Tuduhan makar. Ketika mendengar adanya penangkapan aktifis sebelum aksi 212 dengan tuduhan makar, cukup membuat saya terkejut. Apalagi ketika mendengar salah satu yang ditangkap adalah sosok SBP. Ingatan saya kembali ke sekitar dua puluh tahun lalu, di mana SBP juga pernah ditangkap oleh rezim orde baru dengan tuduhan yang sama.
Saya terkejut bukan karena pribadi-pribadi yang ditangkap, tapi penggunaan pasal makar saya kira sudah berakhir dengan jatuhnya rezim orde baru. Para aktifis atau mungkin “mantan” aktifis yang dulu berteriak-teriak tentang elastisitas pasal-pasal makar, ternyata saat berkesempatan duduk di DPR sudah lupa dengan teriakannya yang dulu, dan ikut menikmati permainan karet pasal-pasal ini.
Pasal – pasal karet di Perundangan kita memang sangat asyik untuk dimainkan. Bukan pasal makar saja, bahkan pasal penodaan agama yang dituduhkan kepada Ahok pun termasuk dalam perbendaharaan pasal-pasal karet negeri ini. Pasal Karet dengan sifat biasnya yang sangat tinggi, dapat dengan mudah dituduhkan kepada siapapun, dan pada saat yang sama dapat memaklumi ( tidak dikenakan tuduhan pelanggaran ) siapapun.
Pasal 156 a KUHP yang dituduhkan kepada Ahok misalnya, sebenarnya dapat digunakan pula sebagai pasal pelapis untuk setiap pelanggaran hukum.
Pasal 156a
Dipidana dengan pidana penjara selama-lumanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:
a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Unsur “barangsiapa” dalam pasal ini, tidak mengecualikan siapapun dan dalam kelompok atau agama apapun. Unsur “ suatu agama yang dianut di Indonesia” artinya juga tidak mengecualikan agama apapun. Ini berarti pasal ini tidak hanya mengatur tentang seorang beragama “A” yang menodai atau menyalahgunakan agama selain “A” saja, tapi juga bisa digunakan untuk seorang yang beragama “A” dan menyalahgunakan dan/atau menodai agama “A” yang dianutnya.
Bukankah setiap pelaku kejahatan dapat dikategorikan menodai agama yang dianutnya? Kalau begitu, bukankah seorang maling ayam, dapat dikenakan tuduhan berlapis dengan pasal 156a karena sudah mempermalukan / menodai agama yang dianutnya. Seorang peserta tawuran pelajar pun bisa dituduhkan dengan menodai agama yang dipeluknya, apalagi seorang koruptor kelas kakap yang jelas sangat menodai agamanya. Entah, apakah sang Dimas Kanjeng Taat Pribadi juga dikenakan ps 156a untuk melapisi tuduhan utamanya, mengingat bahwa Sang Kanjeng dalam kacamata saya cukup menodai agama yang dianutnya.
Belum lagi orang-orang yang menggunakan agama ( termasuk di dalamnya simbol-simbol agama, petikan-petikan ayat kitab suci, dll) untuk pencitraan seorang calon Pemimpin daerah dalam masa kampanye pilkada, seharusnya bisa dikenakan pasal 156a, tentang penyalahgunaan agama.
Pasal – pasal karet memang cukup asik untuk dimainkan, dan selama ini yang menjadi pemenang dalam permainan karet ini adalah para elite. Tentu kita juga masih ingat bagaimana seorang Prita Mulyasari yang curhat dalam sebuah forum mailing list terbatas (forum yang jauh lebih kecil dari FB, twitter, dll) dan mempertanyakan pelayanan sebuah rumah sakit, justru akhirnya menjadi pesakitan di ruang hukum terkena jepretan si pasal karet UU ITE.
Mungkin, sekali lagi mungkin karena kaum elite yang sering menjadi pemenang dalam permainan karet inilah, yang menjadi penyebab pasal-pasal karet ini sepertinya sulit untuk di”perbaiki”.
Akhirnya, ruang pengadilan memang akan menjadi tempat pembuktian apakah para aktifis dan juga Ahok adalah korban permainan (pasal) karet, atau mereka memang mengancam stabilitas NKRI. Proses pengadilan juga akan membuktikan profesionalitas kepolisian RI di bawah kepemimpinan Jenderal Tito Karnavian.
Salam NKRI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H