Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Potret Pendidikan "Orang-Orang Oetimu"

4 Desember 2020   21:07 Diperbarui: 8 Desember 2020   18:44 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-Orang Oetimu. Novel karya Felix K. Nesi ini menjadi pemenang I sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2018 dan kemudian diterbitkan Marjin Kiri tahun 2019. Oetimu yang menjadi judul merupakan latar cerita novel tersebut.

"Oetimu terletak di ujung selatan kecamatan Makmur Sentosa, menghubungkan kota kecamatan dengan kampung-kampung lama" (hal.54). Walau novel ini adalah karya fiksi, namun latar ceritanya memang nyata. Oetimu adalah sebuah daerah di pelosok Nusa Tenggara Timur.

Orang-Orang Oetimu mengisahkan kehidupan social orang Timor. Berbagai bidang kehidupan orang Timor dipotret dalam novel ini. Salah satu adalah pendidikan. Melalui novel ini Felix memotret "kehidupan" pendidikan (formal) di daerah terpencil, tertinggal dan terluar (3T).

Nelson Mandela pernah berujar, "Education is the most powerful weapon which you can use to change the world." Pendidikan memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup suatu bangsa. 

Bangsa yang maju dan bisa bersaing dalam percaturan global adalah bangsa memiliki sumber daya manusia yang berkualitas. Wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia adalah pendidikan. 

Dengan dan melalui pendidikan, sumber daya manusia dibentuk. Maka tepatlah apa yang dikatakan Nelson Mandela tersebut, dengan pendidikan kamu dapat mengubah dunia.

Sumber daya manusia yang berkualitas hanya dibentuk lewat pendidikan yang berkualitas. Pendidikan berkualitas harus didukung oleh sarana prasaran yang memadai. 

Namun bagi orang Oetimu, pendidikan yang berkualitas adalah sebuah utopi. Menikmati pendidikan dengan fasilitas yang layak adalah mimpi yang entah kapan akan terwujud. Orang Oetimu harus menerima kenyataan mengenyam pendidikan dengan kondisi (fasilitas) yang memprihatinkan.

"Gedung SMA itu sederhana saja, hanya los panjang berdiding bebak beratap alang-alang yang disekat menjadi tiga ruang; satu ruang kelas, satu ruang kepala sekolah dan satu ruang guru. Siswanya banyak tapi hanya sedikit yang berseragam. Banyak dari mereka yang tidak memakai sepatu dan tidak mempunyai topi" (hal.60).

Kondisi ini merupakan adalah suatu ironi bila disandingkan dengan tujuan bernegara. Salah satu tujuan berdirinya Bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam pembukaan UUD'45 adalah mencerdaskan kehidupan. 

Upaya mencerdaskan masyarakat bangsa diwujudkan melalui pendidikan. Namun hingga usia kemerdekaan Indonesia sudah lebih dari seteganah abad, masyarakat belum sepenuhnya menikmati pendidikan yang berkualitas.

Pendidikan adalah hak masyarakat. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan "Setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya sesuai dengan minat, bakat dan tingkat kecerdasannya" (pasal 60). 

Hak warga untuk mendapatkan pendidikan dijamin konstitusi kita. "Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan" (pasal 31 ayat 1 UUD'45); dan dipertegas lagi dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat (1) yang menyatakan, "Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu."

Untuk memenuhi hak konstitusional ini, Pemerintah Indonesia berkewajiban menyediakan pendidikan bagi warganya sebagaimana ditegaskan dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 11 ayat (1), "Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara tanpa diskriminasi."

Walau hak warga mendapat pendidikan telah diatur dalam konstitusi, pendidikan yang baik dan bermutu masih mahal dan elitis. Penyelenggaraan pendidikan cendrung menguntungkan kelompok yang mampu secara financial. 

Besarnya biaya pendidikan semakin memperlebar kesenjangan dan diskriminasi dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Masyarakat ekonomi atas bebas menikmati pendidikan bermutu. Sebaliknya masyarakat ekonomi lemah harus menerima kenyataan mengenyam pendidikan dengan fasilitas seadanya.

Program wajib belajar sembilan tahun sudah digalakkan tetapi penyediaan fasilitas pendidikan yang layak belum merata di semua lembaga pendidikan di seluruh tanah air. 

Sekolah dengan fasilitas memadai lebih banyak tersebar di wilayah perkotaan. Di daerah pedesaan pendidikan berjalan dalam kondisi minim fasilitas. Sekolah dengan fasilitas terstandar diberi label tertentu: berstandar internatonal, rintisan nasional, bermutu, dll. 

Di sekolah seperti ini, biaya sangat mahal dan seleksi masuk dilakukan dengan ketat. Kondisi ini tentu membatasi akses anak-anak dari keluarga miskin.

Orang Oetimu yang tergolong ekonomi lemah harus menerima kenyataan tersingkir dari lembaga pendidikan dengan label "bermutu." SMA Santa Helena, sekolah berasrama dengan fasilitas berstandar international, dan proses seleksi masuk yang ketat menjadi incaran anak-anak orang kaya. 

"Sementara sekolah itu semakin tersohor dan mendatangkan siswa-siswi baru, anak-anak nelayan, kuli pelabuhan, para pelacur, dan para pekerja kasar lainnya harus keluar dari sekolah itu. Biayanya menjadi lebih mahal empat kali lipat (hal.99).

Akses masyarakat miskin di daerah terpencil terhadap pendidikan yang memprihatinkan sebagaimana digambarkan dalam novel Orang-Orang Oetimu sesungguhnya merupakan potret realitas sesungguhnya. 

Sekolah dengan gedung reyot masih tersebar di seantero nusantara. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak persoalan pendidikan di tanah air yang perlu dibereskan agar tujuan kemerdekaan dapat direalisasikan.

Perbedaan strata sosial sangat mempengaruhi akses dan cara pandang terhadap pendidikan. Bagi orang kaya, pendidikan adalah jaminan masa depan. Mereka berlomba-lomba memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya. 

Sekolah-sekolah favorit diburu. Selain pelajaran di sekolah, pelajaran tambahan juga diberi melalui kursus atau les privat berbayar. Sebaliknya di mata orang miskin, masa depan yang ditawarkan pendidikan hanyalah sebuah ilusi. 

Alih-alih memikirkan masa depan, mereka harus berjuang untuk bisa makan sehari. Yang ada dalam kamus hidup orang miskin adalah bagaimana bekerja untuk hidup hari ini.

Karena itu walau sudah sekolah, anak-anak Oetimu tidak bebas menikmati waktu mereka untuk belajar. Waktu belajar mereka hanyalah setengah hari di sekolah saja. 

Selebihnya mereka harus bekerja. "Sebagai anak orang miskin, mereka tidak bisa tinggal di sekolah bahkan hanya untuk setengah hari. Sesudah jam sekolah berakhir, ada sangat banyak pekerjaan yang menanti mereka di rumah. 

Yang laki-laki merawat ternak peliharaan, mencari ikan atau mencari daun-daun untuk menjualnya ke karantina sapi di pelabuhan, sedangkan yang perempuan menjaga adiknya sementara orang tuanya bekerja, atau menjadi penjual aksesoris di pantai, tukang jemur ikan, atau mengerjakan pekarjaan kecil lain agar tidak bersegera menjadi pelacur (hal.99-100).

Pendidikan sebagai wahana mencerdaskan bangsa belum dinikmati seluruh anak bangsa. Masih ada diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan di tanah air. 

Pendidikan dengan fasilitas yang memadai dan berbiaya mahal hanya bisa diakses anak-anak orang kaya. Sementara rakyat miskin hanya gigit jari melihat sekolah dengan gedung mewah dan fasilitas lengkap.

Realitas di atas membuktikan kegagalan pemerintah merealisasikan cita-cita kemerdekaan dan memenuhi hak warga negara atas pendidikan. Usia kemerdekaan bangsa sudah lebih dari setengah abad, namun pendidikan yang layak belum dijangkau semua anak bangsa. 

Dan deret angka kemerdekaan terus mendekati usia emas, tetapi kita bukan mendekat malah menjauh dari cita-cita kemerdekaan bangsa.

Judul Novel: Orang-Orang Oetimu;
Penulis: Felix K. Nesi;
Penerbit: Marjin Kiri;
Tahun: 2019; Tebal: 220 halaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun