Mohon tunggu...
Kultsum AzZahra
Kultsum AzZahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi saya menonton dan memasak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perjalanan Sang Perubah

25 September 2022   10:24 Diperbarui: 13 Oktober 2022   14:58 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

       

“Priinggg” “prangggg” “priiingg” bangun tidur hingga akan tidur segalanya hancur. Hatiku hancur, jiwaku hancur, keluargaku hancur. Kenyataan hidup sebagai anak tunggal semakin memacu kehancuran hidupku. Bantingan piring-piring selalu terdengar karena kelakuan dua manusia yang dipaksa bersama. Ya! Orang tuaku dijodohkan karena alasan bodoh “harta”. 

Padahal keduanya berasal dari keluarga berpendidikan. Itulah alasan aku tidak peduli dengan pendidikan. Melihat fakta yang terjadi pada orang tuaku bahwa pendidikan terlihat tidak ada gunanya. Aku juga tidak memiliki teman. Siapa yang mau berteman denganku?. 

Diriku sendiri saja menyatakan aku setengah gila, bahkan sudah gila. Tak tau harus apa, tak punya tujuan, tak ada orang yang bisa dipercaya.  Setiap hari yang aku pikirkan hanyalah bagaimana cara keluar dari kehancuran ini?.

Hingga saat ini yang menemaniku hanyalah “handphone”. Segalanya aku lakukan disana. Aku bergabung ke dalam grup yang beranggotakan orang-orang yang rapuh,hancur bahkan gila sepertiku. Ku temukan grup ini di internet saat sudah tidak tau lagi harus mengadu ke siapa. Kita berbagi cerita, saling berpendapat, dan menyemangati satu sama lain. Jujur saja grup itu tidak terlalu membantu. 

Aku tetap merasa hancur. Bahkan bagiku sekolah bukan lagi tempat belajar, melainkan tempat tidur. Suara pecahan barang, nangis, teriak, dan pukulan terdengar setiap hari dirumahku. Dasar orang tuaku! Jika tidak saling cinta dan dijodohkan kenapa harus menghasilkan aku? Entah tuhan yang jahat, atau aku yang jahat? Atau orang tuaku yang bodoh dan jahat?.

1 maret 2015, seorang anggota grup bertanya padaku “apa yang kamu inginkan saat ini?” aku menjawab “ketenangan,kebahagian, orang tua yang rukun! Ohh maaf aku lupa itu sangat tidak mungkin. Aku hanya ingin ketenangan dan kebahagian versi diriku sendiri”.  “jika sempat, berkunjunglah ke Desa Manggilang,Jogja. 

Lihatlah apa yang ada disana. Semoga bisa merubah hidupmu”. Hahh! Aku bergetar, tidak mengerti maksud pesan itu. Tapi hatiku seperti tertarik untuk pergi kesana. Segera aku luncurkan surat izin sekolah kepada guruku selama lima hari. 

Aku bertekad akan pergi ke desa itu. Entah nanti apa yang terjadi, namun harapanku sangat besar pada tempat itu. Segera kukemas barang-barang secukupnya dan membawa sedikit uang yang aku punya. Aku tidak izin pada orang tuaku. Hanya mengirim sms singkat yang menjelaskan aku tidak akan pulang selama lima hari. Sudah kuduga! Tidak ada pesan balasan dari mama maupun papa. Membuatku semakin hancur saja!.

 Sembilan jam perjalanan dari Jakarta ke Jogja. Pintu kereta terbuka,udara panas Jogja sangat menyengat. Ku langkahkan kakiku ke tujuan awal, ya! Mencari Desa Manggilang. Beberapa kali kutanyakan pada warga Jogja, tentang Desa Manggilang. 

Aku terkejut! Ternyata desa itu sangat terkenal di Jogja. Jaraknya hanya 2 jam dari stasiun Jogja, jika naik bus. Namun aku juga heran, semua orang yang aku tanya tentang desa itu, langsung menatapku aneh. Apakah aku terlihat menyedihkan? Atau aku seperti gembel? Atau desa itu sungguh misterius? Tatapan orang membuatku semakin penasaran akan desa itu. 

Kuputuskan naik bus paling murah, tidak ber AC dan terlihat tua. Ini hari pertamaku di Jogja, jangan sampai uang habis sebelum pulang. Jadi aku harus berhemat.

“Desa Manggilang! Sudah sampai!silakan turun!” suara teriakan sopir bus membangunkanku yang tertidur pulas. Segera ku bayar lalu turun dari bus dengan perasaan campur aduk. Aku berdiri tepat di depan gapura yang bertuliskan “SUGENG RAWUH WONTEN ING DESA MANGGILANG”. Aku tak tau artinya. 

Mungkin seperti kalimat sapaan. Ku langkahkan kakiku agar semakin masuk ke desa. Luarrr biasaa! Hawanya sejuk, lingkungannya bersih, rumah-rumah bersih dan rapih,bentuknya pun indah. Berkeliling desa kurang lebih 10 menit,langsung aku tersadar “untuk apa aku kesini?” “siapa yang akan kutemui?” “aku akan tinggal dimana?” “makan?buang air besar?”. 

Kembali ku ingat pesan dari grup. Segera kucari warga desa, dengan harapan dapat membantuku selama disini. Ku hampiri segerombol ibu-ibu sedang makan bersama. Seorang ibu menyambutku, terlihat seperti memang sedang menungguku. “Ratih kan?” melihatku yang bingung, ibu itu melanjutkan “kami diberi tahu Norma, bahwa cepat atau lambat akan datang seorang perempuan bernama Ratih,dari jakarta”. 

Ya Norma adalah nama anggota grup yang mengirimkan pesan tentang desa ini. Para ibu segera mengajakku makan bersama dan bertanya-tanya sedikit tentang masalahku dirumah. “tinggalah disini selama yang kamu mau, pilih lah rumah yang kamu suka untuk ditinggali, jangan khawatirkan makan. Kami akan menyediakan gratis untukmu. 

Sebentar lagi malam tiba, istirahatlah. Kamu terlihat sangat lelah” ucap seorang ibu. Aku bingung! Ya! Sangat bingung! Banyak pertanyaan yang muncul dari pikiranku. Apa gunanya aku disini jika hanya untuk tinggal dan makan? Katanya akan merubah hidupku! Mana?bohong!. Rasa jengkel pasti ada. Namun, kuputuskan untuk istirahat, didalam rumah indah berwarna putih.

Bangun tidur masih dengan perasaan jengkel. Tidak di Jakarta ataupun Jogja,sama saja!. Terdengar suara ramai anak-anak kecil memanggil satu sama lain dari rumah ke rumah. Segera aku keluar untuk melihat. Setiap anak menyapaku dengan senyuman indah. “ini yang aku dambakan, sederhana namun menyenangkan. 

Ditambah suasana Jogja yang sejuk dipagi hari” gumamku yang awalnya sedang jengkel. Aku kaget! Sangat kaget!. Setelah diperhatikan, kebanyakan anak itu adalah difabel atau cacat. Seorang ibu menghampiriku untuk memberi sarapan. Melihat muka ku yang kaget, ibu itu peka, dan langsung menjelaskan panjang lebar.

“mungkin kemarin kamu bingung untuk apa kesini. Biar saya jelaskan. Desa ini sudah ada sejak tahun 1980. Awalnya seorang warga desa melahirkan anak cacat fisik bernama Riza ditahun 2000. Anak itu merasa hancur. Karena dengan fisik yang dia punya, dia tidak akan bisa apa-apa. 

Orang tuanya pun sangat kekurangan dalam segala hal. Namun Riza anak yang sangat cerdas. Baginya pendidikan sangat penting apapun keadaannya. Saat ini anak itu di undang ke berbagai acara untuk membagikan kisah hidupnya. 

Dia juga bercita-cita ingin menjadi arsitek. Rumah-rumah didesa inipun adalah ide dia. Orang tua Riza meninggal karena kecelakaan bus lima tahun lalu. Dia merasa semakin hancur. Warga desa berusaha membantu kehidupan dia. Kita semua kaget saat mendengar apa permintaan Riza. 

Ya dia hanya meminta kita untuk mengumpulkan anak difabel yang tidak memiliki orang tua seperti dirinya untuk tinggal bersama di desa ini. Awalnya kita keberatan, karena mengurus banyak anak difabel tidaklah mudah. 

Namun kita semua menyayangi Riza. Mulai hari itu, kami jadikanlah desa ini terbuka untuk semua anak difabel yang membutuhkan. Kamu bisa melihat kegiatan anak-anak itu digedung sebelah sana” si ibu menutup kalimatnya sambil menunjuk sebuah gedung yang indah. 

PLAKKKK! Tidak ada yang menampar,tapi aku sangat tertampar. Ku tarik ucapanku saat mengatakan “entah tuhan yang jahat!” oh sungguh bukan, ternyata aku yang bodoh dan jahat pada diriku sendiri. Ku selesaikan sarapan, bersih-bersih, lalu menuju gedung yang ditunjuk ibu tadi.

Ku buka pintu gedung, ku lihat banyak anak difabel sedang belajar. Ya mereka BELAJAR!!. Mulai dari pelajaran biasa, sampai melatih kemampuan. Sesekali ku lihat seorang guru yang membantu mereka belajar. Segera ku cari Riza. Aku penasaran dengan cara berpikirnya. Riza lebih muda 3 tahun daripada aku, tapi cara berpikirnya sungguh luar biasa. 

Seorang anak dengan kursi roda menarik tanganku. “kak Ratih?” “oh aku Riza! Senang kaka datang”. Aku tersenyum senang, segera ku minta izin padanya, apakah aku bisa mengobrol dengan dia. Dia pun mengiyakan dengan senang. 

Di awali dengan basa basi, hingga aku menceritakan kehidupanku di Jakarta, untuk apa dan bagaimana aku bisa kesini. Riza tersenyum, lalu berkata “tidak hanya kaka yang hancur. Banyak orang yang lebih hancur di luar sana. Ketika seseorang salah , jangan salahkan pendidikannya. Tetapi salahkan orang itu sendiri. Saat ini kaka tidak memperdulikan pendidikan, tetapi selalu bertanya bagaimana keluar dari kehancuran. 

Hmm kurasa itu sia-sia. Yang bisa membuat diri kaka bahagia,sedih, atau bahkan hancur hanya diri kaka sendiri. Bagiku kebahagiaan kuncinya hanya satu, yaitu Ilmu. 

Dengan ilmu kaka bisa melakukan segalanya. Sekolah yang rajin ya ka! Biarpun lingkungan terlihat seperti musuh, tetapi ilmu tidak pernah memiliki musuh” Riza berhenti berbicara sambil menggenggam tanganku. Anak cantik itu berhasil membuat aku menangis. 

Sudah lah aku tertampar dua kali karena perkataanya. Ku tatap mata Riza, terlihat puas karena merasa berhasil merubah pola pikirku. Ku peluk erat gadis itu sambil menangis. Riza menyemangatiku berkali-kali membuatku tidak merasa hancur lagi dan tidak merasa sendiri lagi.

Sehari berikutnya ku habiskan waktuku untuk banyak belajar dari Riza dan teman-teman difabel lain, juga dari ibu-ibu warga desa. Di hari keempat aku memutuskan untuk pulang. Ku sisakan satu hari untuk beristirahat dirumah. Sangat berat berpamitan dengan warga desa yang sangat baik, apalagi Riza!. 

Namun aku harus terus berjalan untuk merubah hidupku ke depan. Setelah makan siang bersama, kami berpelukan. Aku berjanji pada mereka semua, bahwa suatu hari akan kembali mengunjungi. Ku tenteng tasku,sambil melambai, dengan tersenyum lebar, keluar dari desa,lalu naik bus. 

Perjalanan pulang sama seperti saat pergi. Aku naik kereta lagi. Sambil melihat keluar jendela, aku terus mengingat-ingat kejadian di desa itu. Kini aku mengerti,mengapa orang-orang bingung melihatku saat bertanya tentang desa itu. Tenyata aku adalah orang yang tidak bersyukur dengan keadaan, dan bodoh karena tidak peduli akan pendidikan.

 Sampai dirumah, seperti biasa, papa dan mama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Hanya melihatku sekilas yang baru tiba, dan langsung lanjut lagi dengan kegiatannya. Aku masuk kamar, istirahat, lalu mengatur ulang jadwal kegiatanku. Aku bertekad akan seperti Riza, selalu mementingkan ilmu dan pendidikan. 

Karena yang bisa merubahnya hanya diriku sendiri. Ku ucapkan banyak terima kasih pada orang-orang grup yang telah mengertiku, tidak lupa kepada mba Norma yang merupakan jalan utamaku untuk mau berubah. Tak apa orang tuaku seperti itu! Yang jelas, aku akan menjadi ibu yang baik untuk anak-anakku kelak. Kalian juga kan? .

-TAMAT-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun