Tak terhitung sudah berapa jam kulalui hingga detik ini ketika mengajar di kelas. Dering gadget selalu kumode senyap agar suasana sakral itu terhimpun baik. Menjadi berbeda ketika istri menelpon tepat pas aku lagi keren-kerennya menjelaskan. Sebuah ritus rutin dengan aku sebagai pihak yang ditunggu, sebetulnya pantang untuk diganggu.Â
Pokoknya saat itu, seluruh modal menjadi besar kepala telak kumiliki. Tak bisa kuabaikan dering itu dan kuingat pesannya singkat,Â
"Mas, nanti kalau sempat, pulangnya sekalian beli lauk gorengan ya."
Permintaan itu khas Istriku, penuh rasa hormat dan mesra. Tetapi semesra apapun nadanya, saat itu posisiku tidak boleh kalah saing dari gorengan.Â
Mengembalikan atensi audiens sangat sulit sekali. Bagaimana jadinya jika audiens tahu bahwa singa podium di hadapannya ini harus pulang sambil menenteng gorengan ?
Aku pernah sekali bertemu dengan muridku ketika membeli galon, segala kepayahanku setengah mengubah mimik wajahnya. Aku mengerti sorot matanya yang tidak cuma kaget tapi juga geli.Â
"Oo Pak Kukuh sering ngangkatin galon ya,"Â
Begitu mungkin kata hatinya. Maka permintaan istri itu rasanya sungguh tidak tepat waktu saja. Untung, sebelum jengkel, perasaan berikut inilah yang lebih dulu datang di benakku :
Pertama, karena aku mencintainya. Seluruh permintaan paling aneh sekalipun kalau ia datang dari orang tercinta, kita akan sambut dengan gembira.
Kedua, pada dasarnya aku memang orang yang mudah mengambil sisi humor. Melihat permintaan salah waktu semacam ini, membuatku tergelak tawa tanpa sengaja. "Masih ngajar disuruh beli gorengan," batinku.
Ketiga, ini yang terpenting, panggung publik adalah dunia yang sangat menyenangkan sekaligus sangat berbahaya. Kekaguman kepada seseorang, sungguh malah menimbulkan bermacam-macam persoalan bagi orang itu, yang sejatinya tak lebih dari orang-orang biasa, tak terkecuali posisiku.
Mengagumi seseorang atau sesuatu secara berlebihan (Fanatisme) memang terasa menyenangkan. Namun, jika tidak dikontrol, perasaan kagum ini bisa membawa dampak negatif baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Berikut sekilas dampak negatif dan cara mengatasi fanatisme.
Dampak Negatif Fanatisme
- Kecewa yang Mendalam: Ketika harapan yang terlalu tinggi tidak terpenuhi, rasa kecewa yang mendalam bisa muncul. Hal ini dapat memicu perasaan sedih, marah, bahkan depresi.
- Hilangnya Identitas Diri: Seseorang yang terlalu mengagumi orang lain cenderung meniru segala hal tentang idolanya, mulai dari gaya bicara, cara berpakaian, hingga minat dan hobi. Akibatnya, identitas diri yang sebenarnya bisa terlupakan.
- Mengabaikan Realitas:Â Fokus yang terlalu besar pada idola dapat membuat seseorang mengabaikan realitas kehidupan sehari-hari. Hal ini bisa berdampak pada penurunan prestasi di sekolah atau pekerjaan.
- Perilaku Negatif:Â Dalam upaya mendekati atau menyamai idolanya, seseorang mungkin melakukan tindakan yang tidak terpuji, seperti menyebarkan gosip, membenci orang lain, atau bahkan melakukan tindakan kekerasan.
- Gangguan Psikologis:Â Dalam kasus yang ekstrem, mengagumi seseorang secara berlebihan dapat memicu gangguan psikologis seperti obsessive-compulsive disorder (OCD) atau gangguan kepribadian borderline.
Cara Mengatasi Fanatisme
- Sadari Batasan: Pahami bahwa idola adalah manusia biasa yang juga memiliki kekurangan. Jangan terlalu mengidealkan mereka.
- Fokus pada Diri Sendiri: Alihkan perhatian pada pengembangan diri. Kembangkan minat dan bakat yang kamu miliki.
- Jalin Relasi Sosial:Â Perluas pergaulan dengan orang-orang di sekitarmu. Bangun hubungan yang sehat dan saling mendukung.
- Cari Kegiatan Positif:Â Isi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat, seperti membaca, berolahraga, atau mengikuti komunitas.
- Konsultasi ke Psikolog: Jika merasa kesulitan mengatasi perasaan kagum yang berlebihan, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog.
Tapi panggung adalah dunia yang kejam, yang memaksa orang biasa menjadi seolah-olah luar biasa. Ia diajak potret bersama, dimintai tanda tangan, ditepuki, bahkan dikerubut wartawan.Â
Akibatnya, si orang biasa ini benar-benar merasa dirinya sebagai luar biasa. Dampaknya ke mana-mana jubah keluarbiasaan itu memeluknya, memberatkan hidupnya dan panjang sekali daftar orang biasa yang hancur redam karena ketenaran yang, tentunya dicangkok paksa. Maka permintaan Istri itu sungguh mengembalikanku pada kesadaran hidup.Â
"Jika sempat, mampirlah beli gorengan!"Â
Perintah itu kemudian aku jalani dengan semangat tinggi. Ia mengembalikan ingatan masa kecilku, ketika sekedar lauk, tempe otot tepung sudahlah cukup. Dari penjual gorengan, kuambil sekantong tempe hangat itu, menimangnya, memandanginya berlama-lama dan ajaibnya gorengan itu seperti membisikkan sesuatu :Â
"Di tempat ini semua orang sama saja, kita semua manusia biasa, rela antri mendoan yang harganya tak seberapa."
Wallahu A'alam Bishawab. (Kkh)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H