Setiap wilayah masing-masing dipimpin oleh Anakia (Kepala Distrik) Karajaan Laiwoi dari 7 (Tujuh) wilayah dibagi lagi menjadi 19 Onder Distrik. Sapati Ranometo dan Kapita Kinawo keduanya mendampingi Raja Tekaka Tugas Pemerintahan di tiap-tiap kampung dibantu wakil-wakil kepala kampung dan Sarea.
Fungsi Puutobu, Toono Motuo, Pembina masyarakat menurut tradisi Kerajaan Kinawo dengan adanya pelarangan membicarakan soal silsilah keturunan dan adat istiadat Kerajaan Padangguni maka masalah ke-turunan silsilah Anakia, Mokole atau Raja yang sebenarnya dihilangkan yang bertujuan melindungi harkat dan martabat Raja atau Mokole atau pembesar Kerajaan boneka Hindia Belanda.
Setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia tanggal 27 Desember 1949 Pemerintahan Boneka Hindia Belanda masih berlangsung di wilayah Kinawo, sesudah RIS (Republik Indonesia Serikat), Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 Negara Kesatuan Republik Indonesia kembali kepada UUD 1945 maka “Kandai atau Kendari” ditetapkan sebagai Daerah Tingkat II “tanggal 2 Maret 1960” dengan Kepala Daerah Pertama ABDULLAH SILONDAE yang selanjutnya merangkap sebagai ketua DPRD-GR Daerah Tingkat II Kendari, setelah sebelumnya pada tahun 1951 van Laiwoi di rubah menjadi Swa Praja Laiwoi yang susunan pemerintahannya terdiri dari :
1. Mokole atau Raja adalah Tekaka
2. Sulemandara atau Perdana Mentri Saranani
3. Sapati adalah RONGA
4. Ponggawa adalah Bunggasi
Struktur pemerintahan ini masih merupakan boneka pemerintahan Hindia Belanda dalam upayanya mempertahankan kekuasaannya di Indonesia khususnya di wilayah Kinawo.
Walaupun saat ini Kekuasaan Feodalisme Hindia-Belanda di Indonesia telah tiada, namun pekembangan anak cucu penguasa pejabat raja-raja faham feodalisme di seluruh jaringan struktur pejabat pemerintah daerah sehingga posisi pemerintahan dengan posisi rakyat adalah Tuan Mokole/Raja dengan rakyat yang diperintah, bukan sebagai pelayan rakyat.
Padahal rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi yang seharusnya dilayani pemerintah, akhirnya pembangunan di segala bidang yang diharapkan masyarakat Sulawesi Tenggara seharusnya dapat dinikmati setelah 62 tahun merdeka, ternyata masih jauh dari kenyataan.
3. Masa Pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) Tahun 1951-1965
Bahwa Kerajaan Padangguni merupakan salah satu Kerajaaan di Indonesia yang anti penjajahan pada saat kemerdekaan RI telah di capai. Yaitu tanggal 17 Agustus 1945 dan merupakan hari kebahagiaan bagi seluruh Bangsa Indonesia dan tebebaskan dari segala bentuk penindasan kaum penjajah namun kebahagiaan itu merupakan angan-angan belaka yang diteruskan oleh timbulnya pemberontakan DI/TII Sulawesi Tenggara tahun 1951-1965 yang ingin mendirikan Negara Islam bagian Timur. Akibatnya masyarakat Kerajaan Padangguni kembali tertindas, dibumi hanguskan , hartanya dirampas, bahkan
Nyawanya ikut melayang apabila tidak bersedia mengikuti kehendak kaum pemberontak pimpinan Kahar Muzakkar yang bergeliria masuk ke hutan menjadi pemberontak.
Keadaan inilah yang nmenghancurkan seluruh sandi-sandi kehidupan Kerajaan Padangguni. Untuk mengatasi agresi pemerintahan DI/TII telah bangkit para pejuang Kerajaan Padangguni untuk melawan agresi tersebut yang dipimpin oleh Panglima Perang Kerajaan Padangguni seperti :
a. Panglima Perang Tambi Zulkarnain
b. Panglima Perang Hada Asi
c. Panglima Perang Sikuti
d. Panglima Perang Laroko
e. Panglima Perang LAMBAUTA
Atas kerja sama masyarakat Kerajaan Padangguni dan para panglimanya bersama TNI telah berhasil menumpas pemberontakan DI/TII dan Kahar Muzakkar tertembak mati di Asera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H