Lamunan Samsul buyar ketika Ramlan tiba-tiba menarik tangannya. Ia lihat temannya itu telah mengarahkan telunjuk ke sebuah tenda sederhana bertudung terpal biru. Tepat di sela-selanya, terlihat menjuntai sejumlah pasang kaki. Ada yang berjinjit. Adapula yang bergoyang-goyang. Samsul dan Ramlan berpandangan. Muka mereka masam.Â
Tak lama, keduanya terbirit-birit sembari berteriak-teriak mencari pertolongan. Samsul kencing di celana.
***
Samsul mengusap-usap jinnya, memastikan ia tak lagi mengompol di pasar. Setelah memastikan semuanya kering, ia tersenyum. Matanya kemudian menyapu ke setiap sudut.Â
Kini, setelah lima belas tahun berselang, semua masih tampak sama. Pasar yang riuh-rendah oleh pembeli yang berbelanja kebutuhan Lebaran. Pun, setiap lekuk lorong yang pernah ditelusurinya semasa bocah, yang salah satunya bermuara ke belakang pasar. Tempat bersemayam para setan ---atau iblis atau apapun namanya. Ia masih mengingatnya.
Samsul kembali tersenyum. Samar-samar ia mendengar perutnya menggeram.
"Ayunkan kakimu, Sul," hatinya mulai mendesak.
"Ujung lorong itu..."
Samsul mempercepat langkah. Ia tak mau lagi berdebat dengan hatinya. Ia sadar matahari sudah merangkak tepat di ubun-ubun. Waktunya makan siang. Kakinya sudah kelaparan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H