Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Para Masters dan Disasters Cinta Hasil Penelitian

18 Mei 2017   16:57 Diperbarui: 18 Mei 2017   17:03 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini membaca sebuah artikel di sini dan di sini, membuat saya sedikit banyak mengerti dan lega mungkin ya bahwa saya ternyata tidak sendirian masih mengagungkan artinya komunikasi, perhatian dan kasih sayang secara konvensional dalam rumahtangga di era cyber dan digital, yang demikian pesat kemajuannya dan merongrong.  Saya memang tidak berpengalaman dan sepiawai pak Cahyadi Takariawan membahas tentang pernikahan, tapi saya coba tulis di sini dari pengamatan, studi dan hasil penelitian para pakar psikologi.

Bahwa dulu zamannya nenek dan kakek kita, angka perceraian tidak setinggi sekarang dibuktikan oleh data statistik Jerman. Tidak hanya di Indonesia angka perceraian meningkat, di Jerman pun ternyata angka perceraian dari tahun 1960 sampai 2015 meningkat dari 10,7% menjadi 40,82%, sumber dari sini. Artinya, di tahun 2015, 41% atau hampir setengahnya dari pernikahan berakhir dengan perceraian. Fakta yang menghenyakkan, ya. 

Perceraian ini tidak hanya terjadi di pasangan muda, tapi juga pasangan yang sudah berumah tangga selama 15 tahun bahkan 24 tahun atau lebih. Di Jerman ada istilah verflixte 7 Jahren artinya di 7 tahun pertama pernikahan memang pasangan diharapkan banyak saling beradaptasi dan saling mengerti sehingga banyak cobaannya. Berangkat dari istilah ini, harusnya setelah melewati 7 tahun, jalannya pernikahan semakin mulus tapi ternyata setelah 24 tahun pun perceraian atau kegagalan berumah tangga masih mungkin terjadi, apalagi sekarang di mana semakin eratnya medsos dan dunia digital semakin membuat sulit memilah waktu dan perhatian untuk orang terkasih dan terpenting bagi kita.

Ketidaksetiaan atau Perselingkuhan Era Digital

Dunia digital dan medsos sekarang ini demikian kencang dan intim, seringkali membuat deviasi tujuan kita sebenarnya untuk menikah dan membangun rumah tangga. Angka perceraian semakin melonjak cepat dan drastis. Kehidupan yang serba digital dan sibuk, terkadang memaksa kita menegur pasangan hanya dalam Whatsapp, mengharap kita sudah cukup memberikan perhatian. Padahal kita juga mengontak teman-teman lain di facebook, whatsapp, instagram dll. Dan yang lebih mengerikannya, komunitas dan masyarakat menerima kondisi seperti ini, serba terhubung dan terkait, sibuk tidak hanya dalam pekerjaan tapi juga di media sosial lalu hubungan cinta yang paling kita butuhkan menjadi wajar tercecer. 

Beziehungen gedeihen durch Kommunikation. Unsere intimsten Gefühle sind für den Menschen reserviert, den wir lieben. Warum ist es also akzeptabel, sie nie zu zeigen?

Perasaan dan kesan paling dalam dan emosional, sebetulnya direservasi untuk pasangan dan orang terkasih saja, namun sekarang sudah wajar bila menjadi santapan umum medsos juga. Lalu saat makan malam pun, smartphone menjadi teman makan paling setia, sibuk membacai dengan setia semua muntahan orang lain dalam medsos, lupa untuk berkomunikasi dan menjalin perasaan dengan pasangan. Padahal hubungan berjalan harmonis hanya melalui komunikasi. Dan yang mengerikannya, komunitas medsos dan masyarakat umum sekarang ini pun menganggap wajar dan lumrah, ungkapan dan curhat dibagi sebagai status dan terhubung dalam segala group di segala macam medsos.

Ini adalah definisi ketidaksetiaan atau perselingkuhan, menurut kamus Webster bahasa Jerman (Untreue  = Entzug von „etwas Wertvollem durch den Gebrauch von Täuschung und Betrug"). Ya kita telah tidak setia terhadap pasangan karena telah mengecewakannya karena tidak menempatkannya sebagai prioritas dan menyalahgunakan waktu berdua dengan memberi waktu juga untuk orang lain di medsos. Seolah dalam hubungan suami istri di era digital sekarang ini, wajar kurang dalam membangun komunikasi, sedikit saja memberikan perhatian, perasaan, intimitas dan cinta terhadap pasangan tapi memiliki waktu untuk memberikan komentar dan perhatian di medsos, whatsapp group dll. Kelanggengan dan kebahagiaan rumah tangga butuh usaha dan kerja. Tanpa era medsos saja, membangun kelanggengan dan kebahagiaan sulit dilakukan seperti telah dilakukan oleh seorang psikolog USA.

Masters and Disasters

Bukan hanya diferential dan integral dalam matematika saja yang rumit, cinta dan komunikasi antara pasangan pun ternyata dapat menjadi ruwet dan bumerang bila kita meremehkan dan tidak menyediakan waktu untuk itu. Penelitian dari John Gottman, psikolog USA  terhadap ratusan pasangan menunjukkan hal itu. Gottman, istinya Julie, yang juga seorang psikolog dan para peneliti di Gottman institut USA, selama 40 tahun terakhir melakukan penelitian terhadap ratusan pasangan dan berusaha mencari, apakah ada resep jitu untuk pernikahan langgeng dan bahagia.

John Gottman dan koleganya Robert Levenson, untuk pertama kali tahun 1986 membuat "Laboratorium Ciinta", di mana di sana dilakukan penelitian terhadap pasangan-pasangan baru menikah dengan menggunakan elektroda. Para pasangan ini ditanya banyak hal tentang kehidupan pasangan dan nostalgia cinta mereka. Selama para pasangan ini menjawab pertanyaan dengan elektroda diukur produksi keringat, aliran darah dan denyut nadinya. Lalu 6 tahun kemudian, para pasangan ini ditelpon untuk menanyakan apakah mereka masih hidup bersama. Dari data yang terkumpul Gottman lalu membagi dua golongan: Masters dan Disasters. Golongan Masters adalah pasangan yang masih bersama dan BAHAGIA, sedangkan Disasters adalah pasangan yang sudah berpisah atau masih bersama tapi TIDAK BAHAGIA. 

Untuk golongan Disasters, mereka memiliki kesamaan hasil pengukuran di Laboratorium Cinta dengan elektroda aliran darah dan denyut nadinya cepat, lalu produksi keringatnya tinggi. Gottman lalu menyimpulkan bahwa pasangan yang memiliki hasil labor cepat dan tinggi ini, dalam komunikasi pasangan ini agresif dan saling menyerang, walaupun yang mereka bicarakan hal-hal remeh temeh dan tidak penting.

Sebaliknya pasangan golongan Masters, pasangan-pasangan ini memiliki keterikatan dan tidak tertekan. Dalam pertengkaran pun mereka tidak saling menjatuhkan dan tetap saling menghormati. Hasil laboratorium ini bukan artinya secara fisiologis para Masters lebih baik dari para Disasters tapi memang atmosfir hubungan cinta para Masters lebih terjalin intimitasnya dan lebih saling percaya, sehingga secara emosional dan psikologis pun mereka lebih tenang dan nyaman.

Dari hasil penelitian ini untuk mengetahui bagaimana para Masters berhasil menciptakan suasana dan atmosfir penuh cinta dan intimitas, Gottmann tahun 1990 di Campus Universtas Washington membuat sebuah Laboratorium seperti Bed & Breakfast yang nyaman. 130 pasangan diteliti seperti saat mereka sedang berlibur, saat memasak, beres-beres, mendengarkan musik, makan atau saat duduk-duduk saja. Gottman menemukan ternyata komunikasi adalah bentuk tawaran untuk menjalin intimitas. 

Misalnya seorang suami yang tertarik akan burung, membuka pembicaraan dengan menunjuk burung kecil dalam sebuah majalah. Mungkin terkesan tidak penting, sehingga sang istri bisa bereaksi dengan menyepelekan, tidak memperdulikan dan tidak menjawab, bahkan membentak atau bisa juga memperlihatkan perhatian untuk menghargainya. Reaksi terakhir inilah ternyata dari hasil penelitian yang membuat subur dan nyaman pasangannya. Pasangan yang sudah menikah lebih dari 6 tahun tapi masih memberikan 87% perhatian pada pasangannya, memiliki 90% bumbu jitu untuk merawat kelanggengan dan kebahagiaan rumah tangga.

Para Masters ini memiliki ciri-ciri, selalu memiliki rasa syukur dan melihat hal-hal positif atas yang dimilikinya, sehingga lebih mampu untuk menghormati dan membangun komunikasi dengan pasangannya. Sementara, para Disasters tidak menghargai pasangannya dan menutup mata atas sifat positif pasangannya, sehingga selalu mudah agresif dan tidak perduli terhadap pasangannya. Padahal hasil dari penelitian ini, alasan mendasar perceraian atau perpisahan adalah TIDAK MENGHARGAI. Orang yang dingin terhadap pasangannya, dengan sadar tidak memberi perhatian dan hanya bereaksi minimal, hanya akan merusak hubungan cinta, karena dampaknya pasangan akan merasa tidak dianggap dan tidak berharga.

Untuk itu, para peneliti ini menilai KESTABILAN EMOSI sangat penting untuk kelanggenan dan kebahagiaan sebuah hubungan. Kestabilan emosi ini memang terkadang dimiliki atau tidak, tapi para Masters akan melihat kestabilan emosi seperti otot, yang bisa dilatih. Hubungan cinta dan harmonis diantara pasangan, tidak selesai dengan pemenuhan sex saja tapi juga dengan membangun komunikasi harmonis, caranya melatih kestabilan emosi sendiri agar hubungan dan komunikasi dengan pasangan lancar. Menjaga hubungan yang harmonis dan penuh cinta memang butuh kerja dan usaha. 

Kestabilan emosi ini bukan artinya kita tidak pernah marah, tapi kestabilan emosi mempengaruhi, dengan nada dan suara seperti apa kita lepaskan kemarahan kita. Kita bisa meneriaki dan menghina hingga melukai hati pasangan atau kita bisa menjelaskan dengan emosi tertahan kenapa kita terluka dan marah. Penjelasan inilah yang tentu jalan yang lebih baik.

„Güte bedeutet nicht, dass wir nicht mal sauer auf einander sind, aber die Güte zueinander beeinflusst, in welchem Ton wir unserem Ärger Luft machen. 

Man kann den Partner anschreien und fertig machen. Oder man erklärt, weshalb man verletzt oder sauer ist. Das ist der wesentlich bessere Weg“, erklärt Julie Gottman.

Jadi siapa pun yang ingin berbahagia dan langgeng dalam pernikahannya, perlu melatih kestabilan emosinya. Bagaimana melatih kestabilan emosi ini, ada dua resep dari penelitian yang disimpulkan :

  1. selalu positif menginterpretasikan tujuan pasangan 
  2. mampu turut berbahagia atas kebahagiaan pasangan  

Sekali lagi kestabilan emosi yang ditunjukkan para Masters dari hasil penelitian Gottman, bisa dilatih karena kestabilan emosi itu seperti otot. Dalam semua stres sehari-hari jangan sampai kehilangan waktu dan tenaga untuk selalu berinvestasi dalam hubungan suami istri untuk kelanggengan dan kebahagiaan bersama. (ACJP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun