Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Melihat Bagaimana Ujian Akhir Pelajar SMA di Jerman

18 April 2018   23:26 Diperbarui: 19 April 2018   13:23 2809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak hanya di Indonesia. Hari ini di Jerman, putra saya mulai mengikuti ujian akhir SMA-nya yang pertama, yang disebut Abitur. Ujian Abitur bahasa Jerman memang tidak terlalu diminati putra saya, yang hobinya matematika dan informatika. Tapi untungnya ujian ini dilakukan paling awal jadi semangat putra saya untuk menulis ujian masih tinggi.

Tadi pagi ia tampak siap menghadapi tantangan, karena tidak seperti biasanya, saat Subuh ia sudah selesai mandi dan sedang mempersiapkan bekalnya. Bahkan ia tampak terlihat rapi mengenakan Hemd terbarunya. Padahal saya tahu betul, pelajaran bahasa Jerman baginya lebih merepotkan dan melelahkan dibandingkan matematika dan informatika, dan bila dibandingkan 3 ujian akhir wajib lainnya, waktu ujiannya paling panjang, 5,5 jam!

Dua tahun lalu putri saya yang menulis Abitur. Selama 5,5 jam ujian bahasa Jerman itu putri saya menghasilkan 18 halaman tulisan. Bagi putri saya, bahasa Jerman memang tidak menakutkan karena ia senang menulis dan hobi membaca novel krimi dengan halaman di atas 300. Sehingga menulis 18 halaman akan pemahaman, analisis kuantifikasi literatur bertemakan humaniora, dalam rangka sistematis, bagi putri saya tidak masalah. 

Namun, tidak demikian dengan putra saya yang lebih memilih membaca buku soal bitcoin daripada buku Dantons Tod karya Georg Buechner, atau Homo Faber karya Max Frisch atau buku Agnes karya Peter Stamm yang tentu saja jadi tantangan berat baginya. Tapi apa mau dikata, semua itu harus dilaluinya, karena tidak ada makanan gratis sekarang ini.

Cerminan putri dan putra saya ini cukup sesuai dengan hasil uji PISA 2015 di bawah ini, yang menggambarkan anak perempuan lebih mampu membaca dibandingkan anak laki-laki. Sayangnya, di grafik di bawa ini Indonesia hasilnya paling buruk.

Sumber: data.oecd.org
Sumber: data.oecd.org
Model Mengajar dan Hasil Uji PISA 2015

Model ujian seperti ini bisa jadi sangat melelahkan untuk anak-anak generasi Z, generasi milenial atau generasi games seangkatan putra atau putri saya, namun sudah sejak lama model seperti ini diterapkan di Jerman. Hal ini tentu saja membentuk kemampuan orang Jerman, menjadi relatif lebih teliti, lebih detil dalam menganalisis dan memahami tema dibandingkan kita orang Indonesia, yang terbiasa dengan didikan meringkas sendiri tanpa dibahas lagi dan ujian model pilihan ganda atau multiple choice.

Dan lagi memang tidak mudah membandingkan kualitas dan kuantitas pelajaran bahasa Jerman mereka dengan pelajaran bahasa Indonesia kita. Pelajaran bahasa Jerman dalam kurikulum Jerman dibuat sangat penting, jam ajarnya panjang dalam seminggu 4 jam ajar dan bacaan literatur wajibnya pun ada tiga buah, di luar banyak puisi dan prosa yang harus mereka telisik.

Sedangkan saya dulu zaman SMA di Bandung, tidak pernah ingat diwajibkan membaca literatur sastra berbahasa Indonesia. Dan seingat saya, pelajaran bahasa Indonesia dulu, baik oleh saya atau teman-teman tidak pernah dianggap menjadi pelajaran paling penting, saking mudahnya. 

Titik berat kurikulum tampak berbeda di sini, dan saya kira SMA saya dulu sampai sekarang memiliki titik berat kurikulum yang tidak jauh berbeda, karena keponakan-keponakan saya, yang belum lama menyelesaikan SMA pun tidak pernah mengkhawatirkan ujian bahasa Indonesia, seperti layaknya kekhawatiran siswa Jerman (juga yang tulen Jerman) akan ujian bahasa Jerman. Siswa SMA Indonesia lebih khawatir ujian matematika atau sains.

Supaya perbandingannya lebih realistis dan objektif, kita ambil saja data hasil uji PISA teraktual tahun 2015 yang dipublikasikan pada tahun 2016 untuk kemampuan membaca, ya. Ini memang bukan tentang pelajaran bahasa ya tapi tentang kemampuan dan dorongan sekolah untuk membaca dari siswa umur 15 tahunan dari berbagai sekolah sebanyak lebih dari 200-an orang.

Sumber: data.oecd.org
Sumber: data.oecd.org
Hasil Indonesia memang masih terlalu jauh bila dibandingkan dengan Jerman, tapi kemampuan membaca siswa Indonesia membaik, dari tahun 2000 sampai uji Pisa tahun 2009 tapi kemudian turun dan hampir stabil antara uji tahun 2012 dan 2015. Sedangkan di Jerman kemampuan membaca siswa terus meningkat dari tahun 2000 sampai tahun 2015.

Bila melihat putra saya, yang tidak suka pelajaran bahasa, membaca literatur sastra memang membuatnya terkantuk-kantuk, tapi tampaknya metoda mengajar di sekolahnya tetap menuntut dan memotivasinya untuk belajar mengupas masalah dan tema. Sehingga kelak apa pun buku yang dibaca siswa, mereka mampu mencari benang merah dari isi sebuah buku. Dan para siswa terdidik untuk mampu menganalisa, yang mereka baca.

Strategi Ujian Anti Bocor

Di Jerman, ujian bahasa Jerman model seperti ini, tidak mungkin bocor karena soal ujian bahasa Jerman ini hanya terdiri dari 5 pilihan, dan siswa boleh memilih satu saja untuk dikerjakan. Untuk dapat menjawab soal-soal ini tanpa siswa pernah membaca 3 buku literatur sastra Jerman itu, tentu tidak mudah.

Apalagi kan jawabannya berupa kupasan tema dalam kerangka literasi ilmiah, yang diajarkan. Ya sangat subjektif dan berbeda-beda. Apalagi pemeriksa ujian terdiri dari 2 orang guru bahasa Jerman di sekolahnya dan satu dari sekolah luar. Nanti untuk nilai akhir ada rapatnya lagi. Gak mungkin bocor.

Saya kira, model ini bagus untuk diterapkan di SMA Indonesia, supaya kemampuan membaca siswa kita lebih baik dan gak mungkin bocor, ya kan. (ACJP)

Sumber Data Grafik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun