Pasca penetapan hasil pilpres oleh KPU, pertanyaan yang menggantung di benak public adalah bagaimana Presiden terpilih membentuk koalisi dan Prabowo cs membangun opsosisi? Rakyat dibuat penasaran karena pergerakan politik pasca pemilu semakin dinamis dan arah dukungan parpol terus mencair.
Koalisi partai politik pengusung capres-cawapres yang dibangun selama pilpres telah dibubarkan. Diawali pembubaran Badan Pemenang Pemilu (PBN) oleh koalisi Indonesia Adil dan Makmur yang mengusung Prabowo-Sandi, kemudian diikuti pembubaran Tim Kampanye Nasional (TKN) oleh koalisi Indonesia Kerja yang mengusung Jokowi-Amin.Â
Setelah dibubarkan, antara dua koalisi ini yang masih menunjukkan kekompakan adalah partai pengusung Jokowi-Amin sebagai pemenang pemilu. Sementara koalisi pengusung Prabowo-Sandi terlihat "retak" dan masing-masing parpol cendrung mencari jalan sendiri. Bahkan sebelum koalisi benar-benar dibubarkan, tanda-tanda keretakan sudah terlihat. Hal ini dapat diidentifikasi dari sikap (elit) partai Demokrat dan PAN yang "ngebet" bertemu dengan Jokowi sebagai Presiden terpilih.
Setelah koalisi benar-benar dibubarkan, Gerindra sebagai pengusung utama Prabowo-Sandi mempersilahkan sesama partai koalisi menentukan sikap sendiri, apakah tetap menjadi oposisi atau berkoalisi dengan Pemerintahan terpilih.Â
Sementara Gerindra, walau masih malu-malu secara samar mulai mengubah haluan politiknya. Diawali pertemuan Jokowi-Prabowo di MRT, Prabowo kemudian bertandang ke kediaman Megawati. Kunjungan Prabowo ke Teuku Umar (rumah Megawati), bagi masyarakat awam merupakan sinyal merapatnya Gerindra ke pemerintah. Walau demikian, kita belum bisa menebak kemana haluan politik Gerindra berlabuh.
Wacana penjajakan koalisi berjalan seiring waktu. Manuver elit parpol menguatkan dugaan bahwa parpol dan politisi hanya ingin memenuhi ambisi kekuasaan. Masuk menjadi bagian koalisi pemerintahan tentu memberikan keuntungan bagi partai.Â
Selain itu ada sejumlah agenda politik baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang yang ingin diamankan parpol. Dalam jangka pendek, agenda politik itu terlihat misalnyai ikut menikmati "kue" kekuasaan melalui jatah menteri yang ditawarkan. Sementara agenda politik jangka panjang adalah persiapan mengahadapi pemilu kali berikut.
Politik memang begitu. Tidak ada kawan dan atau lawan yang abadi. Dalam politik, hanya kepentingan yang abadi. Dinamika politik pasca pilpres ini semakin menguatkan thesis Harold Laswell bahwa politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana (politics is who gets what, when and how).
Manuver partai politik untuk masuk dalam pemerintahan patut menjadi kekhawatiran karena dengannya oposisi menjadi tiada. Dalam demokrasi, oposisi adalah keniscayaan.Â
Ludger Helms (2004) dalam Five Ways of Institutionalizing Political Opposition: Lessons from the Advanced Democracies sebagaimana dikutip Agus Riewanto, mengingatkan, demokrasi tanpa oposisi adalah demokrasi beku yang tak sehat karena tanpa kritik konstruktif dan tanpa program alternative (Kompas, 15/07/2019; hal.7). Pemerintahan demokratis membutuhkan control (check and balance), dan peran ini dimainkan oleh oposisi. Kontrol oposisi ini dimaksudkan agar pemerintahan bisa berjalan efektif.
Nihilnya kekuatan oposisi akan membahayakan jalannya pemerintahan demokratis. Dengan adanya oposisi, kerja pemerintah menjadi terawasi. Kehadiran oposisi di parlemen sebagai lembaga pengawas, memastikan kebijakan-kebijakan pemerintah dapat terkawal.Â
Bayangkan bila pemerintahan Jokowi-Amin berjalan tanpa oposisi. Sudah tentu fungsi control legislative akan lumpuh. Jika kontrol legislative terhadap pemerintah macet, konsekuensi terburuknya pemerintahan bisa berjalan otoriter. Karena itu peran vital oposisi diperlukan sebagai kekuatan kritik dan penyeimbang agar kekuasaan tidak terjerembab dalam tirani.
Dalam sejarah politik di Indonesia, oposisi tetap mendapat tempat meskipun dalam perjalanannya mengalami pasang surut. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1967), peran oposisi dimainkan Partai Masyumi yang dipimpin M. Natsir.Â
Namun, pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), peran oposisi dimandulkan dengan pembubaran parpol yang bersikap oposisi terhadap pemerintah. Pemandulan peran oposisi ini terus berlanjut di era Orde Baru. Peran oposisi mulai kembali terbuka di era reformasi, terutama di era pemilihan presiden secara langsung.Â
Pada periode pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009), PDI-P bersama sejumlah parpol lain yang ada di luar pemerintah memiliki 26,7 persen kursi DPR. Meski jumlah kursinya di bawah partai pendukung pemerintah, kritikan mereka sudah muncul di sejumlah isu, seperti kenaikan harga BBM dan bantuan langsung tunai.Â
Peran oposisi berlanjut ketika Yudhoyono kembali terpilih menjadi presiden pada Pemilu 2009 dengan porsi penguasaan kursi parlemen tak jauh beda dengan sebelumnya. Pasca-Pemilu 2014, PDI-P menjadi partai pemenang, sedangkan Gerindra, PKS, dan Demokrat ada di luar pemerintahan. Ketiga parpol itu menguasai 31,1 persen, meningkat dibandingkan kekuatan oposisi di periode sebelumnya (Kompas, 20/17/2019; hal.3).
Oposisi diperlukan untuk menjaga roda pemerintahan demokratis berjalan di atas relnya. Tanpa oposisi, politik Indonesia bisa kehilangan arah karena pemerintah berjalan tanpa kontrol dan pengawasan. Indonesia pernah mengalami bagaimana mandulnya suara kritis legislative karena tidak ada oposisi pada masa pemerintahan Orde Baru. DPR saat itu bagaikan macan ompong dan tidak lebih dari "kumpulan" anggota koor yang hanya tahu nyanyian lagu setuju, sebagaimana kritik Iwan Fals.
Moch Nurhasim, peneliti pada pusat penelitian LIPI memaparkan dua alasan perlunya oposisi politik (Kompas, 17/07/2019; hal.6).Â
Pertama, untuk menjaga agar tak terjadi kecenderungan politik yang menyerap semua kekuatan-kekuatan politik ada dalam barisan pemerintahan. Fenomena koalisi kartel yang menyerap kekuatan politik dan masyarakat (civil society) dapat mengarah pada munculnya demokrasi bergaya tirani mayoritas.Â
Kedua, pemerintahan demokratis yang bergaya "mayoritas mutlak" akan mengarah pada pemerintahan demokrasi anti-kritik. Kritik cenderung tak diberi ruang dan tempat yang sama pentingnya dengan pihak yang mendukung pemerintahan. Gejala demikian bisa memundurkan perkembangan demokrasi kita saat ini dan ke depan.Â
Oleh karena itu, elite politik perlu menyadari bahwa oposisi politik sama derajatnya dengan pihak yang memerintah, karena demokrasi tanpa oposisi justru melahirkan kekuasaan absolut. Secara teori, kekuasaan absolut berpotensi menimbulkan penyimpangan dan korupsi.
Indonesia menganut system pemerintahan presidensial bukan parlementer. Karena itu tanpa koalisi di parlemen, pemerintah tetap terbentuk dan berjalan. Namun dalam system presidential problem akan muncul ketika Presiden menjalankan program-program pemerintahannya. Dalam hal ini program ini akan terhambat bila tidak mendapat dukungan mayoritas di parlement.
Tetapi pemerintahan yang terpilih, Jokowi-Amin tidak perlu merasa khawatir karena koalisi pengusungnya di pilpres adalah mayoritas penguasa parlemen berdasarkan hasil pemilu April lalu.Â
Hasil Pemilu 2019 menunjukkan partai-partai yang berhimpun dalam koalisi Indonesia Kerja, yang lolos ambang batas parlemen, memperoleh hampir 54,9 persen suara. Sedangkan partai yang berhimpun dalam koalisi Indonesia Adil dan Makmur memperoleh suara sekitar 35,39 persen (Kompas, 17/07/2019; hal.6). Karena itu agenda untuk menambah barisan koalisi dengan menggaet partai koalisi Prabowo tidaklah menjadi prioritas. Biarkan mereka menjadi oposisi guna mengontrol dan mengawasi pemerintahan Jokowi-Amin lima tahun ke depan.
Pada akhirnya partai Gerindra benar-benar bergabung ke pemerintahan Jokowi-Amin dan mendapatkan dua kursi menteri. Kini hanya tinggal 3 partai yang berada di luar pemerintahan yaitu Demokrat, PKS dan PAN. Fenomena ini menunjukkan bahwa tujuan utama elite politik Indonesia hanya mengejar kekuasaan semata. Karena itu rakyat harus berani menghukum parpol dan politisi pemburu kekuasaan model begini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H