Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Lembataku Sayang, Lembataku Malang

11 Mei 2020   22:32 Diperbarui: 12 Mei 2020   11:09 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Panorama alam di Lembata. Dok.pribadi

Mari kita simak pernyataan kedua pemimpin Lembata merespon penetapan Lembata menjadi daerah tertinggal. Wakil Bupati Lembata sebagaimana diberitakan pos-kupang.com mengakui bahwa faktor infrastruktur yang menjadi penghambat kemajuan Lembata. Persoalan ini harus dituntaskan bila ingin keluar dari predikat daerah tertinggal.  (https://kupang.tribunnews.com/2020/05/10/lembata-jadi-daerah-tertinggal-wabup-langoday-sebut-masalah-infrastruktur).

Seolah mengkounter pernyataan Wakil Bupati, Bupati Lembata malah bersyukur. Menjadi daerah tertinggal bukanlah aib. Dengan masuk daftar daerah tertinggal, Lembata dapat menerima alokasi anggaran lebih dari pemerintah pusat (https://bentara.net/lembata-masuk-daftar-daerah-tertinggal-bupati-sunur-bukan-aib-daerah/).

Pernyataan berbeda dua pemimpin Lembata ini menunjukkan dua hal berikut. Pertama, pembangunan infrastruktur di Lembata tidak berjalan dengan baik. Halmana terkonfirmasi dalam pernyataan Wakil Bupati. Dan memang demikian adanya. Siapa pun yang pernah ke atau berada di Lembata pasti meng-amin-i kenyataan ini.

Lihatlah kondisi jalan di Lembata. Jalan dalam kota Lewoleba saja masih banyak berlubang. Jalan ke kampung-kampung apalagi. Umumnya dalam kondisinya rusak parah, terutama di wilayah Selatan. Melewati jalan tersebut dengan kendaraan entah berapa pun jumlah rodanya, membuat kita sengsara. Belum lagi bicara proyek pembangunan yang bermasalah dan mangkrak.

Kedua, Lembata seolah “dibiarkan” menjadi daerah tertinggal agar mendapat perhatian lebih dari pemerintah pusat. Pernyataan Bupati yang merasa bersyukur dengan status daerah tertinggal mengamini hal ini. Pertanyaan lanjut, apakah proyek pembangunan di Lembata memang didesain demikian untuk terus mendapat bantuan dari pemerintah pusat? Atau sebaliknya, meminjam pernyataan Pater Stef Witin, SVD, Lembata adalah negeri salah urus?

Secara moral, seorang pemimpin harus merasa malu bila daerahnya masuk kategori tertinggal. Predikat ini menunjukkan bahwa pemimpin gagal membawa kemajuan dan menghadirkan perubahan bagi daerahnya. Kategori tertinggal adalah potret kinerja pemerintah yang buruk dalam membangun daerahnya. Karena itu pemimpin harus malu bukan sebaliknya membanggakan ketertinggalan daerahnya.

Pernyataan kedua pemimpin Lembata ini menunjukkan bahwa keduanya gagal membangun Lembata. Pengakuan akan buruknya infrastrukut di Lembata Wakil Bupati dan ucapan syukur Bupati karena akan ada tambahan dana dari predikat minor ini adalah bukti sebagai pemimpin mereka tidak mampu membawa Lembata keluar dari ketertinggalan dan keterbelakangan; gagal mensejahterakan masyarakat Lembata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun