Aku hadir sebelum adzan zhuhur bertalu-talu. Embun pagi masih melekat di tembok-tembok kusam. Kicau burung-burung menyambut hadirnya mentari. Tidak semua masalah, orang lain tahu masalah tersebut.Â
Tidak semua orang memvonis luka dengan dugaan yang fakta. Di pagi buta kehadiran Rahim semesta tanpa disadari. Ia sendiri membawa kabar buruk untuk penguasa.Â
Kebenaran yang belum tentu benar. Membawa segala cara kebohongan untuk mencari kebenaran. Aku seperti tertarik menawar barang tersebut yang belum jelas bentuknya. Aku seperti tergiur tetapi hampir tak sekali ingin mempunyai. Sudah jelas warna hitam itu pekat kau malah mencoba untuk menghapusnya dengan pengapus (air mata).Â
Atau mewarnai kembali dengan warna yang lain supaya menarik. Dan warna hitam itu hilang tak berganti warna lain. Kejanggalan itu mulai menjadi-jadi dimana tetes air mata seorang ibu yang menyesali tindakan atau perlakuan anaknya pada kekasih anaknya. Ia sama sekali tidak ingin ada yang dirugikan karena kebohongan yang kusampaikan ini. Bahwa akulah yang maha benar pada perkara ini.
Aku bercerita tentang apa yang terjadi pada luka di waktu mentari tiba dan mencoba mengobatinya dengan hujan. Aku melihat setatus kekasih anakku. Dia memarahiku seperti orang yang mabuk karena efek penggunaan sabu, keluhnya. Aku buat skenario supaya orang yang ku wawancarai berusaha membuka fatwa tersebut.Â
Pelan-pelan aku merangkum perkataan yang disampaikan olehnya. Aku lupa merekam pembicaraan kemarin. Sehari-hari bertemu seperti ada yang berbeda pada tingkah lakunya. Dia menyakini lawan bicara dengan perumpaan hilangnya kalung di leher si mungil cucunya. Kalung tersebut dilepas oleh anakku.Â
Ibunya bilang pada cucunya itu dengan polosnya. Sama bakung atau opung kalung dede dilepaskannya? Munafik dong padanganku pabila sahabatku mengambil kalung hanya untuk demi membeli sabu-sabu. Atau ini hanya jebakan atau padangan ku anakku mengebossi semua itu untuk teman-temannya. Pabila anakku punya hutang bilang nominalnya berapa.Â
Agar ibu yang melunasi, tegasnya dengan tetesnya air mata bersamaan. Dan setau ku ia hanya mengonsumsi vegetarian tersebut di gunung saja tidak lebih dari itu, tegasku. Mumpung ibu yang menyelidiki dahulu daripada ayahnya atau masnya yang menanyakan hal ini sebelum terjadi semuanya.Â
Ibunya berusaha mencari info siapa yang suka membeli sabu-sabu itu dari mana asalnya. Karena minggu-minggu ini kondisi anakku seperti kurus sekali. Dia sudah umur 25 tahun. Saya kuatir dia minder pabaila bertemu dengan orang-orang, ujarnya. Ibu pingin sekali buatkan dia usaha seperti saudaranya.Â
Usaha laundry namanya. Ia aku suruh mantau atau curi ilmunya kemudian nanti di aplikasikan sendiri di rumah. Akan ibu modali untuk segalanya, tegasnya. Ia selalu menanyakan dari mana sumber pemilik barang tersebut kalau memang kamu tahu beritahukan saja, tegasnya. Ibu tidak akan menceritakan ini pada orang lain sekalipun dengan Tuhan.Â
Tapi ibu tidak menyalahkan pabila ayah dan masnya yang turun untuk mencari berita kebohongan tersebut. Untuk komunikasi gawai di rumah sudah ibu sadap semua.Â
Jadi aktivitas orang rumah pasti ibu mengetahuinya sekalipun dengan hubungan intim anakku dengan kekasihnya. Saya mencoba menceritakan yang ingin diceritakan dan tidak ingin menceritakan yang tidak diceritakan.Â
Sehari-hari memang betul anak ibu, aku, adik-kakak dan teman-teman lain selalu bermain bersama denganku di rumahnya. Tapi saya tidak sama sekali menyebutkan subjek bahwa adiknya yang memiliki barang tersebut. Ini bukan pembelaan tapi ini fakta yang saya ucapkan pada ibunya.Â
Ibuku sama sekali tidak boleh terlibat untuk perkara tersebut. Ibu sudah di dapur saja jangan dulu nimbrung, pintanya Memecah ketegangan. Hanya sekedar silahkan di minum wejangan itu, seru ibuku. Tak terasa sudah hampir sejam mencari info-info janggal ini.
Barusan ibunya dari rumahku. Menceritakan hal yang sama. Rupanya pun sama. Waktu kejadiaan dan bajunya sama. Tapi respon temankubaik. Ia menyangkal bahwa kelakuan kekasih anak ibu tidak benar. Cemburuan oper aktif terhadap apa yang ibu dapati info darinya. Itu fitnah bu. Dan pamit karena ibunya ingin kerumah ku.Â
Padahal sebelum kerumahnya, kerumahku dahulu. Ibunya pulang membawa segala fakta yang didapat dan ingin sekali menceritakan dengan secara detail dari dua sumber tersebut. Ibu yakin dengan sumber yang tadi ibu akan melaporkan pada anakku yang kerja di kepolisian untuk menangkap mereka-mereka itu.Â
Ibu bangga karena berhasil menjuarai perlombaan menulis cerpen dengan judul Luka ku (yang) dibuat-buat. Tapi ibu janji tidak akan menceritakan pada ayahnya dan masnya, tegasnya padaku. Tuhan saja tidak tidur, aku saja yang membeli mimpi.
Anaknya bercerita. Ibu suka mengada-gada. Menelan mentah-mentah info yang belum jelas faktanya. Aku suka sedih dengan perlakuan ibuku sendiri. Untuk perihal utang.Â
Aku ingin bercerita terkait topik hutang, bahwa aku sadar pernah meminjam uang pada kakakku untuk biaya modal produksi pemesanan sablon. Karena sudah selesai orderannya.Â
Uang yang dipinjami kakak ku sudah ada. Dengan nominal dan jumlah yang sama untuk berniat mengembalikanya. Tetapi kata kakakku ya sudah nanti saja.Â
Yaudah dong taku simpen, serunya. Memang kadang ibu minjam uang recehanku untuk kebutuhan jajannya. Yasudah pakai saja bu, sendunya. Aku tidak akan menagihnya seberapapun jumlahnya. Udah biar aku dan ibu saja yang tahu masalah ini. Memang pernah ibu ngasih aku uang untuk biaya pesanan sablon 3 pcs dengan nominal dua ratus.Â
Ya sudah aku hanya iya saja karena lagi asik main game. Akhirnya aku pun lupa bahwa uang tersebut aku pakai untuk jajan karena dia juga gak jelas, keluhku. Nanti ngasih harga ke orang berapa ya, tanyaku. Dan kekasihku menagih utuk ngajak jalan pada hari itu. Aku bilang aku ngga ada duit, kalo maksa sekalipun.Â
Ya sudah aku bela-belain untuk pakai uang dua ratus itu karena uang segitu nanti bakal aku lunasi dan kalau sudah ada aku kembalikan, keluhnya.Â
Hanya sekedar dua ratus. Sehari-hari memang keluarga ku tidak harmonis. Aku sebenarnya tidak ingin menceritakan hal tersebut tapi ya sudah karena sudah kejadian.
Lalu aku rasa pabila terjadi pada sahabatku si adik. Aku harus turun dan pasang badan terkait perihal lelucon gila atau fitnah atau bahkan pencemaran nama baik ini.Â
Aku sama sekali tidak menyebutkan subjek terkait barang haram terebut. Pabila ibunya kekeh dan tetap kekeh dengan pendapat itu. Ya sudah perang adalah perang. Ini hanya korban fitnah yang disampaikan oleh pengkhianat. Ini pelajaran dan ilmu yang ku dapati di Univeristas Kera Cokil. Semua ada hikmahnya dan sama sekali tidak suka dengan sifatnya.
Hari setelah kejadian itu aku tahu. Jangan sekali-kali mutlak percaya pada omongan orang lain sekalipun dengan seorang ibu. Aku lebih memuliakan ibu sendiri ketimbang percaya pada ibunya orang lain. Adakah permohonan maaf dari kekasihnya ? tunggu saja sampai kiamat tiba. Pendengki di masa pendemi. Ah lu, candanya.
Kamis, 11 Juni 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H