Akhirnya kontinen terakhir, yang belum kami kunjungi, berhasil didarati juga, AFRIKA! Pagi itu jam menunjukkan 08.40 waktu Fes, kota ketiga terbesar Maroko.
Udara belum sepanas yang dibayangkan, 14 derajat celsius, kurang lebih sesejuk Jerman ketika kami tinggalkan. Namun matahari di langit Maroko saat itu terasa cerah, secerah hati kami memulai petualangan baru di Benua Hitam secara mandiri, hanya kami dan mobil rental, tidak naik transportasi umum atau tidak juga ikut tur.
Awalnya ragu memang, tapi melihat banyak vlog dan blog perjalanan orang Jerman, kami menjadi percaya diri. Delapan hari kami akan habiskan liburan keliling Al Maghribi ini.
Rute perjalanan sudah disusun, hotel dan riad (rumah-rumah di dalam Madinah atau kota tua, yang disewakan), spot-spot menarik nan kece juga sudah ditandai, bahkan mobil rental pun sudah kami reservasi dari Jerman.Â
Saat pengambilan mobil, kami cukup kecewa dengan agen rental car, yang selalu jadi pilihan terpercaya kami di Eropa. Tampaknya standar Eropa tidak berlaku di Afrika.
Untungnya, kami dapat menukar mobil tua itu dengan dengan yang lebih muda, hanya saja kami harus menunggu hampir setengah jam karena mobil harus dibersihkan dulu. Tak apalah menunggu, kenyamanan perjalanan dan ketenangan hati sangat diperlukan dalam perjalanan panjang, yang akan kami lalui.
Total rute perjalanan kami keliling Maroko kurang lebih 2000 Km. Mulai dari Fes lalu ke Timur ke Ifri dekat Errachidia lalu Merzouga disambung ke Ait Ben Haddou kemudian Marrakech lalu ke Barat ke Casablanca, lalu ke Utara menyusuri Atlantik ke Moulay Bou Selham, kemudian Chefchouen, dan kembali ke Fes.Â
Dan satu lagi, asuransi Vollkasko. Bila menyewa mobil di Eropa, kami tidak pernah mengambil asuransi Vollkasko, tapi di Maroko kami bahkan mengambil asuransi premium.
Per hari sewanya kurang lebih 60 Euro (termasuk asuransi). Hal itu perlu sekali, terutama kalau di kota tua Marrakech atau Fez, di mana mobil, motor, gerobak, delman, kuda, keledai, dan sebagainya memenuhi jalan. Dan jangan kaget juga bila mobil rental kita, banyak sekali goretan atau penyoknya. Tidak aneh, yang penting ditandai itu goretan dan penyok, supaya saat mengembalikan mobil, kita tidak dimintai tanggung jawab.
Jalan, polisi lalu lintas, kecepatan kendaraan, dan Sistem Navigasi
Apalagi jalan-jalan antar kota dan dalam kota, yang kami kunjungi ni-macet, alias lancar caaaaar tak ada kemacetan. Dibandingkan Jerman memang dari satu kota ke kota lain membutuhkan waktu lebih lama, karena kecepatan mobil tidak boleh lebih dari 60-80 Km/jam. Hanya di jalan tol kecepatan bisa sampai 120 Km/jam dan jalan tol, yang kami lalui hanya seperempat total perjalanan, yakni dari Marrakech ke Moulay Bou Selham.
Berbeda dengan di negara kita, plang kecepatan lebih seperti hiasan jalan. Di Maroko, jangan coba-coba melanggar kecepatan, lho ... karena di jalan tol ada kamera pendeteksi kecepatan dan di luar jalan tol, banyak sekali Polisi Lalu Lintas Maroko yang berjaga-jaga.
Polantas Maroko luar biasa rajin menilang dan ada di mana-mana. Bahkan di bawah terik matahari di atas 32C pun, mereka setia memeriksa dan bahkan siap dengan perangkat pendeteksi kecepatan!! Sisi positifnya tentu saja suasana perjalanan jadi tenang, karena tidak ada kebut-kebutan.
Kami sialnya 2 kali kena tilang, karena plang 60 Km/jam tidak terlihat, mahal lho dendanya 300 MAD atau kurang lebih 30 Euro, bisa jadi 6 porsi tajine atau couscous itu. Dan jarang sekali angkutan umum antar kota (karena itu gak ada macet), sehingga tidak heran banyak sekali orang di pinggir jalan, duduk nunggu angkutan umum lewat atau mau ikut numpang.Â
Sayangnya, memang sistem navigasi kami di Jerman tidak mencakup Maroko, tapi untunglah dengan Google Maps, masalah sistem navigasi di Maroko bisa diatasi. Artinya tentu saja kami harus membeli simcard Maroko plus internet. Kami memilih Orange seharga 70 MAD. Bisa diandalkan untuk 8 hari di Maroko, hampir tidak pernah kehilangan sinyal.
Pemandangan alam
Adzan bisa kami dengar di mana-mana, shalat bisa dilakukan di mana saja karena masjid tersebar di seluruh negeri. Memilih makanan halal pun tidak perlu repot. Dan senyum dan lambaian tangan penduduk lokal terutama di pelosok Maroko demikian menghangatkan, hampir terasa seperti pulang ke Tanah Air.Â
Walaupun untuk komunikasi, terutama di pelosok Maroko seringkali hanya dengan mimik dan tangan, kami tidak bisa berbahasa Arab ataupun Perancis dan orang Maroko tidak bisa berbahasa Inggris atau Jerman. Tapi ucapan salam dan penjelasan muslim, sontak mengaitkan mata dan hati. Cukuplah.Â
Uniknya para gembala dengan pakaian tradisionalnya, djellaba, sekilas topinya mengingatkan ke topi tukang sihir, karena kuncup ujungnya. Bahkan kami pernah mendengar gembala ini sambil menyanyi lho .... di tengah hamparan padang tandus dan kambingnya, membuat kami pun tersenyum simpul. Bahagia itu tidak sulit dan mudah. Selamat berpuasa, ya ... cerita Maroko lainnya menyusul. Salam. (ACJP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H