak lain yang berkepentingan, dari sana kemudian terlihat seberapa kuat kapasitas kepemimpinan seorang Jokowi, dan seberapa terampil ia dalam mengelola dan membangun koalisi, serta seberapa efektif komunikasi yang dibangunnya dengan kelompok oposisi. Bila kemudian kebijakan reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Joko Widodo merupakan sebuah keterpaksaan akibat intervensi dari partai politik pendukung, maka Presiden Jokowi dapat dikatakan belum melewati ujian dengan baik, karena masih tersandera, tunduk dengan kekuatan lain di luar dirinya, dan menjadi petugas partai dalam arti yang sebenarnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H