Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kebijakan PKL dan Area Hijau, Berkacalah Pada London

17 Januari 2018   23:58 Diperbarui: 18 Januari 2018   10:46 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
London eye (dokumentasi pribadi)

Apa yang ada di pikiran anda bila mendengar London? Apakah glamornya Oxford street? Serunya menyaksikan penjaga di Buckingham Palace? Harry Potter? Big Ben? British Museum? Banyak alternatifnya ya.

London (dokumentasi pribadi)
London (dokumentasi pribadi)
Demikian juga saya, banyak sekali yang ingin saya lihat di London. Tapi awalnya bila ingat paspor Indonesia butuh visa UK, yang luar biasa mahal dan belum pasti diberikan, lalu harus melalui prosedur dingin agen pengurusan visa UK pula, ah... malas sekali membayangkan hal-hal yang harus kami lalui dengan tidak sukarela itu.

Tapi okeylah, untungnya banyak tawaran tiket murah ke London dari airport terdekat di tempat kami tinggal di Jerman. Bayangkan, kadang harga tiketnya hanya 9,9 Euro satu kali jalan (kurang lebih 150 ribu rupiah! Hampir sama dengan tiket travel Bandung - Jakarta), sangat menggoda kan. Apalagi saya terakhir ke Inggris hampir 25 tahun y.l. Kenangan tentang Inggris hanya tinggal puing-puing belaka. Akhirnya, kerepotan membuat visa pun kami lalui juga dan dapat. Tanggal 21 Desember 2017 y.l. terbanglah kami ke London.

Kota Nyaman Layak Tinggal

Bus di London (dokumentasi pribadi)
Bus di London (dokumentasi pribadi)
Sebagai orang yang bekerja di bidang konservasi energi, walaupun tata kota bukan urusan saya namun seringkali pekerjaan saya menyerempet urusan tata kota dan kebijakan kota. Nah, tulisan saya kali ini bukan tentang wisatanya, tapi lebih ke benang merah kenyamanan hidup di sebuah kota metropolitan.

London konon merupakan kota pertama di bumi ini, yang penduduknya di tahun 1900-an menembus angka 1 juta lebih orang. Sekarang London Metropolitan bahkan hampir 14 juta penduduknya, demikian juga dengan kota-kota lain, kota dengan penduduk lebih dari 1 juta sudah tidak terhitung jumlahnya. Tapi saya akan berangkat dari kota London saja ya untuk menuliskan pendapat saya tentang Urban Life ini, mumpung masih segar dalam ingatan.

Pernah membaca tulisan Dr Tri Harso Karyono, beliau sarjananya dari Arsitek ITB dan Doktornya dari Inggris, tahun 2007 pernah membuat tulisan di Kompas dan membuat tercekat kolega arsiteknya. Judulnya cukup provokatif PEMANASAN BUMI DAN DOSA ARSITEK, bisa diklik di sini. Tapi beliau ini bukan satu-satunya arsitek, yang menyalahkan arsitek. Seorang arsitek, penata kota dan profesor Urban Design dari Denmark, Jan Gehl, kurang lebih memiliki pendapat senada, klik di sini.

Jan Gehl ini sosok tidak sembarangan lho walaupun sekarang sudah berumur 80 tahun. Sepak terjang dalam disiplin ilmunya menjadi kiblat kebijakan kota-kota metropolitan dunia, yang mendapat predikat kota nyaman dan layak tinggal. Menurutnya, "Only architecture that considers human scale and interaction is successful architecture."

Gehl dan koleganya mengajarkan pemerintah kota dan bagian tata kota tentang manfaat public space dan kualitasnya, yang ada diantara bangunan gedung. Studinya terdiri dari 2 bagian:

  • a quality evaluation of the public spaces,evaluasi kualitas public space
  • a recording of public life in the spaces and,rekaman kehidupan di area public space itu

berdasarkan ini kemudian disusun rekomendasi untuk peningkatan kualitas area umum. 

Dan London adalah salah satu kota metropolitan, yang pernah masuk dalam studinya.

PKL di Notting Hill, London dan Tanah Abang

Notting Hill (dokumentasi pribadi)
Notting Hill (dokumentasi pribadi)
Ingat ya film Notting Hill dengan pemerannya Hugh Grant dan Julia Roberts. Film komedi romantis ini mengambil latar daerah Notting Hill, London. Selain, ingin tahu tentang Notting Hill, saya pun iseng mencari-cari pintu biru rumah Hugh Grant di film itu. Yuhuuu ... ketemu di 280 Westbourne Park Road. Dan ternyata saya tidak sendirian lho, ada juga turis lain ternyata korban pintu biru Notting Hill itu. hehehe.

Pintu Biru Notting Hill (dokumentasi pribadi)
Pintu Biru Notting Hill (dokumentasi pribadi)
Seperti terlihat di pembuka film Notting Hill, sebagian dari Portobello Road, jalan mobilnya dipenuhi PKL barang antik. Pasar antik ini tidak setiap hari, hari Minggu tidak ada pasar dan hari Kamis hanya sampai jam 13.00. Seperti dalam kalimat pembuka film, Notting Hill is one of the most liveable place in London.

Aura nyaman dan seru juga saya rasakan di sana, karena banyak yang dilihat. Bahkan kami makan rendang halal dulu di restoran Malaysia di Notting Hill. Campuran etnik para penjual barang antik, tekstil, kelontong dll ini sangat mencolok. Mulai dari Afrika, Asia, Eropa dan Timur Tengah ada. Tapi yang saya mau tulis di sini, walaupun satu blok jalan di Portobello road ini tertutup, tapi tidak membuat macet jalan di sekitarnya. Tidak mengurangi kualitas area publik.

Setuju bahwa PKL harus diberi tempat berjualan, tapi di mananya ini saya kira harus bijaksana dan mempertimbangkan tadi 2 butir yang disebutkan oleh Jan Gehl, evaluasi kualitas dan manfaatnya. Apakah kualitas kehidupan di Tanah Abang lebih baik ?? Lalu sekarang becak mau diperbolehkan lagi. Kalau dijaga hanya untuk daerah-daerah bebas macet saya kira tidak masalah. Tapi Ali Sadikin dulu meniadakan becak tentu ada alasannya.

Sepeda kota (dokumentasi pribadi)
Sepeda kota (dokumentasi pribadi)
Yang pasti, masalah kemacetan belum selesai. Kenapa tidak menggairahkan sepeda saja. Sepeda lebih ramping dan tidak menghabiskan jalan, lalu semua mobil masuk ke Jakarta seperti di London harus bayar tol, dan dengan biaya tol ini dibangun kantong-kantong parkir di ambang kota, lalu diperbanyak jalur kereta bawah tanah dan bus listrik. Hingga waktu menjadi kembali berharga, tidak lagi terbuang di jalan karena macet.

Kualitas Hijau Kota

Peta kereta bawah tanah London (dokumentasi pribadi)
Peta kereta bawah tanah London (dokumentasi pribadi)
Walaupun Gehl kecewa London kurang mengakomodasi pesepeda dan pejalan kaki tapi berkeliling di London dengan angkutan umum sungguh tidak repot dan cepat sampai ke mana-mana, apalagi tube tidak pernah terkena macet. Walaupun begitu, pengalaman kami naik bus London, pun tidak pernah mengalami macet seperti Jakarta.

Padahal London tuh padat, hampir di setiap daerahnya penuh orang, baik itu orang lokal maupun turis. Sebagai pemilikt tube atau kereta bawah tanah pertama, menurut saya, London memulai dengan benar untuk mengatasi masalah transportasi.

Saat ini jaringan jalur tubenya sudah sepanjang 250 mil (402 km). Peta tubenya juga rumit, semua spektrum utama warna sudah dipakai untuk jalur-jalurnya. Jumlah bus kotanya ada 8000 dan beroperasi 24 jam. Sejak tahun 2003, mobil yang masuk kota London dikenakan biaya tol, yang kemudian digunakan untuk memperbaiki moda transportasi massalnya. Tak heran bila, kemacetan di London tidak sampai eskalasi separah Jakarta.

Harga tiket kendaraan umumnya pun tidak mahal lho, dengan Oyster Card berkeliling di zona 1-2 per hari maksimal hanya 6,80 hampir sama dengan di Jerman. Dengan Oyster Card bisa naik apa saja, karena system pertiketannya sudah terintegrasi antara bus, tube, kereta.

Dan perlu diingat, selain jumlah mobil bisa ditekan drastis di London, 40% luas area London adalah area hijau. Mari kita lihat Jakarta, dalam tulisan saya sebelum ini di sini, area hijaunya kurang dari 10%, bisa diklik di sini. 

Begitulah, menurut saya tugas Jakarta menjadi kota nyaman layak huni masih sangat amat panjang, kemacetan, kurangnya area hijau, banjir, kanalisasi yang tak teratur, sulitnya air bersih. Bila yang pokok saja belum bisa diselesaikan ... jangan dululah mengaplikasikan kebijakan tanpa konsep panjang. Yang Jakarta butuhkan sekarang ini konsep solusi yang holistik berkesinambungan, kalau hanya sporadis saja, biasanya tidak langgeng. (ACJP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun