Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menyalakan Literasi Kala Belajar dari Rumah

18 Agustus 2021   22:05 Diperbarui: 18 Agustus 2021   22:11 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memasuki tahun pelajaran 2021/ 2022 perdebatan mengenai pembelajaran tatap muka di sekolah masih menjadi polemik. Hal ini diawali sikap Pemerintah menyalakan lampu hijau pembukaan sekolah di awal tahun pelajaran baru. Dengan segala konsekuensi serius yang dihadapi dalam pembelajaran jarak jauh, pemerintah berniat membuka pembelajaran tatap muka secara terbatas. Artinya mulai awal tahun pelajaran ini pembelajaran tatap muka di sekolah diperbolehkan dengan sejumlah syarat.

Polemik ini meruncing karena, di satu sisi, Indonesia sedang mengalami gelombang kedua Covid-19. Angka kasus positif korona di tanah air akhir-akhir ini melonjak drastis. Penambahan kasus harian korona selalu memecahkan rekor, angka kematian karena korona meningkat secara significant, masuknya varian baru korona, dan kondisi rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang hampir penuh membuat kondisi Indonesia semakin mengkhawatirkan.

Berdasarkan data Kemenkes RI, Jumat (06/08/2021) ada penambahan 39.532 kasus positif Covid-19. Dengan penambahan ini, total kasus Covid-19 di Indonesia berjumlah 3.607.863 kasus. Seiring dengan itu kasus kasus positif pada anak juga meningkat. Bila sebelumnya kasus anak yang terpapar korona sedikit, sejak gelombang kedua Covid-19 melanda Indonesia anak-anak juga ikut terpapar Covid-19. Di mana 1 dari 8 kasus Covid-19 adalah anak-anak dan 3-5% diantaranya meninggal.

Di sisi lain, dampak negatif akibat pembelajaran jarak jauh selama masa pandemic Covid-19 belum bisa diatasi. Situasi ini apabila terus berlangsung maka potensi learning loss tidak akan bisa dihindari. Pendidikan jarak jauh yang terus diperpanjang berdampak nyata bagi siswa yang bisa mengancam masa depan mereka. Penutupan sekolah yang berkepanjangan akan membuat siswa semakin tertinggal dalam hal akademik.

Proses pembelajaran di sekolah tidak hanya soal transfer of knowledge. Pendidikan bersentuhan dengan emosi. Aspek ini terbangun lewat interaksi guru dan siswa. Namun pandemic Covid-19 memaksa interaksi yang merupakan kunci pendidikan bermigrasi dari ruang kelas ke dunia digital. Interaksi lewat ruang digital selain memutuskan hubungan emosional guru-siswa, situasi ini tidak ideal karena latar belakang siswa berbeda-beda. Tidak semua siswa dapat mengakses pembelajaran secara digital. Akibatnya banyak anak tidak terbantu selama PJJ.

Potensi putus sekolah juga semakin tinggi di masa pandemic Covid-19. Perkiraan Bank Dunia yang dipublikasi Agustus 2020, penurunan pendapatan akibat pandemic sebesar 1,1 persen akan menambah 91.000 anak di Indonesia yang putus sekolah. Pada tahun 2020 saja paling tidak 938 anak usia 7-18 tahun putus sekolah akibat pandemic (Kompas, 24/12/2020). Secara faktual, di SMPN 3 Wulanggitang misalnya, pada tahun kedua pandemik korona ini jumlah siswa baru mengalami penurunan. Bila pada masa normal siswa baru berjumlah seratus lebih, pada tahun pelajaran 2021 hanya 76 siswa.

Situasi kita saat ini sungguh pelik termasuk dalam hal pendidikan dan kesehatan yang merupakan hak asasi anak. Terhadap dua hak asasi anak ini kita tidak bisa memprioritaskan yang satu dan mengabaikan yang lain. Sebagaimana kita memenuhi hak anak mendapatkan pendidikan, hak anak akan kesehatan juga harus dijamin. Karena itu bila Covid-19 dengan varian baru sangat mengancam keselamatan anak, janganlah kita memaksakan diri melaksanakan PTM yang hanya akan mengorbankan jiwa tunas muda harapan bangsa.

Pendidikan, sebagaimana ditegaskan Ki Hajar Dewantara (2013:20) adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksudnya pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setingi-tingginya. Artinya, bagi Ki Hajar, keselamatan anak adalah hal utama dari tujuan pendidikan. Karena itu segala keputusan yang diambil terkait pembelajaran di masa pandemic Covid-19 harus menempatkan keselamatan anak pada opsi pertama.

 Menyalakan Literasi Membaca

Ketika Pemerintah Pusat memberi lampu hijau pembelajaran tatap muka, ada daerah yang sudah melakukan simulasi PTM terbatas. Namun banyak yang kemudian membatalkannya. Kabupaten Flores Timur, misalnya, Bupati sudah mengeluarkan Surat Nomor: SATGAS.COVID/24/FLT/VII/2021 tentang pembatasan kegiatan masyarakat dalam wilayah kabupaten Flores Timur temasuk di dalamnya melarang pembelajaran tatap muka di sekolah sejak tanggal 05 Juli hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Menyambut tahun pelajaran 2021/ 2022, entah PJJ atau PTM yang dijalankan, selama masa pandemic Covid-19 pendidikan dijalankan tanpa membebankan siswa. Karena itu selain memberikan materi yang penting dan esensial, mendesak untuk menyalakan budaya literasi membaca dalam diri siswa mengingat budaya membaca bangsa ini masih rendah.

Beberapa survey menunjukkan bahwa bangsa ini masih lemah dalam literasi baca tulis. UNESCO pada tahun 2012 melaporkan bahwa kemampuan membaca masyarakat Indonesia adalah 0,001 persen. Artinya dari seribu orang Indonesia, hanya satu yang memiliki budaya membaca. Sementara berdasarkan hasil test PISA 2018, skor literasi membaca siswa Indonesia adalah 371 dengan rata-rata skor 487. Skor ini menempatkan Indonesia pada peringkat 72 dari 78  negara. Jika dalam kondisi normal saja budaya membaca kita sangat memprihatinkan, bisa dibayangkan dalam situasi pandemic Covid-19 sekarang.

Rendahnya budaya membaca tentu memprihatinkan. Karena membaca itu penting. Manfaatnya sangat besar. Dengan membaca pengetahuan kita diperkaya dan wawasan kita diperluas. Riset yang dilakukan Clark and Rumbold (2006) membuktikan bahwa kegemaran membaca meningkatkan kemampuan untuk memahami teks dan tata bahasa, memperkaya kosakata, meningkatkan wawasan dan prestasi akademik, dan mengembangkan kebiasaan membaca sepanjang hayat (Dewayani, 2021: 26). Temuan Clark dan Rumbold lebih jauh menyebutkan bahwa membaca untuk kesenangan meningkatkan kecakapan emosi dan sosial. Secara sosial, ketika siswa mempelajari orang lain, mereka pun memahami cara memperlakukan perbedaan sikap dan perilaku.

Masa anak-anak adalah masa emas pertumbuhan manusia. Karena itu penting untuk mengenalkan buku dan menanamkan budaya membaca bagi mereka. PJJ di masa pandemic Covid-19 merupakan moment yang tepat membudayakan literasi membaca anak. Waktu yang banyak berada di rumah dapat dimanfaatkan untuk menanamkan semangat membaca dalam diri anak.

Di sini peran guru dan orang tua menjadi penting memberi teladan dalam membaca. Penelitian Cremin et.al (2009) menunjukkan bahwa minat membaca dipengaruhi oleh hubungan sosial anak dengan orang dewasa di sekitarnya. Anak yang memiliki hubungan harmonis dengan orang tua yang gemar membaca, guru yang suka membaca, komunitas yang mencintai buku, cendrung suka membaca. Karenanya kampanye membaca sebaiknya tidak ditujukan kepada siswa di sekolah tetapi juga kepada orang tua, guru dan elemen masyarakat lainnya (Dewayani, 2021: 33).

Sejauh ini hambatan pembudayaan membaca adalah keterbatasan ragam bacaan yang menyenangkan dan tiadanya teladan dari orang dewasa dalam membaca. Karena itu selama PJJ di masa pandemic Covid-19, pertama, guru/ sekolah harus mewajibkan siswa untuk membaca, misalnya, 3 buku selama 1 semester dan membuat resume atas buku yang dibaca. Tagihan atas tugas tersebut bisa dilakukan ditengah atau akhir semester. Di SMPN 3 Wulanggitang, budaya literasi ini mulai dijalankan di tahun pelajaran ini.

Sementara orang tua harus berperan memberi stimulus dan mendorong anak agar semangat membaca. Karena itu selain memenuhi bahan bacaan anak, orang tua perlu meluangkan waktu untuk membaca bersama anak di rumah. Atau membacakan buku dongeng atau kisah bagi mereka.

Kedua, menyiasati kekurangan bahan bacaan, setiap siswa diwajibkan memiliki satu buku bacaan dengan judul yang berbeda. Buku tersebut setelah dibaca lalu ditukar dengan teman dalam satu desa. Sekolah atau guru yang memiliki buku non pelajaran dapat dipinjamkan ke siswa. Pengalaman saya meminjamkan buku kepada beberapa siswa selama masa pandemic Covid-19 menunjukkan bahwa siswa memiliki semangat membaca namun kesulitan bahan bacaan.

Terakhir, dalam membangun budaya literasi membaca, perlu kolaborasi semua stakeholder. Pemerintah desa dan komunitas literasi yang ada di desa juga perlu dilibatkan dalam penyediaan bahan bacaan dan pendampingan anak membaca. Apabila semua stakeholder bekerja sama dan sama-sama bekerja niscaya PJJ di masa pandemic Covid-19 dapat menjadi momentum meningkatkan budaya literasi membaca anak. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun