Akses masyarakat miskin di daerah terpencil terhadap pendidikan yang memprihatinkan sebagaimana digambarkan dalam novel Orang-Orang Oetimu sesungguhnya merupakan potret realitas sesungguhnya.Â
Sekolah dengan gedung reyot masih tersebar di seantero nusantara. Hal ini membuktikan bahwa masih banyak persoalan pendidikan di tanah air yang perlu dibereskan agar tujuan kemerdekaan dapat direalisasikan.
Perbedaan strata sosial sangat mempengaruhi akses dan cara pandang terhadap pendidikan. Bagi orang kaya, pendidikan adalah jaminan masa depan. Mereka berlomba-lomba memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya.Â
Sekolah-sekolah favorit diburu. Selain pelajaran di sekolah, pelajaran tambahan juga diberi melalui kursus atau les privat berbayar. Sebaliknya di mata orang miskin, masa depan yang ditawarkan pendidikan hanyalah sebuah ilusi.Â
Alih-alih memikirkan masa depan, mereka harus berjuang untuk bisa makan sehari. Yang ada dalam kamus hidup orang miskin adalah bagaimana bekerja untuk hidup hari ini.
Karena itu walau sudah sekolah, anak-anak Oetimu tidak bebas menikmati waktu mereka untuk belajar. Waktu belajar mereka hanyalah setengah hari di sekolah saja.Â
Selebihnya mereka harus bekerja. "Sebagai anak orang miskin, mereka tidak bisa tinggal di sekolah bahkan hanya untuk setengah hari. Sesudah jam sekolah berakhir, ada sangat banyak pekerjaan yang menanti mereka di rumah.Â
Yang laki-laki merawat ternak peliharaan, mencari ikan atau mencari daun-daun untuk menjualnya ke karantina sapi di pelabuhan, sedangkan yang perempuan menjaga adiknya sementara orang tuanya bekerja, atau menjadi penjual aksesoris di pantai, tukang jemur ikan, atau mengerjakan pekarjaan kecil lain agar tidak bersegera menjadi pelacur (hal.99-100).
Pendidikan sebagai wahana mencerdaskan bangsa belum dinikmati seluruh anak bangsa. Masih ada diskriminasi dalam penyelenggaraan pendidikan di tanah air.Â
Pendidikan dengan fasilitas yang memadai dan berbiaya mahal hanya bisa diakses anak-anak orang kaya. Sementara rakyat miskin hanya gigit jari melihat sekolah dengan gedung mewah dan fasilitas lengkap.
Realitas di atas membuktikan kegagalan pemerintah merealisasikan cita-cita kemerdekaan dan memenuhi hak warga negara atas pendidikan. Usia kemerdekaan bangsa sudah lebih dari setengah abad, namun pendidikan yang layak belum dijangkau semua anak bangsa.Â