Saya menulis ini di lobi penginapan di kota Nyecete, kota terbesar di Pulau Otilpukis, pulau terluar Indonesia di barat laut. Bersama empat rekan, kami melakukan ekspedisi Jelajah Kuliner Nusantara, kegiatan yang disponsori penuh oleh satu perusahaan vetsin. Setelah delapan belas hari menjelajah Sumatera dan sebagian Kalimantan, jadwal kami mengarah ke timur, dan kota Nyecete ada di persinggahan pertama.
Kami berangkat dari Palangkaraya dengan pesawat carteran sore itu. Seperti apa rupa kota itu hanya bisa kami terka, sebab tak ada referensi apa pun mengenai Nyecete. Barangkali ia semungil Cepu, dengan arsitektur yang lebih membosankan dan situasi kota yang jauh lebih lengang.
Kami tahu bahwa dugaan kami keliru beberapa saat setelah pesawat mendarat. Memang benar bahwa bandara Nyecete serupa bandara perintis pada umumnya: fungsional dan efisien, untuk tak menyebutnya kecil dan tak menarik. Namun, keriuhan yang hanya bisa disaingi oleh stadion sepak bola yang tengah menggelar laga final memenuhi telinga kami. Lengkingan dan teriakan dan desisan berbaur di telinga kami menjadi dengungan.
Begitu mengamati dengan lebih cermat, kami tahu penyebabnya: tiap orang di sini memiliki tiga mulut! Satu berada di tempat yang semestinya, sedangkan dua yang lain berada di tempat yang seharusnya dihuni alis. Tak hanya itu, sebagian dari mereka memiliki hanya satu telinga di sebelah kiri, sedangkan sebagian lain tak bertelinga sama sekali. Tempat yang biasanya dihuni telinga berganti dengan celah sempit seukuran batang korek, dengan selaput hitam menutup rongganya.
Sopir yang menjemput kami juga bermulut tiga dan tak bertelinga, dan di sepanjang jalan ia tak hentinya berceloteh dengan ketiga mulutnya sekaligus.
"Sebenarnya ada lima," jawabnya dengan mulut di atas mata kanan ketika saya bertanya puluhan kali. "Yang dua lagi ada di sini, nih." Ia mengacungkan kedua jempol tangannya. Ada sesuatu  seperti robekan di situ, bergigi dan berlidah mungil.
Anda barangkali tak percaya pada cerita saya kali ini, dan diam-diam menyebut saya pembual. Saya tak ingin membuang waktu Anda menekuri cerita saya bila Anda bersikap apatis sejak mula; saya menghormati dengan tulus keputusan Anda. Bagaimanapun, Anda tentu tahu, adalah sebentuk kesia-siaan bertutur mengenai kelezatan tengkleng pada seorang vegetarian.
Bermulut lima jelas bukan penyakit, setidaknya itu kesimpulan awal kami. Penduduk Nyecete sesehat penduduk di kota lain. Dan mengingat mereka gemar sekali berbicara keras-keras, kesehatan prima dan stamina mumpuni menjadi suatu keharusan. Tak banyak kota yang rumah sakitnya sesepi mal di hari Senin siang seperti di sini, dan pasien yang sedikit itu masih saja berceloteh riuh meski dicucuk selang infus.
Kami sepakat meminggirkan agenda berburu kuliner sejenak demi mencari jawaban mengenai apa yang sebenarnya menimpa penduduk Nyecete. Investigasi ini, yang dirangkum dari pelbagai sumber, menghasilkan kesimpulan: proses evolusi masif dan amat cepat sedang terjadi.
Pada awalnya, semua manusia di Nyecete berorgan normal seperti kita. Mereka punya satu mulut dan dua telinga dan satu hidung dan dua mata; intinya, mereka senormal yang mampu dibayangkan manusia normal. Itu berlangsung sejak dulu hingga menjelang abad ke-20, saat televisi dan telepon kabel datang menyerbu dari Jawa.
Sebuah arsip mencatat Agustus 1989 sebagai awal mula evolusi tahap pertama---ada dua tahapan evolusi dengan klasifikasi berdasarkan jumlah mulut dan telinga. Evolusi ini mengubah rupa tujuh puluh tiga keluarga di pinggiran barat kota yang---saya harap cuma kebetulan---senang mengisi waktu senggang dengan menonton tv untuk kemudian bergosip lewat telepon. Dua mulut tumbuh di masing-masing tempat yang dulunya alis, dan telinga kanan lenyap seperti tak pernah ada sebelumnya
Hanya butuh empat puluh satu hari untuk mengubah wajah seisi kota.
"Penduduk di sini sekarang bisa mengobrol tentang apa pun tanpa takut kena kram mulut. Dua mulut tambahan itu bertutur sefasih mulut konvensional, dan warna suaranya berbeda bergantung pada mulut mana yang bicara," ujar salah satu warga. "Semua orang bisa bergunjing atau menelepon simpanannya dengan tenteram sekarang."
Evolusi tahap kedua bermula pada Februari 2004, dengan penambahan jumlah mulut dan kehilangan telinga yang tersisa. Kasus pertama yang tercatat menimpa seluruh siswa sekolah di tiga SMA dan sebagian siswa di sembilan SMP. Baru pada enam tahun lalu evolusi ini berlangsung di tingkat usia yang lebih tinggi, menyerbu separuh penduduk kota yang sebelumnya telah cukup puas memiliki tiga mulut saja.
Perubahan fisiologis ini bukan tanpa sebab: satu jurnal kesehatan yang beredar terbatas di kalangan dokter spesialis di kota Nyecete menyimpulkan bahwa penetrasi jejaring sosial menjadi pemicu utama evolusi tahap kedua. Menurut jurnal itu, kecenderungan pengguna jejaring sosial untuk bereksistensi lewat status dan komentar berbanding lurus dengan kecepatan evolusi.
"Orang-orang lebih memilih berlama-lama di depan layar ponselnya, mengetik apa pun yang ada di kepala, dan berpikir bahwa membaca status atau berita online sama bergunanya dengan membaca buku," tutur seorang dokter yang tak ingin namanya disebut di sini. Saya setuju dengannya, tetapi mengapa hal itu hanya terjadi di Nyecete dan tidak di tempat lain? Toh, jaman sekarang mudah sekali menemukan orang-orang yang menghabiskan hidupnya di dunia maya.
"Barangkali disebabkan oleh kultur kami; seorang pendiam bisa dikucilkan seumur hidupnya di sini. Tetapi, tidak menutup kemungkinan evolusi yang sama akan terjadi pada orang lain di daerah lain, asal mereka senang sekali menggunakan mulutnya ketimbang organ mana pun seperti masyarakat di sini."
Dokter itu benar. Evolusi, bagaimanapun, hanya berlaku pada entitas yang membutuhkannya. Bila semak dan rumput adalah makanan utama jerapah, tentu ia tak akan berleher panjang. Logika yang sama bisa dipakai untuk menerangkan alasan hilangnya telinga dan bertambahnya mulut masyarakat Nyecete.
Alih-alih mencari solusi untuk meredam laju evolusi, Pemerintah Kota Nyecete menganggap evolusi ini sesuatu yang unik sehingga patut disyukuri, bahkan dirayakan. Contohnya, Pemkot secara rutin mengadakan program "Celoteh Hari Ini" di alun-alun. Pesertanya memenuhi alun-alun, duduk merubung layar jumbo dengan kepala tertunduk dan mulut yang tak pernah mengatup. Mulut yang mana pun.
Peserta diminta untuk berkomentar sepanjang mungkin di status medsos milik Pemkot, dan pemenangnya akan dipampang di layar  itu. Pemenang  kemarin adalah seorang gadis enam belas tahun yang mengetik empat ratus delapan puluh tujuh komentar dalam satu status Pemkot mengenai pentingnya mencuci tangan. Komentarnya sendiri tak ada satu pun yang berkorelasi dengan kebersihan.
Dengan perasaan tertekan oleh kebisingan yang tak berputus saya memutuskan untuk segera pulang. Saya telah menyaksikan dampak buruk dari ketidakmampuan manusia untuk mendengar sekaligus berhenti berbicara, dan itu semua membulatkan tekad saya untuk melego ponsel dan menekuri buku di sepanjang sisa hidup sesampainya di rumah nanti.
Namun, masih ada tugas yang harus dirampungkan sebelum pulang. Maka, saya dan keempat rekan mengunjungi restoran terbaik di depan alun-alun, memesan apa pun yang direkomendasikan sambil terus menutup telinga, dan mendapati makanan pembuka kami diantar lima menit kemudian oleh pramusaji bermulut tiga tanpa telinga.
"Ah, Anda semua bukan penduduk kota ini, saya pikir. Suatu kehormatan untuk saya, kalau begitu, mengingat orang asing terakhir yang saya layani adalah Tuan dan Nyonya Tampubolon, tiga tahun lalu. Asal Anda tahu, mereka tamu saya yang terbaik selama ini; mereka memberi saya tip besar setelah saya ceritakan tentang kosmologi dan prakiraan cuaca dan silsilah keluarga saya dan masih banyak lagi. Memang, sih, saat memberikannya wajah mereka tak sesumringah ketika baru datang, tetapi saya pikir mereka bahagia mendengar cerita saya, dan izinkan saya menceritakannya ulang kepada Anda sekarang, kalau boleh, dan tentu saja boleh, sebab---"
Ia baru berhenti ngoceh setelah separuh uang di dompet saya berpindah ke tangannya. Dengan takzim ia menyalami saya dan berkata, "Anda orang baik, Tuan, jadi bolehkah saya bercerita tentang nabi-nabi setelah Anda selesai makan?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H