Mohon tunggu...
Gerardus Kuma
Gerardus Kuma Mohon Tunggu... Guru - Non Scholae Sed Vitae Discimus

Gerardus Kuma. Pernah belajar di STKIP St. Paulus Ruteng-Flores. Suka membaca dan menulis. Tertarik dengan pendidikan dan politik. Dan menulis tentang kedua bidang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Meneropong Peran Pendidikan dalam Pembudayaan Karakter

2 Mei 2020   20:56 Diperbarui: 2 Mei 2020   21:17 497
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Upacara bendera di SMPN 3 Wulanggitang, Flores, NTT. Dokumen pribadi

Pendidikan merupakan suatu usaha untuk membantu manusia mengembangkan dirinya. Secara leksikal, pendidikan berasal dari kata Yunani, paedagogia yang artinya pergaulan dengan anak. Paedagogia itu sendiri berasal dari dua kata, yaitu paedos yang artinya anak dan agoge yang artinya saya membimbing. Jika ditelusuri dari asal ususl katanya, pendidikan berasal dari bahasa Latin "educare" yang artinya mengeluarkan atau menuntun. Istilah ini menunjuk pada kegiatan atau tindakan untuk merealisasikan atau mengaktualisasikan segenap potensi anak.

Banyak pandangan tentang pendidikan dikemukan para ahli. Monstesori, misalnya, berpandangan bahwa pendidikan memperkenalkan cara dan jalan kepada peserta didik untuk membina dirinya sendiri.

Sementara menurut M. J. Langeveld pendidikan adalah pemberian bantuan bagi orang yang memerlukan. Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan bathin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak (2013:14).

Lebih jauh Ki Hajar Dewantoro menjelaskan maksud pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (ibid: 20).

Dalam pandangan Driyarkara, pendidikan adalah pemanusiaan manusia muda (homonisasi). Karena itu pendidikan harus membantu manusia muda agar secara tahu dan mau bertindak sebagai manusia dan bukan secara instiktifnya saja.

Selain itu pendidikan hendaknya dipahami juga sebagai humanisasi, agar seluruh sikap dan tindakan serta aneka kegiatan manusia terdidik benar-benar manusiawi dan semakin memanusiawi.

Dengan kata lain, menurut Diryarkara, pendidikan dimaksudkan untuk mengembangkan manusia agar menjadi makhluk yang memiliki cipta, rasa dan karsa yang manusiawi. (Widiastono, Basis Vol.07-08). Dari sudut pandang inilah maka setiap usaha pendidikan hendaknya membantu agar peserta didik menjadi lebih manusiawi.

Tilaar (2002:32) memandang pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan, dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Karena itu menafikan pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan ari perwujudan nilai-nilai moral dalam kehidupan manusai.

Pernyataan Tilaar ini mengandung arti bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia untuk menjadi makhluk yang berbudaya dimana perilakunya harus sesuai dengan norma dan nilai-nilai yang dianut masyarakat.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan tidak hanya bertujuan mentransfer pengetahuan tetapi juga merupakan proses alih nilai. Nilai-nilai yang merupakan warisan budaya bangsa ditransmisi ke generasi berikut melalui pendidikan. Disini pendidikan mengambil misi melestarikan budaya bangsa.

Budaya atau kebudayaan atau kultur asalnya dari bahasa Latin: colere, cultivare yang berarti "mengusahakan", yakni mengusahakan untuk mendapatkan kemajuan hidup. Menutur Ki Hajar Dewantoro (2013:54-55), kebudayaan adalah kebudayaan adalah buah budi manusia.

Karena budi manusia meliputi segala gerak-gerik pikiran, rasa dan kemauan, maka kebudayaan dibagi menjadi: buah pikiran (misalnya ilmu pengetahuan, pendidikan, pengajaran, filsafat), buah perasaan (misalnya keindahan dan keluhuran bathin, kesenian, adat istiadat, keadilan, keagamaan); buah kemauan (misalnya sifat perbuatan dan buatan manusia seperti industry, pertanian, perkapalan, bangun-bangunan).

Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya sangat kaya akan nilai-nilai budaya yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikut. Nilai-nilai yang sarat akan karakter tersebut diwariskan melalui pendidikan. Adapun nilai-nilai tersebut adalah religius, jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab.

Secara teoritis pendidikan mempunyai tujuan mulia, dimana tidak hanya memainkan peran mencerdaskan anak bangsa tetapi lebih dari itu mewariskan budaya bangsa guna membentuk karakter anak. Sebagaimana ditegaskan dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas bahwa tujun pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia (pasal 1).

Selanjutnya dalam pasal 3 dijelaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Artinya tujuan pendidikan tidak hanya menjadikan anak pintar tetapi lebih dari itu membentuk mereka menjadi pribadi yang baik.

Namun harapan pada tataran ideal tersebut tidak sejalan dengan fakta empiris dalam ranah implementasi. Generasi muda yang diharapkan memiliki karakter baik tidak benar-benar terwujud. Belakangan ini, warisan budaya yang mengandung nilai-nilai karakter tersebut seolah hilang dalam diri generasi muda. Nilai-nilai luhur tersebut semakin redup ditelan perubahan zaman; seakan tergilas perkembangan teknologi dan informasi. Mari kita perhatikan di lingkungan sekitar kita.

Sudah semakin jarang ditemui anak-anak memberi salam kepada orang tua. Generasi sekarang begitu gampang mengeluarkan kata-kata tidak sopan dan hal itu dinilai wajar dan lumrah. Lebih ironis, sesama anak bangsa saling mencaci-maki dianggap sebagai hal lumrah. Tidak terkecuali di sekolah, sikap murid terhadap guru pun tidak mencerminkan sopan santun. Hari-hari ini, sebagaimana diberitakan, murid semakin berani dan brutal menganiaya guru; siswa tidak hanya menentang tetapi juga menantang dan mengancam guru, orang yang mendidiknya. Padahal semua itu bertentangan dengan nilai-nilai budaya bangsa kita.

Fenomena sebagaimana digambarkan di atas menunjukkan bahwa karakter generasi muda bangsa sedang bermasalah. Generasi penerus bangsa kini telah mengalami degradasi moral. Hal ini mendorong lembaga pendidikan untuk mendesain ulang pola pendidikan karakter. Orintasi pendidikan (karakter) yang hanya menekankan pengetahuan sudah saatnya dirubah.

Artinya pengetahuan akan nilai-nilai karakter tersebut harus diimplementasikan melalui pembudayaan karakter. Yaitu suasana (lingkungan) kehidupan yang diciptakan di sekolah untuk menumbuhkan nilai-nilai atau karakter yang baik bagi semua komponen sekolah yaitu pendidik, tenaga kependidikan dan siswa.

Beberapa praktek pembudayaan karakter di lembaga pendidikan bisa diangkat untuk dijadikan contoh. Pertama, di SMP Negeri 3 Wulanggitang pembudayaan karakter yang dipraktekkan antara lain berdoa. Doa ini dijalankan setiap pagi secara bersama di lapangan sekolah sebelum KBM dimulai. Doa bersama yang lain adalah doa Angelus (dalam keyakinan Katolik) yang diakukan pada setiap jam 12 siang.

Tidak hanya doa secara bersama, doa juga dilaksanakan di setiap kelas pada saat istirahat dan ketika pulang sekolah. Selain berdoa, praktek lain yang dijalankan secara rutin adalah menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Ini dilaksanakan setiap hari setelah doa bersama. Melalui prakter pembudayaan di atas, nilai karakter yang mau ditanamkan adalah religious, semangat kebangsaan, dan cinta tanah air.

Kedua, di SMPK St. Piter Lolondolor dalam program yang dicanangkan oleh OSIS, siswa menjalankan kegiatan usaha dana berupa mengerjakan kebun guru, orang tua murid, atau masyarakat, atau mengangkat pasir atau batu bagi masyarakat yang membutuhkan. Nilai-nilai yang ditanamkan dalam praktek pembudayaan oleh lembaga pendidikan di pulau Lembata ini adalah jiwa kerja keras, semangat gotong royong, peduli social, dan mandiri.

Sebagai guru saya yakin bahwa setiap sekolah pasti mempunyai cara sendiri mengembangkan budaya karakter. Namun point yang mau disampaikan di sini adalah, pertama, nilai-nilai karakter tidak boleh hanya diwariskan lewat penanaman pengetahuan kepada siswa.

Dalam hal ini nilai tersebut tidak hanya sebatas diajarkan lewat pembelajaran di kelas. Namun nilai-nilai tersebut mesti dihidupi dalam praktek harian di sekolah.

Kedua, karakter tumbuh melalui pembiasaan yang dijalankan secara rutin. Nilai-nilai karakter tidak hanya diajarkan atau dipraktekkan dalam sekali saja. Nilai-nilai tersebut harus dipraktekkan secara terus menerus sehingga menjadi kebiasaan.

Ketiga, pembudayaan karakter membutuhkan keteladanan. Penanaman nilai-nilai karakter tidak hanya lewat kata-kata. Tetapi harus membumi dalam keteladanan. Karena itu dalam penerapan di masing-masing satuan pendidikan guru harus tampil menjadi teladan moral. Pemberi contoh sikap hidup berkarakter yang baik.

Jika ketiga hal tersebut benar-benar diwujudkan, niscaya nilai-nilai karakter benar-benar terinternalisasi dalam diri generasi muda harapan bangsa. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun