Serangan terhadap kantor majalah satir Charlie Hebdo di Paris, dan serangan lanjutan terhadap sinagog serta supermarket etnis Yahudi di Paris seakan membangunkan Eropa untuk bertindak. Serangan-serangan yang berujung pada kematian belasan orang ini bisa dikatakan merupakan hasil dari serangan individual ketimbang sebuah serangan yang terorganisir. Tidak lama berselang, Belgia melakukan serangkaian penangkapan yang berujung pada kematian dua orang terduga teroris.
Di seberang selat channel, Pemerintah Inggris langsung mengadakan pertemuan tingkat tinggi dengan Amerika Serikat, dan bersepakat untuk meningkatkan kerjasama di bidang counter-terrorisme. Kembali ke daratan Eropa, demonstrasi mendukung Charlie Hebdo dihadiri hampir satu juta orang di Perancis, dan dukungan mengalir dari pelbagai sudut eropa. Oplah majalah Charlie hebdo meningkat dari 50000 menjadi jutaan eksemplar.
Di Jerman, Demonstrasi rakyat yang menolak Pegida (sebuah organisasi anti Islam) sempat dicap tidak bernilai "Eropa", dimana kanselir Jerman sampai buru-buru membatalkan kehadirannya karena takut dianggap tidak solider dengan Negara Tetangga.
Bahkan, beberapa hari ini, pemimpin Eropa memutuskan untuk bersidang khusus membahas soal masalah terorisme. Merupakan suatu rekor tersendiri dalam kecepatan penanganan suatu masalah.
Muncullah pertanyaan, ketika Andre Breivik, seorang anarkis di Norwegia meledakkan bom, dan membunuh lebih dari 7 lusin manusia, apa reaksi Negara-negara Eropa? Praktis tidak ada. Bahwa Breivik menyatakan dirinya sebagai kesatria Templar, berjuang untuk membersihkan Eropa dari Islamisasi, hampir-hampir tidak ada demo yang menentang.
Saya pribadi bukanlah orang yang senang dengan teori konspirasi, dan menganggap bahwa hampir semua teori konspirasi adalah isapan jempol belaka. Kalaupun ada teori konspirasi, maka biasanya bisa dijelaskan dengan ada kepentingan apa dibalik semua ini.
Saya menolak pandangan beberapa orang yang mengatakan bahwa Charlie Hebdo dan operasi Counter-Terrorisme di Eropa merupakan serangan terhadap satu agama tertentu. Charlie Hebdo memang merupakan majalah satir yang menyindir semua segi kehidupan, baik agama, pemerintah, maupun politisi. Jangan kaget dengan karikatur polisi perancis yang digambarkan seperti vampire, politisi dengan PSK, Paus bermesraan dengan pengawalnya dan sebagainya. Kalau di negeri Indonesia karikatur semacam ini sudah pasti dihujani tuntutan pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, tetapi di Perancis, hal ini dianggap kebebasan berpendapat.
Lalu mengapa reaksi dari pemimpin dan penduduk Eropa sangat keras ?
Jawabannya sederhana : Ekonomi dan Politik
Ekonomi
Kondisi Ekonomi Eropa bisa dikatakan stagnan. Bila Indonesia dikatakan tumbuh biasa-biasa saja (di angka 5,8 %), maka Uni Eropa (di angka 1 %) terjemahkan saja sendiri. Di Spanyol, angka pengangguran mencapai 25 %, dengan angka pengangguran muda (dibawah 30 tahun) mencapai 45 %, belum termasuk yang setengah menganggur atau pengangguran terselubung (pekerjaan tidak sesuai dengan kemampuan atau bekerja di bawah tingkat pendidikan). Di Perancis sendiri pengangguran mencapai 10,5 % dengan pengangguran muda di level 24,4 %. Disinilah problem mulai muncul, dengan kondisi perekonomian yang pas-pasan serta pertumbuhan ekonomi yang kecil, maka tensi rakyat akan menjadi tinggi. Tambahkan ke dalam kondisi yang sudah volatil ini imigran dari Negara bekas jajahan Perancis di Afrika yang bersedia menerima upah lebih rendah, dan voila! , resep untuk benturan pun tercipta.
Kondisi yang mirip pernah terjadi pada masa depresi besar di akhir 1920an dan 1930an awal. Dan memang benturan tidak terelakkan, dimana pada masa itu yang berbenturan akhirnya adalah Fasisme, komunisme dan Kapitalisme. Jadi sesungguhnya bila sekarang terjadi benturan juga yaa tidak mengherankan.
Politik
Marine Le Pen dengan partai Front National, UKIP dengan Nigel Faraage, keduanya adalah contoh bagaimana suatu partai politik dengan agenda anti-immigran dan anti uni eropa, bisa mulai bersaing di level nasional dan tingkat Eropa. Keduanya disokong oleh kondisi ekonomi yang semakin berat, dan rasa ketidakberdayaan masyarakat untuk terus menyokong pemerintah yang sekarang. Tingkat partisipasi rakyat yang terus melorot dalam pemilu semakin mempertegas delegitimasi pemerintah.
Lalu, apa hubungannya dengan reaksi pemerintah Eropa?
Simpel sekali, Pemerintah di Eropa ingin sekali mencari satu hal yang bisa mengalihkan perhatian masyarakat dari kondisi carut marut mereka, dan muncullah beberapa orang fanatik yang menurut hemat saya, hanya sukses membunuh diri mereka sendiri dan menyiram bensin ke api yang sudah berkobar. Disinilah para pemerintah Negara-negara eropa memanfaatkan kesempatan ini untuk bersinar dan bertindak (pemerintah mana yang tidak ingin memanfaatkan momen ini ?) untuk menunjukkan bahwa semua baik-baik saja, pemerintah berfungsi dengan baik. Para politisi pun berduyun-duyun mengadvokasikan kebebasan berbicara dan dukungan terhadap pers.
Beberapa kantor berita seperti BBC, CNN, dan TIMES mengambil sikap yang lebih netral, bahkan dengan menganalogikan Frase Kebebasan berbicara yang dilakukan oleh Charlie Hebdo seperti berteriak 'Kebakaran !' di dalam sebuah Teater yang sudah penuh sesak dengan pengunjung.
Kita hanya bisa berharap bahwa rakyat Eropa, Eropa Barat khususnya, tidak terseret oleh gelombang anti- islam, anti-imigran terlalu jauh, karena bila ini terjadi, semakin sulitlah untuk Uni Eropa mewujudkan suatu masyarakat yang inklusif. Seperti yang diucapkan oleh Presiden Obama ketika berkunjung ke Inggris kemarin, " kita tidak bisa melawan fanatisme dan pandangan sempit hanya dengan pendekatan keamanan dan intelijen, melainkan dengan pemahaman bagi anak-anak muda kita". Sebagai seseorang yang pernah tinggal di beberapa penjuru dunia, Presiden Obama paham.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H