Dua bintang beda ukuran yang lama kelamaan makin terang menjadi satu-satunya pelita dalam industri musik yang makin kelam laksana tertarik sebuah lubang hitam. Apakah keduanya bisa bersimbiosis di pasar kaum milenial?
Meski 2018 sudah lama berakhir, tak ada salahnya melihat tren pemutaran musik di tahun yang lampau. Ternyata grafiknya masih serupa seperti tahun-tahun sebelumnya. Nyaris semua media pemutar lawas yang setidaknya sampai 10 tahun lalu masih populer kini tak lagi diminati.
Dilansir dari BBC, pemain lama seperti CD dan kaset penjualannya makin sedikit, dengan CD mengalami penurunan hingga 23% di Inggris dari tahun sebelumnya.
Bahkan di Amerika, dibanding sedekade lalu, penurunannya lebih ekstrim, hingga 80%. Meski demikian, dua media masih bertahan, bahkan mengalami peningkatan penjualan: Layanan streaming musik macam Spotify dan Apple Music, serta piringan hitam.
Sudah sejak lama kedua media ini digaungkan dalam peran yang berlawanan: layanan streaming sebagai sang antagonis, dan vinyl sebagai penyelamat industri musik (karena, salah satunya, royalti artis dari setiap piringan yang terjual yang lebih tinggi dari royalti media digital macam Spotify).
Peran layanan streaming sebagai penghancur industri juga dikuatkan dengan fakta bahwa sekalipun mereka adalah sebuah industri masif (di Inggris saja, lebih dari 140 juta album diputar di layanan streaming, dengan nilai pasar mencapai 1,33 miliar Pounds), kecil sekali presentasenya digulirkan buat para artis.
Tentu kita masih ingat, insiden penolakan Taylor Swift memasang lagunya di Spotify pada 2014 lalu demi memperoleh skema bagi hasil yang lebih baik.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri bahwa dengan menurunnya penjualan CD dan kaset, industri musik mau tidak mau harus bergantung pada kedua 'bintang' yang masih bersinar: piringan hitam (penjualan kurang dari 5 persen penjuakan musik global, lebih ditanggapi positif di industri musik) dan layanan streaming (presentasenya puluhan kali lebih besar, stigmanya negatif).
Lalu di tengah kepelikan itu, satu pertanyaan aneh tersentil di benak saya: apakah keduanya bisa saling melengkapi dalam menyasar konsumen terbesar saat ini, yakni kaum milenial?
Menurut hemat saya, ya. Di satu sisi, piringan hitam memang tengah mengalami peningkatan stagnan (hingga muncuk satu istilah keren, vinyl revival, atau kembali populernya vinyl).
Hal ini adalah efek dari suara vinyl yang dianggap lebih 'lembut' dan 'natural' dibanding CD dan media digital, serta kenyataan bahwa harga jual secondhand vinyl yang cenderung mahal, berbeda dengan CD.
Lebih jauh, fenomena ini juga terjadi secara global, bahkan mencapai Indonesia. Banyak musisi tanah air, baik dari label major atau indie macam Homicide, Frau, atau White Shoes, yang rajin menelurkan album dalam format piringan hitam, dan itu semua laku terjual.
Namun, harganya yang cenderung tinggi (mencapai jutaan untuk album dari musisi populer), efek dari kuantitas cetakan yang terbatas (sebuah band nasional biasanya hanya mencetak 300-500 piringan untuk satu album) plus keharusan untuk memproduksi di luar negeri (efek dari nihilnya perusahaan pressing vinyl di tanah tercinta), membuat piringan hitam terkesan hanya jadi primadona kalangan tertentu saja, meskipun memang diakui efeknya bertahan lama.
Ditambah lagi, karena alatnya yang berat dan sukar dipindahkan, Anda bisa memutar vinyl di ruangan tertentu saja, sebuah hal yang sulit dilakukan kaum milenial yang umumnya punya mobilitas tinggi.
Di sinilah, pada akhirnya peran layanan streaming muncul. Dengan angka pemutaran yang begitu masif, seorang musisi bisa meningkatkan popularitasnya dengan mudah serta menjangkau penikmat musik dari belahan dunia berbeda. Plus, sebagai pendengar, Anda bisa mendengar lagu kesayangan dimanapun dan kapanpun, tanpa perlu membawa sebuah turntable.
Seperti kata musisi terkenal Jack White: "Aku percaya bahwa dekade mendatang akan didominasi streaming dan vinyl---streaming di mobil dan dapur, vinyl di ruang keluarga dan ruang kerja". Apakah Anda setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H