Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Mudik, Keluarga dan Jakarta

23 Juni 2015   18:24 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:39 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali di antara keluarga bagi saya adalah makna dari mudik yang paling utama. Walaupun mudik saya 1,5 bulan lebih cepat dari lumrahnya mudik lebaran, namun makna mudik kami ybl tetaplah memiliki arti kejiwaan bagi saya. Saya bisa mengerti, bila mudik lebaran walaupun menghabiskan energi dan materi, selalu disukai dari tahun ke tahun. Ngantri berjam-jam di jalan walaupun mengesalkan sudah diterima sebagai resiko yang harus dilewati.

Mungkin efek psikologis dari mudik itu yang sangat bermakna terutama bagi manusia Indonesia, yang memang pada dasarnya senang berkumpul. Mangan ora mangan sing penting ngumpul, mungkin bukan hanya meme kosong. Secara sosiologis artinya sangat mengena. Mengulang cerita lama, tertawa kelucuan masa lalu, bergurau akan kekurangan atau kelebihan masing-masing, berbisik masalah-masalah pribadi, menggosip teman-teman lama dan merajut harapan-harapan terpendam dengan keluarga yang kita percaya dan yakini menyayangi kita apa adanya, maknanya mendalam dan memberikan semangat untuk kembali merajut kehidupan sehari-hari.

Bagi saya, terus terang keluarga terpenting adalah orangtua dan kakak-kakak serta anak-anaknya. Di luar itu, sudah terlalu kompleks. Entah karena terpapar nilai kekeluargaan yang individualis di Jerman atau bagaimana, tapi bila kakak-kakak saya mengajak ke pertemuan keluarga yang namanya saja baru pertama kali saya dengar, atau sering saya dengar tapi wajahnya tidak bisa saya bayangkan, tidak pernah ada gairah atau keinginan yang muncul di saya untuk ikut kumpul. Bukan saya sombong atau bagaimana, tapi perkenalan singkat yang hanya diisi pembicaraan kaku dan hanya kulit saja, terasa mengurangi kualitas liburan kami yang pendek. Saya lebih menyukai bertemu dengan keluarga, teman dan sahabat, yang saya kenal baik dan mereka pun rindu untuk bertemu dengan kami. Itulah arti mudik bagi saya paling utama selain tentu saja menemani ibu yang sudah sepuh dan tak berdaya di Bandung.

Walaupun lingkaran keluarga sudah dikurangi diameternya. Mudik dan keluarga bukan hanya urusan hati tapi juga urusan kantong. Biaya tiket, oleh-oleh, nraktir makan, memberi angpao, membiayai diri sendiri, memberi tips lalu saat pulang membeli juga oleh-oleh lain, souvenir, kenang-kenangan adalah hal-hal yang harus dipikirkan, karena bisa jadi kita pulang dengan tiket pesawat termurah tapi biaya di luar itu, 3 atau 4 kali lebih banyak dari harga tiket itu sendiri. Untung-untung, bila keluarga di rumah mengerti kondisi kita, mau meminjamkan mobilnya dengan gratis dan senang hati lalu tidak membebani, tapi wah .... bila tidak dan menganggap bekerja di Jerman, digelimangi Euro ya ... nasib namanya. Siap-siap tabungan di Indonesia menjadi bolong. Tapi begitulah, mudik dan keluarga memang memiliki arti yang magical ... tidak membuat kapok untuk mudik dan kembali ke keluarga tercinta.

Jakarta dan Dilemanya

1- Macet dan Jalan Tol

Kemarin Jakarta berulang tahun yang ke-488 tahun, bukan usia muda. Sebagai mantan pegawai dan penduduk Jakarta, Jakarta selalu memberikan kejutan baru saat mudik. Yang tidak enak adalah kemacetan makin parah di tol JORR, tapi yang menyenangkan adalah nyambungnya tol BSD ke bandara dan cara bayar dengan kartu jalurnya makin banyak.

Namun, secara garis besar dan terlalu dini menilai mungkin untuk kepemimpinan Jakarta yang baru ini, saya dalam liburan singkat di Jakarta ybl tidak merasakan perubahan berarti dalam hal kemacetan. Contoh kemacetan yang saya alami ybl adalah jarak yang ditempuh dari Jatiwaringin ke Taman Mini saja, jaraknya kurang lebih hanya 5,5 km, sebetulnya bila kondisi wajar bisa ditempuh dalam waktu 5-15 menit, tapi yang kami alami kurang lebih sejam !!! Saya sungguh angkat topi atas kesabaran ini, apalagi bila bertemu dengan sopir-sopir taksi yang simpatik, yang walaupun kemacetan Jakarta ini sangat mempengaruhi pekerjaannya tapi tetap mempertahankan senyum dan keramahannya.

Dari obrolan kami dengan para supir taksi ini, kondisi macet ini hanya memungkinkan mereka maksimal dalam satu hari melakukan 10-15 rit saja. Padahal, setoran yang mereka harus buat per hari (tergantung taksinya) ada yang di atas 300 ribu. Bahkan cerita salah satu supir taksi, ada satu armada taksi baru, sampai kesulitan mencari supir. Menjadi supir taksi di Jakarta memang menguji iman dan kesabaran.

Tapi saya memiliki harapan tinggi untuk Jakarta, saya lihat pembangunan MRT sudah dimulai, pembangunan jalan layang Tendean-Ciledug juga sedang di lakukan, saya akan kembali dan mudah-mudahan bisa mengalami Jakarta yang lebih ramah kemacetan.

2- Gemerlap Mal, Pasar Tradisional dan Kuliner

Bertemu dengan sahabat-sahabat lama di Jakarta bukanlah urusan gampang. Lokasi pertemuan sangat menentukan gairah bertemu. Kami dan sahabat lama tadinya akan bertemu di Cipinang, tapi karena lokasinya tidak mudah, akhirnya Pacific Place menjadi tempat pertemuan strategis. Pacific Place dan Citos memang berlokasi strategis. Apalagi di dalamnya juga pilihan segala jenis makanan terjamin.

Kami tinggal di Jerman di sebuah kota, yang masuk definisi desa untuk Indonesia. Di tengah kota dan tempat perbelanjaannya untuk kota dengan jumlah penduduk yang hanya 50.000 orang ini, tidak ada itu Mal atau tempat belanja segemerlap Taman Anggrek, Pacific Place atau Central Park. Pilihan makanan di kota kami tinggal di Jerman juga minimal dibandingkan yang ada di Jakarta, yang ya ampun banyaaaakkk sekali, bila berangkat dari rumah tidak jelas minat makannya apa, bisa bingung dan keliling tempat makan sejam untuk memastikan ... bahwa ya, saya mau makan ini.

Sementara itu, pasar tradisional, masih sama jalan di tempat, membludak ke jalan, sampahnya tak terurus. Gambaran kontras dan lebarnya jurang kaya miskin di Jakarta, Bandung dan mungkin banyak kota besar di Indonesia.

Godaan hedonistik warga Jakarta memang luarbiasa. Bila iman tidak kuat, gemerlap tawaran metropolitan dan tuntutan keluarga bisa membelokkan kita dari jalur hidup yang lurus dan bersih.

3- Biaya Kesehatan dan BPJS

Dari ngobrol dengan keluarga dan teman, saya mendapatkan kesan positif akan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Kebaikan program BPJS ini, selain dari fasilitasnya yang baik dengan birokrasi yang mudah juga bahkan ada satu teman yang bercerita, klinik swasta keluarga istrinya dengan adanya BPJS menjadi ramai. Saya senang dengar kabar ini. Program BPJS berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS) atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memiliki 3 pembagian kelas, dengan biaya premi Rp 59.500 untuk kelas 1, Rp 42.500 untuk kelas 2, dan Rp 25.500 untuk kelas 3 per bulan. Setiap warga bisa memilih premi sesuai kemampuannya. Jadi bukan hanya pegawai negeri saja dengan ASKESnya atau pegawai BUMN atau swasta dengan fasilitas dan asuransi kesehatannya yang ditanggung.

Biaya kesehatan baik memang luarbiasa mahal. Keponakan suami saya, ditabrak lari oleh sepeda motor, hingga legamen kakinya harus dioperasi. Biaya operasinya diperkirakan 73 juta rupiah. Walaupun adik ipar saya itu bekerja dan cukup mapan di Bank Pemerintah dan terasuransi kesehatannya dan keluarganya, namun biaya kesehatan tidak ditanggung semua oleh asuransi. Saya tidak tahu, apakah hal ini juga bisa ditanggung oleh BPJS, namun yang pasti setiap orang Indonesia membutuhkan asuransi kesehatan untuk hal-hal yang sifatnya urgen. Sungguh sulit saya bayangkan bila hal ini terjadi pada keluarga yang tidak mapan dan tidak memiliki asuransi. Adik ipar saya saja, yang jelas-jelas punya pekerjaan mapan, kelimpungan menutup kekurangan biaya operasi putranya, yang tidak ditanggung asuransi.

4- Biaya Sekolah dan Kuliah

Sekolah Dasar Negeri di Jakarta tanpa biaya, hal itu masih saya alami ketika masih bekerja di Indonesia. Salah satu teman kerja malah sampai memindahkan sekolah anaknya ke Jakarta karena itu. Namun, biaya sekolah swasta dan kuliah ya ampun saya sampai kaget mendengarnya. Bila diEurokan pun masih terdengar menyesakkan. Salah satu kerabat malah mengatakan : "Bisnis laris manis di sini (Indonesia) itu bisnis pendidikan". Uffff .... saya tidak tahu harus nelangsa atau kecewa mendengarnya. 

Saya berharap, setelah BPJS sukses, semoga di sektor pendidikan juga ada perbaikan. Bukan hanya SD, SMP dan SMA tapi juga Sekolah Kejuruan dan Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi Negeri harus diperbanyak, kualitasnya diperbaiki dan didanai. Izin sekolah swasta yang hanya mengeruk uang harus diperketat, kualitasnya pun harus diuji betul. Saya sungguh heran melihat ada Perguruan Tinggi Swasta mengambil tempat di satu ruko !!! Satu ruko, sebela kiri dan kanannya ruko untuk usaha lain ... betul lho, ruko kan rumah toko, bahwa pendidikan menjadi aset jual beli ya itu lah buktinya. Saya yang pasti berpikir seratus kali untuk mengirim anak saya ke perguruan tinggi dalam satu ruko.

Dirgahayu Jakarta !!! Semoga semakin berkualitas dan baik. Salam cinta Indonesia. (ACJP)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun