"Bisa iya, bisa tidak. Bahkan sebaliknya."
"Aku harap kau tidak hanya sekadar berucap tanpa adanya tindakan nyata. Setidaknya pilihanmu itu lebih baik dan mendatangkan keuntungan bagimu."
"Terima kasih atas harapmu yang indah itu. Kiranya aku ingin mencoba hobi baru itu karena terlihat menarik dan banyak trik yang tidak didapatkan ketika berlatih disini."
"Sungguh?"
"Aku bersungguh-sungguh."
Pembicaraan itu ditutup. Ia segera menuju kamar mandi stadion untuk mandi dan bergegas salat maghrib di masjid yang persis di sebelahnya dan setelahnya akan menuju pulang ke rumahnya untuk beristirahat. Aku memandangi dirinya dengan tatapan tidak jelas. Antara senang, kecewa, dan tidak percaya mendengar apa yang dikatakannya itu.
Aku juga segera bergegas pulang ke rumah dan seketika aku berpikir keras tentang keputusannya yang sudah kudengar sendiri darinya. Ibuku menatapku keheranan ketika koran yang aku pegang dibaca dekat-dekat. Semoga pilihannya kali ini sudah benar. "Kamu kenapa membacanya seperti itu? Tulisannya terlalu kecil?"
"Tidak, Bu. Aku cukup terkejut dengan berita mundurnya Arjuna Ardiansyah dari timnas setelah bertanding kontra Malaysia pekan depan. Ibu sudah dengar, belum?"
Ibuku berkata dengan santai sambil membawakan sepiring bakwan sayur lengkap dengan cabai rawit hijau dan susu hangat untukku, "Ooh itu. Ibu sudah menonton beritanya di televisi."
"Syukurlah kalau begitu. Terkejutkah mendengarnya, Bu?"
"Kamu itu bagaimana, sih? Ya jelas-jelas ibu terkejut dengan keputusannya ini. Apalagi, kan, dia memang idola bagi semua anak muda negeri ini."