Mohon tunggu...
Kukuh Purwanto
Kukuh Purwanto Mohon Tunggu... Penulis lepas -

Don't follow me. I'm lost too!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bagaimana Cara Membuat Biografi

7 Desember 2018   10:11 Diperbarui: 7 Desember 2018   10:36 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ia lahir satu pekan sebelum hari Keluarga Berencana, pada Sabtu Pon 1981 yang dirundung badai sedari subuh. Ibunya telah mewanti-wanti kepada sang ayah yang agak gila agar memanggil dukun beranak sejak sehari sebelumnya, dan pesan itu dilaksanakan dengan patuh oleh sang ayah; lelaki itu menggelandang tukang tambal ban yang tampak linglung ke rumahnya ketika ketuban istrinya pecah.

Bayi itu dilahirkan oleh ibunya sendiri, sendiri dalam arti yang benar-benar harfiah. Sang ibu yang murka dan kesakitan mengusir tukang tambal ban beserta suaminya yang gila dengan memakai apa saja yang terjangkau oleh tangan. Dia terlalu letih untuk meminta bantuan pada tetangga, maka dengan tertatih dia menuju dapur dan bersandar pada sumur pompa sambil menggenggam pisau untuk memutus tali pusar.

Ia dinamakan Ngaisah, sesuai dengan nama istri Rasul yang sering ibunya dengar dari corong surau. Menjadi setengah yatim sejak dilahirkan tentu bukan perkara mudah bagi siapapun, termasuk Ngaisah yang bertambah muram dari hari ke hari akibat ibunya yang sakit-sakitan dan ayahnya yang menggila. 

Ayahnya tak pernah pulang sejak diusir oleh ibunya ketika ia dilahirkan, tetapi lelaki itu masih tinggal di kota yang sama dengan keganjilan yang terus bertambah seiring waktu. Para tetangga berceloteh dengan riang perihal ayahnya yang menyusuri jalanan tanpa busana dan anak-anak mereka mengejek Ngaisah dengan pelbagai julukan keterlaluan.

Ngaisah gantung seragam saat kelas lima Sekolah Dasar demi menjadi tulang punggung keluarga. Ibunya tak mampu bangkit dari ranjang sejak dua bulan sebelum Ngaisah menghanyutkan buku-buku pelajarannya di Bengawan Solo dan melamar kerja di keluarga juragan kopra. Bakat menjualnya telah tampak ketika sesi wawancara di beranda rumah sang juragan.

"Saya sudah punya pembantu yang cakap dan tak ingin menambah pembantu lagi saat itu, apalagi yang melamar kerja adalah bocah dekil yang mengangkat wajan pun sepertinya tak mampu," kata Loekminto, sang juragan kopra sekaligus tuan Ngaisah. "Tapi bocah ini berkata bahwa ia mampu memasak makanan apa pun dengan kelezatan yang sulit ditandingi oleh siapapun, dan karena itulah saya menerimanya. Meski ternyata bikin tempe goreng pun ia tak becus."

Sulit membayangkan horor macam apa yang ibunya makan selama itu, tetapi dengan bimbingan luar biasa dari pembantu senior sang juragan dan kegigihan Ngaisah untuk belajar, bocah itu akhirnya mampu membuat sesuatu yang bisa disebut makanan pada hari ketiga ia bekerja, dan membuat Loekminto sekeluarga tercengang pada minggu keempat saat menyantap tengkleng bikinannya.

"Harus saya akui, tanpa tengkleng bikinan Ngaisah di surga kelak, saya lebih memilih masuk neraka," ujar Loekminto dengan mimik serius, yang diamini istrinya.

Ngaisah berhasil menyajikan makanan surgawi kepada keluarga itu tiap hari, tetapi ibunya yang lumpuh akhirnya wafat di tahun keduanya bekerja, empat pekan setelah menstruasi pertamanya. Ia tak lagi seorang bocah, tetapi fase baru itu mengantarkannya ke status baru yang membuatnya sebatang kara. Ia menangis sehari semalam, tak menggubris kedatangan keluarga Loekminto yang membujuknya agar tak meratapi jenazah sang ibu.

Gadis itu menampik ajakan sang juragan untuk tinggal di rumahnya. Ia tetap pulang ke rumah bobrok itu sebagaimana biasa sepulang kerja. 

Ia tidur di ranjang ibunya, membuat wedang jahe pada pagi dan petang dan meletakkannya di meja reyot di samping ranjang untuk sang ibu, dan memasak air di pagi buta sebelum berangkat kerja untuk menyeka tubuh sang ibu, yang akhirnya ia buang sepulang kerja bersama wedang jahe yang tak terminum untuk kemudian mengulangi siklus itu keesokan hari.

Bagaimanapun, kepedihannya tak berpengaruh buruk terhadap cita rasa masakan buatannya. Ngaisah masih bekerja di keluarga Loekminto meski sang mentor telah pensiun akibat encok dan katarak. 

Anehnya, cita rasa masakannya naik ke level kelezatan yang tak terdefinisikan. Loekminto menyebutnya "hidangan yang semakin mendekatkannya pada tuhan", dan istrinya semakin tekun berdoa agar di surga nanti dirinya mendapat babu sepintar Ngaisah.

Pasangan juragan itu mempunyai satu orang anak lelaki. Namanya Slamet Riyadi, yang kemudian dia ubah sendiri pada ulang tahunnya yang kedelapan belas menjadi Tommy Riyadi akibat kesengsem berat pada nama salah satu jagoan di kartun Power Rangers. Pemuda itu berselisih lima setengah tahun dari umur Ngaisah.

Sebagai anak tunggal juragan kopra terkaya di kota Cepu, yang luas kebun kelapanya saja setara dengan luas empat desa, tentu bisa dimaklumi bila perangai Tommy jauh dari keberadaban. 

Umurnya masih empat belas ketika Loekminto menghadiahinya sepeda motor Suzuki GSX-1000 yang bisa dipacu hingga kecepatan 200 kilometer per jam, dan bocah itu memakainya untuk mengirim seorang penjaja jagung rebus ke rumah sakit dengan enam rusuk yang patah. 

Pada kesempatan lain, yaitu ketika Tommy menginjak SMA, orangtuanya membeli Honda Estilo yang akhirnya remuk tiga hari kemudian di jurang Sarangan. Tommy selamat, untungnya begitu.

Loekminto berhasrat mengirim Tommy kuliah ke Australia, tetapi anaknya terlalu bodoh bahkan untuk sekadar menulis "I love you" dengan ejaan yang benar. Maka, terdamparlah dia di kamar kos di jalan Kaliurang, Yogyakarta, dengan prestasi terbaiknya adalah berangkat kuliah tepat waktu dengan mulut tak berbau ciu, sesuatu yang amat jarang terjadi. 

Dia mengabaikan semua mata kuliah dan memilih untuk meniduri banyak wanita, yang kebanyakan adalah mahasiswi berdompet tipis yang sedang butuh uang demi melentikkan bulu mata. Memang, sesekali Tommy telat bereaksi sehingga pacar-pacarnya hamil, tetapi itu bukan masalah besar mengingat tak ada bidan yang tak bisa dibeli. Untung sekali.

Pencapaiannya yang mengharukan itu memaksa pihak kampus untuk mendepaknya. Dia drop out di semester ke tujuh belas. Pulang ke kampung halaman dan menjadi putra mahkota, Tommy baru sadar kalau di rumahnya selama ini berdiam seorang perawan. 

Ngaisah, gadis yang dia kenang sebagai bocah dekil dan udik dan berpayudara rata, kini menjelma gadis matang dengan bongkah daging segar di bagian depan dan belakang, meski tubuhnya masih berbau bawang.

Saat itu Jakarta diguncang prahara gerakan reformasi. Soeharto, presiden yang telah berkuasa terlalu lama sehingga membutuhkan bantuan mahasiswa untuk mengingatkannya pada cara turun tahta, berbuat apa saja agar pergerakan masif mahasiswa dapat dicekal. Namun, mahasiswa yang menduduki gedung MPR, dan disusul oleh masyarakat yang dengan gembira menjarah apa pun di tiap toko yang mereka temui, memaksa Soeharto untuk mundur dan berujar di televisi bahwa tak menjadi presiden pun ia "ora pateken".

Akan tetapi, gelombang kerusuhan menjalar hingga ke luar Jakarta. Kota-kota besar di pulau Jawa membara. Toko-toko dijarah dan dibakar, terutama bila pemiliknya adalah keturunan Tionghoa. Gelombang migrasi etnis Tionghoa yang ketakutan membeludak, memenuhi ruang tunggu bandara dengan kecemasan akan masa depan dan tercerabutnya dari masa lalu.

Situasi panas di seluruh negeri tak menular hingga ke Cepu, meski itu tak berlaku di keluarga Loekminto. Istrinya yang amat jarang menitikkan air mata kini terduduk lemas di ranjangnya dengan kelopak mata yang hanya menyisakan segaris celah. Ia sudah pingsan sebanyak delapan kali dalam dua puluh empat jam, sementara suaminya membanting selusin porselin dan vas kristal dan dua buah tv dalam rentang waktu yang sama. Penyebabnya jelas: Ngaisah.

Gadis itu dihamili oleh Tommy, anak sang majikan yang memiliki kompetensi untuk menjadi Don Juan. Sialnya, tak seperti pacar-pacarnya yang dengan senang hati menggugurkan kandungan untuk kemudian dia tinggal pergi, Ngaisah berkeras ingin mempertahankan kehamilannya, apa pun yang terjadi. Tommy mengancam akan melenyapkan jabang bayi itu beserta ibunya, yang dibalas dengan anggun oleh Ngaisah dengan melaporkan perbuatan Tommy kepada Loekminto.

Sang juragan pun terluka harga dirinya. Bagaimanapun, menghamili seorang gadis jauh lebih biadab ketimbang mencabut nyawa orang dalam sebuah kecelakaan, apalagi gadis tersebut adalah pembantunya sendiri. Loekminto dihadapkan pada pilihan dilematis: menikahkan anaknya semata wayang dengan gadis berkasta rendah, atau menolak bertanggung jawab yang akan mendatangkan cemooh lebih heboh dari para tetangga dan kolega. Bila dipikir-pikir, kedua pilihan itu sama-sama membuatnya malu.

Loekminto pada akhirnya tak memilih pilihan pertama, dan juga yang kedua. Ia merancang pilihan nomor tiga yang lebih ekstrem, yang ia lakukan keesokan harinya. Juni 1998, Tommy dikirim ke Australia dengan dalih meneruskan kuliah. 

Ia menyewa tiga centeng yang membekap Ngaisah di rumahnya sepulang kerja, menguret kandungannya di klinik salah satu dukun bayi ketika gadis itu pingsan, lalu membuangnya di Caruban, di rerimbun alas saat tengah malam.

"Nama baik keluarga adalah segalanya," terang Loekminto dengan mimik sedih, "meski saya harus kehilangan cucu dan tengkleng terbaik."

Anaknya tak pernah pulang ke Indonesia sejak saat itu. Tak juga mengirim kabar. Namun, sang mantan calon menantu entah bagaimana bisa kembali ke Cepu. Gadis itu telah berubah sepenuhnya. Ia kehilangan wajah ayu dan postur semampai dan kemampuan jeniusnya dalam memasak, dan juga kehilangan kewarasannya. 

Ngaisah bisa Anda temui di taman Sewu Lampu Cepu, atau pada emperan toko dan los pasar ketika malam. Ia mendendangkan lagu Nina Bobok kala siang dan Teluk Bayur saat senja, dan orang-orang menjulukinya Mamah Jahat meski tak ada kejahatan apa pun yang ia lakukan selain buang air sembarangan.

Dan Mamah Jahat adalah ibu saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun