"Halo, apa kabar?" katanya tersenyum.
"Kabarku baik. Bagaimana denganmu?"
"Luar biasa baik," ujarnya singkat, dan ia seketika melihatku gelisah dan kecewa dengan keputusannya. "Aku mengerti kalau kamu kecewa akan keputusanku. Tetapi, sudah saatnya aku harus melanjutkan hidup dengan cara lain setelah dari lapangan hijau. Bisa berbagi ilmu sepakbola dengan caraku sendiri."
"Sungguh pilihanmu ini tidaklah salah?"
"Tidak sama sekali. Malah aku bisa mengajari banyak orang berkat pengalamanku di sepak bola, dan sekali lagi aku tidak menyesal akan keputusanku. Dan pilihanku ini yang terakhir semoga bisa lebih baik dari karirku sebelumnya."
Aku dan dirinya saling menatap. Lama sekali. Sorotan matanya seakan membiusku. Ia yakin dengan apa yang menjadi pilihannya. Sampai akhirnya kami pun tersadar karena akan disangka melamun.
Ia pun langsung lanjut latihan bersama teman-teman barunya. "Oke, aku mau lanjut latihan dulu, ya. Sampai bertemu lagi. Sukses selalu untukmu!"
Lelaki berbadan setengah kekar itu kembali memainkan bola dengan trik-trik yang ia kuasai. Sejalan dengan itu, aku pun bersyukur karena ia bisa optimis dengan pilihan terakhirnya tanpa mengorbankan nama besar dan masa depannya di sepak bola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H