Kami tinggal di Jerman di sebuah kota, yang masuk definisi desa untuk Indonesia. Di tengah kota dan tempat perbelanjaannya untuk kota dengan jumlah penduduk yang hanya 50.000 orang ini, tidak ada itu Mal atau tempat belanja segemerlap Taman Anggrek, Pacific Place atau Central Park. Pilihan makanan di kota kami tinggal di Jerman juga minimal dibandingkan yang ada di Jakarta, yang ya ampun banyaaaakkk sekali, bila berangkat dari rumah tidak jelas minat makannya apa, bisa bingung dan keliling tempat makan sejam untuk memastikan ... bahwa ya, saya mau makan ini.
Sementara itu, pasar tradisional, masih sama jalan di tempat, membludak ke jalan, sampahnya tak terurus. Gambaran kontras dan lebarnya jurang kaya miskin di Jakarta, Bandung dan mungkin banyak kota besar di Indonesia.
Godaan hedonistik warga Jakarta memang luarbiasa. Bila iman tidak kuat, gemerlap tawaran metropolitan dan tuntutan keluarga bisa membelokkan kita dari jalur hidup yang lurus dan bersih.
Dari ngobrol dengan keluarga dan teman, saya mendapatkan kesan positif akan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Kebaikan program BPJS ini, selain dari fasilitasnya yang baik dengan birokrasi yang mudah juga bahkan ada satu teman yang bercerita, klinik swasta keluarga istrinya dengan adanya BPJS menjadi ramai. Saya senang dengar kabar ini. Program BPJS berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS) atau Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memiliki 3 pembagian kelas, dengan biaya premi Rp 59.500 untuk kelas 1, Rp 42.500 untuk kelas 2, dan Rp 25.500 untuk kelas 3 per bulan. Setiap warga bisa memilih premi sesuai kemampuannya. Jadi bukan hanya pegawai negeri saja dengan ASKESnya atau pegawai BUMN atau swasta dengan fasilitas dan asuransi kesehatannya yang ditanggung.
Biaya kesehatan baik memang luarbiasa mahal. Keponakan suami saya, ditabrak lari oleh sepeda motor, hingga legamen kakinya harus dioperasi. Biaya operasinya diperkirakan 73 juta rupiah. Walaupun adik ipar saya itu bekerja dan cukup mapan di Bank Pemerintah dan terasuransi kesehatannya dan keluarganya, namun biaya kesehatan tidak ditanggung semua oleh asuransi. Saya tidak tahu, apakah hal ini juga bisa ditanggung oleh BPJS, namun yang pasti setiap orang Indonesia membutuhkan asuransi kesehatan untuk hal-hal yang sifatnya urgen. Sungguh sulit saya bayangkan bila hal ini terjadi pada keluarga yang tidak mapan dan tidak memiliki asuransi. Adik ipar saya saja, yang jelas-jelas punya pekerjaan mapan, kelimpungan menutup kekurangan biaya operasi putranya, yang tidak ditanggung asuransi.
4- Biaya Sekolah dan Kuliah
Sekolah Dasar Negeri di Jakarta tanpa biaya, hal itu masih saya alami ketika masih bekerja di Indonesia. Salah satu teman kerja malah sampai memindahkan sekolah anaknya ke Jakarta karena itu. Namun, biaya sekolah swasta dan kuliah ya ampun saya sampai kaget mendengarnya. Bila diEurokan pun masih terdengar menyesakkan. Salah satu kerabat malah mengatakan : "Bisnis laris manis di sini (Indonesia) itu bisnis pendidikan". Uffff .... saya tidak tahu harus nelangsa atau kecewa mendengarnya.Â
Saya berharap, setelah BPJS sukses, semoga di sektor pendidikan juga ada perbaikan. Bukan hanya SD, SMP dan SMA tapi juga Sekolah Kejuruan dan Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi Negeri harus diperbanyak, kualitasnya diperbaiki dan didanai. Izin sekolah swasta yang hanya mengeruk uang harus diperketat, kualitasnya pun harus diuji betul. Saya sungguh heran melihat ada Perguruan Tinggi Swasta mengambil tempat di satu ruko !!! Satu ruko, sebela kiri dan kanannya ruko untuk usaha lain ... betul lho, ruko kan rumah toko, bahwa pendidikan menjadi aset jual beli ya itu lah buktinya. Saya yang pasti berpikir seratus kali untuk mengirim anak saya ke perguruan tinggi dalam satu ruko.
Dirgahayu Jakarta !!! Semoga semakin berkualitas dan baik. Salam cinta Indonesia. (ACJP)