Mohon tunggu...
Paulus Ibrahim Kumentas
Paulus Ibrahim Kumentas Mohon Tunggu... Guru - Suara dari Ujung Celebes

Curhat seorang suami, ayah, pengacara, guru, hamba Tuhan, agen asuransi jiwa, dan rakyat Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Politik Hukum Gibran-MK

24 Oktober 2023   17:53 Diperbarui: 24 Oktober 2023   18:07 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Disertasi saya tentang politik hukum. Saya paham bagaimana menggunakan politik agar hukum bekerja", demikian ungkapan Menkopolhukam yang sekarang menjadi bakal calon Wakil Presiden RI;  Prof Mahfud MD, dalam salah satu kesempatan saat memenuhi panggilan DPR  RI.

Senin, 16 Oktober 2023 lalu, Mahkamah Konstitusi membacakan Putusan MK No 90/PUU-XXI/2023, yang pada intinya menetapkan bahwa salah satu syarat seseorang bisa menjadi calon Presiden/Wakil presiden adalah "berusia 40 tahun  atau pernah/ sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan Kepala daerah."

Putusan ini sontak menghebohkan masyarakat, karena dengan bekal putusan ini Gibran Rakabuming dapat maju dan  ikut berlaga dalam  pertarungan pemilu 2024 mendampingi Prabowo Subianto sebagai calon Wakil presiden.

Banyak pakar hukum Indonesia yang menilai bahwa putusan MK ini sebagai putusan yang janggal, mengingat sebelumnya melalui putusan No 29,51, dan 55 Tahun 2023, MK berpendirian bahwa persyaratan umur Calon Presiden Dan Wakil Presiden adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy).

Open legal policy artinya kebijakan hukum dalam penetapan persyaratan tersebut adalah kewenangan eksklusif  lembaga legislatif dan eksekutif (DPR dan Pemerintah) sebagai pembuat Undang - Undang, dan MK sebagai lembaga yudikatif tidak bisa melakukan intervensi.

Namun dengan dalih ketidakadilan yang intolerable, MK "menjilat ludahnya" sendiri dan masuk dalam ranah ini.

Bahkan Hakim Konstitusi Prof Saldi Isra pun di bagian awal dissenting opinion nya yang termuat dalam putusan MK ini menyatakan bingung akan sikap Mahkamah Konstitusi yang demikian cepatnya berubah.

Prof Isra secara terang-terangan mempertanyakan sikap Ketua MK yang tidak hadir dalam Sidang Rapat Pemusyawaratan Hakim (RPH)MK tanggal 19 September 2023 ketika membahas  putusan no 29,51,55 yang juga merupakan gugatan tentang usia calon Presiden Dan wapres.

Dalam RPH inilah para hakim MK (6 orang) tetap berpendirian bahwa pasal 169 huruf q UU no 7 Tahun 2017 tentang syarat usia calon Presiden/Wakil Presiden bersifat open legal policy.

Namun dalam RPH berikutnya untuk pembahasan putusan MK no 90 dengan isu kontitusional yang sama, Ketua MK ikut dalam rapat, dan mengakibatkan pendirian MK tiba² berubah dengan cepat.

Belum lagi dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Prof Arief Hidayat yang dengan tajam menyoroti dari sisi Hukum Acara MK pasal 54 UU MK, mengingat bahwa telah banyak gugatan dengan isu Konstitusi sama, yang telah diputus oleh MK

Prof Arief juga menyoroti tentang gugatan ini yang sebenarnya sempat ditarik pada tanggal 29 September, namun penarikan ini dibatalkan pada keesokan harinya.

Prof Yusril Ihza Mahendra yang juga Ketua Umum Partai Bulan Bintang pun, sekalipun akhirnya ikut mencalonkan Gibran sebagai cawapres, berpendapat bahwa Hakim MK tidak tepat dalam merumuskan amar putusan.

Concurring Opinion dari 2 Hakim MK yang berpendapat bahwa Pemilihan Kepala Daerah yang dimaksud adalah pemilihan Gubernur, seharusnya diperhitungkan sebagai dissenting opinion, sehingga kedudukan menjadi 5 Hakim tidak setuju dan 4 Hakim setuju (permohonan ditolak).

Hal ini senada dengan pendapat Prof Saldi yang menggambarkan komposisi ini dengan menggunakan diagram venn dalam dissenting opinionnya.

Mantan Wamenkumham Prof Denny Indrayana bahkan dengan keras menyatakan bahwa putusan ini tidak sah karena adanya konflik kepentingan (conflict of interest) Ketua MK yang juga merupakan paman dari Gibran. 

Memang UU MK mengatur tentang putusan MK yang tidak sah, tapi sayangnya tidak ada pengaturan mengenai siapa pihak yang berwenang untuk menyatakan hal tersebut.

Lepas dari semua kontroversi tersebut, putusan ini tetap menjadi bekal Gibran untuk  maju menjadi cawapres, dan kebalikan dari pernyataan Prof Mahfud MD di awal tulisan ini, sekalipun bukan Doktor Hukum, Gibran agaknya paham bagaimana menggunakan hukum agar kepentingan politik bekerja.

PIK Law Office

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun