Hal ini adalah efek dari suara vinyl yang dianggap lebih 'lembut' dan 'natural' dibanding CD dan media digital, serta kenyataan bahwa harga jual secondhand vinyl yang cenderung mahal, berbeda dengan CD.
Lebih jauh, fenomena ini juga terjadi secara global, bahkan mencapai Indonesia. Banyak musisi tanah air, baik dari label major atau indie macam Homicide, Frau, atau White Shoes, yang rajin menelurkan album dalam format piringan hitam, dan itu semua laku terjual.
Namun, harganya yang cenderung tinggi (mencapai jutaan untuk album dari musisi populer), efek dari kuantitas cetakan yang terbatas (sebuah band nasional biasanya hanya mencetak 300-500 piringan untuk satu album) plus keharusan untuk memproduksi di luar negeri (efek dari nihilnya perusahaan pressing vinyl di tanah tercinta), membuat piringan hitam terkesan hanya jadi primadona kalangan tertentu saja, meskipun memang diakui efeknya bertahan lama.
Ditambah lagi, karena alatnya yang berat dan sukar dipindahkan, Anda bisa memutar vinyl di ruangan tertentu saja, sebuah hal yang sulit dilakukan kaum milenial yang umumnya punya mobilitas tinggi.
Di sinilah, pada akhirnya peran layanan streaming muncul. Dengan angka pemutaran yang begitu masif, seorang musisi bisa meningkatkan popularitasnya dengan mudah serta menjangkau penikmat musik dari belahan dunia berbeda. Plus, sebagai pendengar, Anda bisa mendengar lagu kesayangan dimanapun dan kapanpun, tanpa perlu membawa sebuah turntable.
Seperti kata musisi terkenal Jack White: "Aku percaya bahwa dekade mendatang akan didominasi streaming dan vinyl---streaming di mobil dan dapur, vinyl di ruang keluarga dan ruang kerja". Apakah Anda setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H