Munculnya penamaan atau julukan-julukan terhadap kota ini tentu berdasarkan oleh sebab khusus, yaitu karena julukan tersebut merepresentasikan rupa kota Cirebon. Entah apakah julukan-julukan tersebut masih sesuai disematkan kepada kota ini. Hal terbaru yang ditawarkan dalam visi Walikota Cirebon periode 2013-2018 ialah munculnya julukan baru untuk kota ini, yakni RAMAH: ‘Religius, Aman, Maju, dan Hijau’. Visi tersebut seakan menyegarkan julukan-julukan yang sudah ada karena pada hakikatnya tidak jauh berbeda dengan entitas pendahulunya. Religius karena Kota Cirebon tidak terpisahkan dengan historis tokoh panutan bernama Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, salah seorang dari sembilan wali yang kesohor (Walisongo). Perihal istilah religius ini maka saya mengajukan satu pertanyaan paling mendasar, yaitu sejauh mana aplikasi dari konsepsi religius ini. Apabila menghayati dan melaksanakan apa yang telah diamanatkan oleh Sunan Gunung Jati seharusnya tempat beribadah dapat diberdayakan sebagai pusat aktivitas masyarakat yang serta merta menjadi denyut nadi roda perekonomian masyarakat sekitar. Manfaat yang dapat diperoleh dengan pemberdayaan masjid akan menciptakan pribadi masyarakat yang beriman dan bermoral (berbudi pekerti luhur)---sebagai antisipasi merosotnya perilaku pemuda-pemudi yang semakin jauh dari Tuhan---hal itu menyemaikan kembali nilai-nilai terpuji yang dahulu selalu dikedepankan oleh pemuka kota ini. Optimalisasi pemberdayaan masjid, misalnya dari sektor perekonomian justru akan menciptakan kemandirian. Bayangkan saja. Apabila umat Islam, misal dalam shalat Jumat di seluruh masjid yang ada di kota Cirebon, jemaah masjid yang begitu banyak diberikan wejangan untuk menghidupkan koperasi dengan nafas Islami, yakni menghimpun modal untuk digerakkan, memiliki konsepsi jauh dari riba dan tanpa menimbulkan jerat hutang. Hal itu lebih baik daripada menggantungkan kepada bank dengan bunganya yang justru cenderung memiskinkan masyarakat, menjadi ketergantungan dengan terus-menerus memperbesar hutang untuk modal dan akhirnya jauh dari kata mandiri atau sejahtera. Pakar ekonomi Islam dapat menerangkan konsepsi ini dengan lebih baik.
Saya mendorong Walikota Cirebon untuk segera menjelaskan dan merealisasikan konsepsi religius ini sehingga dapat langsung dirasakan oleh warga. Kami menginginkan perubahan. Kita tidak boleh kalah dengan semangat dari Walikota Bandung yang baru. Saya ambil contoh dengan mengutip pidato Walikota Bandung yang baru---keinginan Ridwan Kamil:
“Saya ingin memimpin seperti Rasulullah memimpin, bagaimana masyarakat dapat menasehati, memberi masukan, juga bertemu sesama. Kita akan adakan pertemuan rutin. Saya wajibkan semua Camat keliling shalat Jumat. Keliling di wilayahnya, agar rakyat mengenal dan bisa saling memberi masukan setelah shalat Jumat. Saya sudah instruksikan Dinas Pendidikan agar siswa memiliki absen. Ada dua absen, absen masuk dan absen shalat berjamaah. Saya ingin Bandung kuat dengan ukhuwahnya. Kita bisa kalahkan Jakarta. Tiap mengawali aktivitas di Balaikota saya mulai dengan lagu Indonesia Raya dan diakhiri dengan doa. Jadi, tiap Kepala Dinas kudu bisa ngadoa. Akan ada pembinaan juga tiap dinas. Saya punya ide membangun peradaban Islam lewat masjid. Saya sudah kumpulkan tim. Tiap masjid akan ada wifi juga jaringan internet. Jadi, anak-anak gemar ke masjid. Anak-anak sekarang sudah jauh moralnya, kita harus dekatkan dengan masjid. Saya ingin ada Forum Masjid Bandung Juara. Kita bangun peradaban Islam dari 4000-an masjid Bandung. Masjid yang hijau, melek teknologi, bersih. Yuk kita buat Bandung Juara untuk peradaban Islam melalui masjid.”
Menurut saya ide yang dimiliki dengan mengusung Bandung Juara itu sangat baik dan saya percaya Walikota Cirebon dapat melakukan yang jauh lebih baik. Konsep-konsep tersebut dapat direplikasi disertai inovasi, namun yang terpenting adalah perwujudannya. Percuma saja kalau hal tersebut hanya akan menjadi sebuah retorika dan slogan kosong semata tanpa adanya aksi dan tidak berlebihan pula jika pada awalnya kami, warga Kota Cirebon menggantungkan asa dan kepercayaan kepada Bapak Ano sebagai pemimpin nomor satu kota ini. Saya yakin tidak ada yang tidak mungkin selama ada niat dan meneguhkan hati karena apabila pemimpin telah menunjukkan aksinya secara nyata semua warga akan mengikuti dan mematuhi. Saya kembalikan kepada Walikota Cirebon untuk tetap berpegang pada prinsip dan berikan performa terbaik serta jangan sia-siakan kepercayaan kami sebab Bapak sedang memikul tanggung jawab yang besar.
Terus terang, ketika Kota Cirebon dinilai sebagai salah satu kota terkorup, sebagai salah seorang warga kota ini sudah tentu diliputi oleh rasa malu. Sebaliknya, para pelaku justru tidak punya malu padahal perilaku mereka sungguh tidak bermoral. Tidak heran, jika kondisi Kota Cirebon kian ‘mendung’. Tentu saja saya mendapatkan jawaban kenapa kondisi jalan-jalan utama di pusat kota berlubang dan aspalnya sudah terkelupas. Kalau di pusat kotanya saja seperti itu bagaimana dengan yang berada di pinggiran kotanya bukan? Tidak jauh berbeda. Baru masalah jalan belum ke fasilitas-fasilitas umum lainnya yang kondisinya juga memprihatinkan. Bukankah itu aset? Bukankah itu hak kami untuk mendapatkan fasilitas umum yang layak? Bukankah itu tugas pemerintah kota untuk memberikan fasilitas umum yang mumpuni demi terciptanya lingkungan yang efisien nan asri? Kota Cirebon sekarang mulai dilanda macet hal ini karena kota ini terus tumbuh dan akan terus berkembang menjadi kota besar dan jika tidak ditata sedemikian rupa mulai dari sekarang apa malah mau menjadi seperti kota Jakarta yang tidak pernah absen dari macet?
Saya tidak memiliki latar belakang pengetahuan seorang arsitek namun orang awam seperti saya sekali pun bisa menilai kalau lanskap (tata ruang) kota ini jauh dari teratur, entah bagaimana polanya. Semakin semrawut dan tidak nyaman. Sungguh kota ini memiliki potensi yang besar untuk menyejahterakan warganya melalui sektor pariwisata yang bisa menarik banyak pelancong baik dari dalam maupun luar negeri. Sayangnya, potensi ini belum tergarap dengan baik.
•••
Kembali kepada isu Masyarakat ASEAN 2015, kota Cirebon harus segera berbenah. Kota Cirebon harus menjadi tuan di kotanya sendiri. Tentu kalian paham maksud pernyataan saya ini bukan? Seperti yang sudah saya sebutkan di awal bahwa tipikal kota Cirebon sebagai kota transit yang sangat strategis sedapat mungkin harus menonjolkan sektor bisnis dan jasanya. Kota Cirebon bernilai historis tinggi, kaya akan budaya dan peninggalan bangunan bersejarah serta memiliki kekhasan pada bidang industri maupun kulinernya. Oleh karenanya saya tidak rela jika warga kota Cirebon tidak bisa mengelolanya dengan baik terlebih lagi jika pemimpin kota ini tidak dapat memaksimalkan potensi-potensi yang dimiliki untuk menyejahterakan masyarakatnya. Suatu mimpi buruk jika yang akan berperan dalam menjalankan sektor-sektor strategis di kota ini justru orang asing.
Sebelum saya terkesan sok tahu dan malah menggurui di tulisan-tulisan berikut ini, saya ingin menekankan bahwa saya hanyalah seorang warga yang peduli. Terdapat kata-kata dari Tere-Liye yang cocok menjelaskan maksud saya ini.
Di Negeri di Ujung Tanduk kehidupan semakin rusak,Bukan karena orang jahat semakin banyak, tapi semakin banyak orang yang memilih tidak peduli lagi.
Di Negeri di Ujung Tanduk
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!