Pembahasan Mosi Debat : Dewan ini akan melegalkan anak dibawah umur untuk dipekerjakan selama perusahaan memberikan fasilitas pendidikan.
Kini zaman telah berubah, negara-negara di dunia sudah tak lagi memiliki batasan. Mereka terus berinteraksi dan berkompetisi dalam berbagaibidang, tak terkecuali bidang ekonomi. Sebagai dampak dari kompetisi tersebut, persaingan ekonomi globalpun semakin kuat, membuat para perusahaan ingin mendapatkan keuntungan yang tinggi dengan melakukan berbagai inovasi dan strategi guna tetap menjaga kestabilitasan usahanya.
Dalam hal ini, banyak perusahaan yang telah melakukan transformasi dalam bidang ekonomi dengan membuat berbagai strategi guna dapat mengimbangi irama kompetisi, salah satunya melalui penekanan biaya produksi untuk mendapatkan laba yang tinggi.Â
Dikarenakan jumlah biaya produksi akan membentuk harga pokok produksi yang digunakan untuk menghitung harga pokok produk, Â maka ketika jumlah pengeluaran untuk biaya produksi semakin kecil maka harga dari produk pun akan lebih murah dari sebelumnya.Â
Pada nantinya, ketertarikan konsumen terhadap produk akan semakin tinggi dan akhirnya akan mampu menaikan laba perusahaan. Disamping itu, penekanan biaya produksi juga akan membuat perusahaan semakin hemat dalam mengeluarkan anggaran dan hal ini pun akan membuat perusahaan semakin mendapatkan keuntungan bersih yang besar.
Sesuai dengan teori biaya, guna menghasilkan pengeluaran biaya produksi yang minimum, seluruh aspek produksi harus diperhatikan dari segala hal. Dalam beberapa kasus, tak jarang perusahaan justru langsung memangkas pengeluaran terhadap biaya produksi dalam berbagai aspek, salah satunya terkait pemotongan upah tenaga kerja.Â
Namun langkah ini sebenarnya sangat beresiko untuk diterapkan, karena hanya soal menunggu waktu saja para tenaga kerja akan melakukan demonstrasi terkait penuntutan kenaikan upah tenaga kerja. Sebagai dampak dari resiko tersebut, akhirnya banyak perusahaan yang memikirkan solusi lain untuk mencapai kondisi pengeluaran biaya produksi yang minimum, salah satunya dengan menjadikan anak dibawah umur sebagai tenaga kerja. Â
Fenomena tenaga kerja anak sebenarnya sudah berlangsung lama dan berkembang pesat diberbagai belahan dunia khusunya dinegara berkembang. Masifnya keterlibatan anak dalam dunia kerja tidaklah terjadi dengan sendirinya, melainkan disebabkan oleh beberapa faktor, penyebab utamanya ialah kemiskinan.Â
Kehidupan yang berada dibawah garis kemiskinan memaksa anak-anak untuk bekerja guna menaikan pendapatan ekonomi keluarga. Disamping itu, banyak keluarga yang beranggapan bahwa pekerja anak merupakan perwujudan pengabdian seorang anak kepada orangtua dengan membantu untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.Â
Argumen ini menjadi legitimasi mempekerjakan anak-anak, bahkan dengan pekerjaan yang eksploitatif, upah murah dan pekerjaan yang berbahaya. Kondisi tersebut akhirnya menyebabkan fenomena tenaga kerja anak berkembang pesat.
Menurut data dari International Labour Organization memaparkan bahwa pada tahun 2015 masih ada 215 juta anak diseluruh dunia yang menjadi tenaga kerja. Dari angka tersebut, hampir 60% pekerja anak dipekerjakan di sektor pertanian dan sekitar 7.2% diantaranya dipekerjakan di sektor industri serta dibeberapa sektor lainnya.Â
Dan rata-rata, tenaga kerja anak bekerja di perusahaan yang berfungsi sebagai rantai  pasokan pada proses produksi barang seperti pemecah biji besi, kuli angkut, mencetak batu-bata, penambang mineral dan lain sebagainya. Meskipun begitu, kehidupan keseharian anak dalam dunia kerja sebenarnya berada dibawah tekanan dan lingkungan yang berbahaya.Â
Setiap harinya, rata-rata tenaga kerja anak diseluruh dunia memiliki jam kerja yang melampaui batas kemampuan sang anak, bahkan di Indonesia, tenaga kerja anak bisa menghabiskan waktu 60 jam perminggu hanya untuk bekerja. Selain itu, dari sekitar 215 juta tenaga kerja anak didunia, 115 juta tenaga kerja anak bekerja dalam lingkungan yang berbahaya.
Data diatas menunjukkan bahwa keikutsertaan anak dalam dunia kerja membawa banyak dampak negatif dalam berbagai presepektif, salah satunya dalam hal pendidikan. Kesibukan dalam dunia kerja membuat anak kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi dan berkembang, padahal sejatinya anak memiliki hak dan kewajiban tersendiri dalam menjalankan kehidupannya.Â
Mengacu pada Konvensi Hak Anak (PBB) 20 November tahun 1989 disebutkan dan diakui bahwa anak-anak pada hakikatnya berhak untuk memperoleh pendidikan. Namun, durasi jam kerja yang panjang membuat anak menghabiskan waktu mereka untuk bekerja dan pada nantinya akan menyebabkan mereka kekurangan atau bahkan kehilangan waktu dalam pendidikan itu sendiri.Â
Pendidikan disini merupakan pendidikan formal yang berpengaruh terhadap kemampuan kognitif, linguistik, dan aspek kecerdasan lainnya. Senada dengan hal tersebut, Robert Havighurst dalam teorinya tentang tugas perkembangan anak memaparkan bahwa usia anak-anak seharusnya masih dalam tahap mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk permainan, belajar menyesuaikan diri dengan teman sebaya, mengembangkan pengertian-pengertian untuk kehidupan sehari-hari dan mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung.
Sebagai dampak dari permasalahan pekerja anak tersebut, muncul sebuah solusi yaitu dengan membiarkan perusahaan untuk memekerjakan anak selama anak tersebut dijamin pendidikannya oleh perusahaan tersebut. Solusi tersebut dianggap dapat memenuhi hak pekerja anak atas pendidikan tetap terpenuhi.Â
Namun, apakah pendidikan bagi pekerja anak merupakan terobosan yang tepat dan efektif untuk permasalah ini? Menurut penulis, dengan permasalah yang timbul pada pekerja anak. Tidak ada solusi apapun untuk menjustifikasi perusahaan dalam memperkerjakan anak. Karena sejatinya, usia anak bukanlah usia untuk bekerja.Â
Sehingga pendidikan bagi pekerja anak tidak dapat dijadikan sebagai solusi. Mengapa demikian? Karena berdasarkan teori fungsi laten lembaga pendidikan, pendidikan merupakan sesuatu yang menunda waktu anak untuk terjun ke dunia kerja.Â
Karena dalam melakukan pekerjaan diperlukan berbagai aspek, seperti kesiapan mental, kemampuan kognitif, maupun kemampuan motorik yang dapat dipersiapkan melalui proses pendidikan. Hal ini bersesuaian dengan anggapan tentang ketidaksiapan anak dalam melakukan suatu beban pekerjaan.
Menurut Greenberger dan Steinberg , pendidikan bagi para pekerja anak tidak akan efektif. Karena proses pembelajaran dan pencapaian anak akan terganggu apabila mereka memadukan pendidikan dengan pekerjaan. Para pekerja anak juga tidak dapat fokus dalam mengikuti kegiatan pembelajaran karena beban pekerjaan yang tetap mereka miliki.Â
Hal tersebut dibuktikan melalui data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat bahwa pada tahun 2017, dari seluruh anak yang mengenyam pendidikan di Indonesia, lebih dari 15% memilih untuk putus sekolah karena mereka beralasan lebih memilih untuk bekerja.Â
Kondisi tersebut menunjukan bahwa sebenarnya pendidikan dan pekerjaan tidak dapat dilakukan secara bersamaan oleh para pekerja anak. Oleh karena itu, penulis memiliki solusi lain untuk menghapus masalah pekerja anak tersebut melalui program pemberian dana bantuan bersyarat untuk keluarga yang tidak mampu.Â
Program ini didasari oleh latar belakang mengapa permasalah ini terjadi, yaitu karena faktor kemiskinan di negara berkembang. Program pemberian bantuan ini diadopsi dari Program Keluarga Harapan ( PKH ) yang telah diterapkan oleh negara Indonesia sejak tahun 2009. Program sejenis juga telah dilakukan oleh negara lain seperti Filipina dan Brazil.Â
Mekanisme program ini adalah pemerintah akan memberikan dana bantuan bersyarat untuk keluarga tidak mampu. Dengan syarat, keluarga tersebut harus menjamin anak usia 7-15 untuk bersekolah dengan minimal absensi sebesar 85% dan jaminan imunisasi setiap bulan untuk bayi dalam keluarga.Â
Para keluarga baru akan mendapatkan dana bantuan setelah menjalankan syarat-syarat tersebut untuk meminimalisir kasus penyalahgunaan dana yang diberikan. Program ini jauh lebih efektif karena dengan memberikan bantuan dana tersebut, diharapkan akan membantu permasalahan ekonomi keluarga tidak mampu.Â
Hal ini dimaksudkan agar membuat para orangtua tidak akan memaksa anak mereka untuk bekerja dengan alasan masalah ekonomi. Disamping itu, hak dan kewajiban anak atas pendidikan itu sendiri akan terpenuhi dan tidak terganggu oleh beban pekerjaan.Â
Anak juga akan memiliki waktu untuk melakukan perkembangan diri sesuai dengan usia mereka. Selain itu, dengan mewajibkan imunisasi bagi bayi dalam keluarga  dapat memberikan pengaruh positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan mereka di masa depan.
Terhitung sejak 5 tahun yang lalu, program ini sudah memberikan hasil yang sangat memuaskan dalam mengubah kualitas masyarakat di Indonesia. Melalui program ini angka kemiskinan di Indonesia berhasil turun hingga 1 digit. Dimana angka tersebut merupakan angka terbesar selama sejarah Republik.Â
Dalam hal pendidikan, tercatat peningkatan kehadiran siswa Sekolah Dasar di Indonesia setelah menerima bantuan Program Keluarga Harapan mengalami peningkatan sebesar 42,9%, untuk tingkat Sekolah Menegah Pertama kehadiran meningkat sebesar 49,9% dan untuk tingkat Sekolah Menengah Atas  meningkat sebesar 31%.
Selain itu, terdapat kenaikan presentase anak yang melanjutkan pendidikan ke setiap jenjang sebesar 88% serta berdampak terhadap penurunan jumlah pekerja anak. Peningkatan aktivitas imunisasi bayi juga meningkat sebesar 4,5%. Program ini juga dibarengi dengan Program Indonesia Bebas Pekerja Anak 2022 yang telah berhasil menarik 80.000 pekerja anak di Indonesia.
[1] linkedin.com
[1] tft-earth.org
[1] beritagar.id
[1] linkedin.com
[1] pkh.kemsos.go.id
[1] uppkhkabdairi.wordpress.com
[1] idntimes.com
[1] cnnindonesia.com
[1] liputan6.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H