Lulus SMA, lalu? Rata-rata di Indonesia siswa yang lulus SMA akan melanjutkan kuliah ke universitas/Institut atau Sekolah Tinggi. Sedangkan di Jerman, siswa lulusan SMA atau Gymasium memiliki beberapa pilihan. Universitas atau Sekolah Tinggi bukan hanya pilihan pendidikan akademis lanjutan.Â
Selain universitas yang disebut Universitaet (Uni) setara Uni ada juga TU (Technische Universitaet seperti TU Muenchen) atau TH (Technische Hochschule seperti RWTH Aachen), lalu ada Sekolah Tinggi atau Hochschule (dulu disebut Fachhochschule atau University of Applied Science),  ada pula yang namanya Duale Hochschule.
Nah... Duale Hochschule ini, sistem  yang terbilang baru dibandingkan Uni dan Fachhochschule. Baru dimulai tahun 1974 di negara bagian Baden Württemberg. Sedangkan Uni keberadaannya di Jerman bisa ditelusuri sampai tahun 1379 di Erfurt, Jerman Timur dan di Barat Heidelberg tahun 1386.
Universitas atau Technische Hochschule sistemnya lebih mendasar, bahan kuliahnya lebih banyak dan detil, ditujukan untuk para peneliti. Hochschule sistem perkuliahannya lebih aplikatif sedangkan Duale Hochschule, adalah pendidikan tinggi, yang dibuat dengan tujuan untuk menyesuaikan kebutuhan spesifik industri.
Jadi selain kuliah, banyak sekali praktek di Industrinya, biasanya ada yang sistem 3 bulan kuliah, 3 bulan magang di Industri. Ada juga sistemnya 3 minggu magang di Industri dan 1 minggu kuliah. Selama program Bachelor, yang hanya 6 atau 7 semester.
Kelebihan Duale Hochschule
Jerman sebagai negara kaya akan industri, perusahaan-perusahaan besarnya banyak membutuhkan pegawai-pegawai muda berkualitas dengan kualifikasi perguruan tinggi sesuai spesifikasi industrinya, agar dapat lebih cepat berlari dalam persaingan industri global. Nah, kebutuhan ini dipenuhi melalui Duale Hochschule.
Untuk bisa diterima di Duale Hochschule, siswa lulusan SMA tidak mendaftar ke Sekolah Tingginya tapi langsung ke industri-industri atau perusahaan-perusahaan, yang menawarkan kemungkinan itu.Â
Tidak mudah untuk bisa diterima karena kriteria penerimaan tidak hanya berdasarkan nilai akademis tapi seperti melamar pekerjaan, ada tahap-tahapnya dari tes sampai wawancara.
Biasanya satu tempat harus diperebutkan oleh berpuluh-puluh siswa. Kelebihan Duale Hochschule ini, tentu saja bukan hanya kuliah dan biaya hidup ditanggung oleh industri atau perusahaan, tapi juga setelah selesai kuliah pekerjaan sudah tersedia.
Untuk anak-anak yang tidak menyukai teori saja, Duale Hochschule dapat menjadi pilihan nyaman dan menyenangkan. Selain itu, tidak perlu membayar biaya kuliah dan biaya hidup terjamin. Biaya kuliah di Jerman memang boleh dikatakan murah lho, bahkan bila dibandingkan biaya kuliah di Indonesia sekalipun. Biaya hidup yang mahal, pengeluaran termahal seorang mahasiswa biasanya sewa kamar. Apalagi di Jerman saat ini sedang krisis tempat tinggal.
Jadi di kota-kota dengan universitas favorit seperti Munchen, mencari tempat kos seperti mencari jarum dalam jerami. Sulit, kalaupun ada luarbiasa mahal. Saking sulitnya, kadang satu kamar diminati puluhan orang, akhirnya sistem nepotisme yang berlaku. Tak kenal maka tak sayang. Bila tidak punya kenalan harus siap-siap sering pindah-pindah tempat tinggal, karena asrama mahasiswa pun waktu tunggunya bisa sampai 2 tahun padahal kuliahnya hanya 3 tahun.
Kembali ke sistem Duale Hochschule, sistem ini mirip program pak Habibie dulu. Hanya saja, di Jerman Duale Hochschule ini sangat sinergis dengan kebutuhan perusahaan. Jadi perusahaan siap, baik secara infrastruktur maupun program untuk para mahasiswa Duale Hochschulenya. Dan ikatan dinasnya tidak lama.
Banyak sekali lulusan SMA terbaik Jerman lebih memilih masuk Duale Hochschule di perusahaan-perusahaan favorit daripada masuk Uni. Di perusahaan besar seperti SAP di Jerman, misalnya para mahasiswa dari Duale Hochschulenya memiliki karir yang baik.
Seperti putri kami ia lebih memilih Duale Hochschule daripada Uni. Tapi putra saya lebih memilih Technische Universitaet Muenchen daripada Duale Hochschule. Masing-masing sekolah memang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sebagai orangtua, saya kira kita harus menerima apa pun pilihan anak-anak, sepert Kahlil Gibran tuliskan:
Anakmu bukan anakmu
Mereka adalah anak dari kehidupan yang ingin menjadi diri mereka sendiri
Mereka datang melaluimu, tapi bukan darimu
Dan meskipun mereka bersamamu, mereka bukan milikmu
Berikanlah cintamu, tapi bukan pemikiranmu
Karena mereka memiliki pemikiran mereka sendiri
Berikanlah rumah bagi tubuh mereka, tapi bukan jiwa mereka
Karena jiwa mereka adalah milik rumah masa depan, yang tak bisa kau kunjungi, tak pula dalam impianmu ... dst.
Konsekuensi Duale Hochschule
Saya lebih memilih konsekuensi daripada kekurangan, karena saya tidak yakin ini merupakan sebuah kekurangan. Mahasiswa Duale Hochschule memiliki ritme kerja seorang pegawai, karena mereka memang oleh perusahaannya diperlakukan seperti pegawai. Yang paling tidak enak untuk putri saya misalnya waktu libur dan ketidakfleksibelan.Â
Mahasiswa Uni atau Hochschule memiliki fleksibilitas tinggi dan libur cukup panjang, terutama di musim panas (hampir 3 bulan lamanya walaupun biasanya ada ujian di waktu bebas kuliah ini). Sedangkan, mahasiswa Duale Hochschule memiliki libur hanya 30 hari kerja dan tidak memiliki fleksibilitas.Â
Di Jerman, di setiap perkuliahan tidak ada tanda tangan absensi, selama kita mampu menulis ujian, ya lulus. Tapi tidak demikian halnya dengan mahasiswa Duale Hochschule, absensi kuliah ketat dan bila mau cuti pun harus ada izin dari pengawas dan atasan di perusahaan.
Bila putri saya mengeluh, saya ingatkan uang bulanan yang ia terima. Menurut saya nilai beasiswanya cukup tinggi apalagi bila dibandingkan dengan uang bulanan, yang kami kirim untuk adiknya.
Tapi tentu saja, putra saya memiliki pilihan untuk kerja di musim panas, sedangkan putri saya tidak diizinkan kerja di tempat lain oleh perusahaan pemberi beasiswanya. Begitulah, setiap mata uang memiliki dua sisi.Â
Jerman dan Pendidikan
Pendidikan di Jerman menurut saya kualitasnya baik dan sangat ramah dompet, selain biaya kuliah rendah juga pinjaman bagi orangtua yang tidak mampu tersedia, yang namanya Bafoeg. Dan para mahasiswa yang mau nyambi kerja juga ada kemungkinannya bisa nyambi sebagai baby sitter, bekerja di supermarket, perusahaan, kantor, industri, pabrik atau seperti saya dulu di rumah sakit.
Dan satu hal lagi yang saya sukai dari pendidikan di Jerman adalah jalan lebih terbuka lebar untuk menjadi apa pun yang diinginkan anak-anak.
Perbedaan pendapatan antara yang mengenyam pendidikan tinggi dan teknisi pun atau antar perusahaan tidak ekstrim. Di Indonesia dulu, saya sebagai PNS dengan kualifikasi sama, pendapatan saya bisa dapat jauh di bawah rekan saya, yang bekerja di perusahaan semi swasta atau asing.
Di Jerman, antara teknisi dan sarjana saja gap perbedaan pendapatan tidak terlalu lebar. Demikian juga antara perusahaan, perbedaan pendapatan tidak terlalu tinggi karena ada standar-standar yang harus dipatuhi oleh perusahaan.
Jadi Perguruan Tinggi atau menjadi Doktor tidak harus jadi target hidup, yang membuat lingkungan berdecak kagum. Ada kepuasan hidup, yang bisa membuat seseorang berlabuh dalam kepuasan hidup. Tapi memang, kualitas SD sampai SMA di Jerman cukup standar dan selalu diaktualisasi serta dijaga cukup baik kualitasnya.
Bahkan hasil Studi PISA, kerja keras Jerman dari tahun 2000 yang buruk, karena di bawah rata-rata negara OECD, hasil tahun 2015 bisa menyusul di atas rata-rata negara OECD. Sehingga apa pun pilihan anak-anak seusai SMA dan setara, jalan terbuka di depan mereka.Â
Bila ada lulusan USA selalu bangga dengan rangking universitasnya di dunia dan mengejek lulusan Jerman, maka saya katakan hasil Global University Employability Ranking 2018, saya turut bangga dengan rangking TU Muenchen, di posisi ke-6. Ranking ini dilakukan terhadap 250 universitas di 41 negara di dunia, memang posisi 1-5 diisi selain oleh Universitas Cambridge di Inggris dan 4 Universitas di USA.
Tapi coba Anda tanya biaya kuliah, yang mereka keluarkan. Hehehe .... lalu bandingkan dengan biaya kuliah di TU Muenchen, bagai langit dan bumi! Jadi, tidak selalu harus mahal kan untuk kuliah, apalagi sampai tumpukan hutang kuliahnya baru lunas di tahun ke-10 kerja. Dan bila kuliahnya di Duale Hochschule, apalagi selesai kuliah, pekerjaan tersedia dan pasti gak punya hutang.
Nah, Industri dan perusahaan di Indonesia, bisa nih memiliki program Duale Hochschule seperti ini, menampung dan mendidik anak-anak muda berkualitas agar bisa bersaing dan berlari di dunia internasional. (ACJP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H