Berlin, ibu kota Jerman misalnya emisi CO2-nya tahun 2010 kurang lebih sebanyak negara Kroasia, sebesar 21 juta ton. Atau kota London emisinya hampir sama dengan negara Irlandia. New York hampir sama dengan negara Bangladesh.Â
Di lain sisi, ada kota-kota besar yang sudah sangat termotivasi, diantaranya Oslo dan Kopenhagen. Oslo sejak tahun 2015 sedikit demi sedikit mengurangi masuk mobil-mobil dengan mesin bakar, meniadakan tempat parkir di tengah kotanya.Â
Kopenhagen lebih ambisius lagi, tahun 2025 akan menerapkan kota netral iklim.
Apa artinya netral iklim untuk sebuah kota? Artinya kota tersebut hanya mengeluarkan emisi CO2 sebanyak kemampuan lahan hijau dan teknologinya hingga menjadi netral.Â
Di Jerman secara keseluruhan, usaha-usaha ini bisa sangat dirasakan dalam rumah dan bangunan kota. Aturan yang mengatur penggunaan energi untuk pemanasan, semakin ketat dan rumit. Namun, kerumitan ini dimudahkan dengan dana pinjaman dengan bunga sangat ringan.
Saya sulit membayangkan bila DKI Jakarta harus menghitung emisi CO2-nya. Dari lalu lintas yang padat serta selalu macet dan dari penggunaan pendingin ruangan saja, pasti emisi CO2 tinggi sekali.Â
Bila Berlin menyanggupi untuk menjadi kota dengan netral iklim di tahun 2050, mungkin DKI Jakarta patut mencoba setidaknya dekade berikutnya 2060. Lalu serius mencanangkan upaya ke arah sana.Â
Bayangkan saja, penduduk bumi tahun 2050 akan menjadi 9 milyar jiwa. Penduduk DKI Jakarta mungkin akan menjadi 30 juta lebih jiwa bila ibu kota tidak pindah.Â
Tanpa usaha-usaha serius ke arah netral iklim, saya sedih dan kasihan membayangkan kehidupan produktif generasi nanti di tahun itu. (ACJP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H