"Perfect Storm" Perdagangan luar negeri Indonesia
Asal Mula Masalah
Mungkin ada yang merasa bahwa tulisan saya kali ini mengada-ada. "Perfect storm" perdagangan LN Indonesia. Pasti banyak yang tidak setuju, dan merasa bahwa semuanya baik-baik saja kok. Sebetulnya tidak, kita memasuki fase yang sangat mengkhawatirkan dari pertumbuhan ekonomi Indonesia, mari saya jelaskan mengapa bisa sampai pada kesimpulan ini.
Definisi "Perfect storm"-kebetulan juga sebuah judul film-merupakan suatu ungkapan dimana beberapa kondisi bergabung dan semakin memperparah situasi. Menurut hemat penulis, inilah yang segera (jika memang belum) melanda perdagangan luar negeri Negara kita ini.
Pertama-tama, marilah kita lihat data perdagangan Indonesia (2012) (ekspor)
[caption id="attachment_379646" align="aligncenter" width="300" caption="OEC Economic Complexion Index 2012"][/caption]
Kemudian marilah kita bandingkan dengan impor (2012).
[caption id="attachment_379647" align="aligncenter" width="300" caption="OEC Economic complexion Index 2012"]
Jelaslah bahwa ekspor Indonesia di dominasi oleh barang mentah, terutama hasil tambang energy (Batubara, minyak mentah dan minyak sawit serta Gas alam) dan karet mentah. Sementara impor kita didominasi oleh hasil olahan (BBM, pesawat ,mobil, onderdil, telepon genggam,computer dll).
Kemudian muncul pertanyaan, lalu kenapa ? bukannya tidak masalah bergantung pada ekspor barang mentah? Sebetulnya, itu sebuah masalah, masalah besar. Contoh sederhana, komponen utama susu kemasan adalah susu murni. Harga susu murni di tingkat petani fluktuatif, kadang 3000 per liter, pernah 5000 per liter, tapi tidak pernah diatas itu. Sekarang coba bandingkan dengan harga susu kemasan, kelihatan jauh kan bedanya? Sebuah fakta sederhana, barang olahan pasti lebih mahal daripada barang mentah. Sedangkan yang terjadi di Indonesia adalah kita menjual barang mentah untuk membeli barang jadi.
Paham mengapa perdagangan kita defisit terus?
Lalu faktor apa sajakah yang mengakibatkan perfect storm terjadi?
Badai nomor Satu: Harga Batubara yang melorot
Batubara sebagai salah satu sumber energy fosil tentunya memiliki korelasi harga yang erat dengan minyak bumi. Karena harga minyak bumi anjlok, demikian juga harga batubara seperti yang terlihat di grafik ini.
[caption id="attachment_379648" align="aligncenter" width="300" caption="indexmundi november 2014"]
Trend harga ini diprediksi akan terus menurun, terbukti dengan turunnya lagi rating obligasi BUMI Resources (salah satu pemain utama batubara) menjadi "D", alias diprediksi bakal gagal bayar oleh lembaga pemeringkat S & P.
Badai nomor dua: Kebijakan pengurangan penggunaan batubara Tiongkok
Pada pertemuan APEC, Xi Jinping sepakat untuk melakukan terobosan dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Kesepakatan yang dilakukan secara duet dengan Amerika Serikat ini berujung pada pemangkasan jumlah pembangkit batubara. Menurut laporan dari Climate Council Australia, pada 2015 Tiongkok akan menutup pembangkit listrik tenaga batubara sebesar 20.000 MegaWatt. Untuk komparasi, pembangkit listrik paiton 3, terbesar di Indonesia adalah 815 Mega Watt dan membutuhkan suplai batubara sebesar 3,5 juta ton/tahun. Hal tersebut akan berujung pada pengurangan kebutuhan batubara sebanyak kurang lebih 86 juta ton per tahun, atau setara dengan 25 % total ekspor batubara Indonesia. Problemnya adalah, Tiongkok merupakan importir batubara kedua terbesar dari Indonesia dengan total 77 juta ton pada 2012 (India nomor satu).
Badai nomor tiga: Selesainya pembangunan pipa gas alam dari Rusia ke Tiongkok
Ekspor LNG ke Tiongkok dan Jepang serta Korsel merupakan salah satu penyumbang devisa utama untuk Indonesia. Permasalahannya, dengan ditandatanganinya kesepakatan pembangunan pipa gas Siberia, maka prospek LNG Indonesia menjadi sangat suram. Ketimbang bersusah payah mengimpor gas via LNG (yang membutuhkan proses liquifikasi, kemudian dikirim via tanker,di-regasifikasi) transfer gas alam melalui pipa jauh lebih murah dan aman.
Badai nomor empat: Himbauan IPCC (International Panel on Climate Change)
Sebagai lembaga antar pemerintah yang menyelidiki perubahan iklim, IPCC memberikan rekomendasi (yang didukung penuh oleh Sekretaris Jenderal PBB) untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil sebagai bahan bakar pembangkit listrik hingga 20 % dari total energy mix pada 2050. Ini artinya, ekspor kita yang bergantung pada batu bara dan minyak mentah akan terus melorot nilainya seiring dengan pengurangan pemakaian di luar negeri.
Badai nomor lima: Ketergantungan dengan Jepang
15 % perdagangan Indonesia ditujukan ke jepang. Permasalahannya, dengan pertumbuhan jepang yang menghadapi resesi, tidak akan ada banyak yang bisa dilakukan untuk mendapat ekstra pendapatan dari Jepang. Terlebih lagi, kondisi jepang yang mengalami piramida penduduk piramida terbalik akan berujung pada penurunan kebutuhan barang konsumsi di masa yang akan datang.
Lalu bagaimana cara kita menghadapi badai perdagangan ini;
Yang patut disyukuri adalah pemerintah saat ini rupanya cukup mawas diri. Kenaikan BBM beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa tidaklah realistis untuk mensubsidi sesuatu yang berasal dari impor bila perdagangan saja masih defisit.
Kedua, mengubah pola manufaktur ekspor kita. Selama ini kita mengimpor bahan setengah jadi dari Tiongkok, kemudian diolah dan diekspor menjadi barang jadi. Sementara barang mentah lainnya tetap diekspor. Kita perlu untuk mengandalkan produk maritime kita, contoh makanan olahan nugget,tempura,dll.
Ketiga, berikan insentif pajak untuk perusahaan yang melakukan hilirisasi produksi.
Keempat, seperti kata presiden kita, Dubes kita harus dagang dimanapun mereka berada. Dan perlunya perpindahan orientasi pasar kita. Selama ini kita konsentrasi berdagang di eropa barat, jepang dan Amerika Serikat. Padahal, pasar Afrika, Amerika Selatan dan eropa timur terbuka lebar, inilah yang perlu dauber untuk memperbaiki neraca perdagangan.
Kegagalan bukanlah pilihan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H