Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Korelasi Rasio Elektrifikasi dengan Produktifitas dan Kemacetan

21 Februari 2014   01:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:37 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Informasi rasio elektrifikasi Indonesia sebesar 75,8% di tahun 2012 (informasi prokum esdm) ini bagi saya informasi tidak jelas, sebab masalah krusial yang ada menjadi terselubung. Tapi coba bila melihat lebih detil, rasio elektrifikasi tertinggi di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya sebesar 99,99% dan terendah di Papua 35,89%. Tentu langsung tuinggggg kan dengan rentetan permasalahan yang ada di masyarakat.

Yang pasti yang langsung terbersit di kepala saya adalah ... "hmmm pantas saja bila Jawa dan Jakarta selalu menarik dan menjadi tujuan utama pencari kerja". Padahal bila melihat kondisi Jawa, luasnya hanya 6,8% dari luas Indonesia tapi tampungan penduduknya 57,5% dari seluruh penduduk Indonesia, tidak seimbang kan. Lalu pantas saja karena kurang listrik produktifitas industri tidak bergairah sehingga lapangan kerja kurang dan gantinya politik atau menjadi anggota Legislatif lebih dijadikan mata pencaharian atau tunggangan ekonomi daripada manifestasi keyakinan dan ideologi.

Dan tidak perlu heran pula bila kemacetan dari tahun ke tahun semakin menggila, tidak hanya terjadi di Jakarta tapi juga Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang dan banyak kota di Jawa karena menurut saya rasio elektrifikasi ini sangat erat hubungannya dengan persebaran penduduk dan produktifitas ekonomi bangsa.

Bila pemerintah daerah repot memikirkan bagaimana mengatasi macet, sementara masalah elektrifikasi terutama di daerah tidak ada kemajuan, maka masalah akan selalu timbul karena inti masalah tidak terselesaikan. Masalah makro yang tidak diselesaikan secara holistik, hanya membuat para eksekutor pemerintahan dan pemangku tanggungjawab menutup lubang dan menggali lubang, jalan di tempat.

Masalah paling menyedihkan dan sudah cukup lama berlangsung misalnya saat ini sering ngejepretnya lampu di Medan. Bagaimana ada industri besar tertarik menanam modal di sebuah kota, yang jaminan ketersediaan listriknya sangat kurang, bagaimana kesejahteraan penduduknya bisa maju dan tentu saja bagaimana migrasi penduduk masuk Jakarta atau Jawa bisa dihentikan bila kenyataan di lapangan tidak mendukung sama sekali.

Bila mengingat biaya PEMILU 2014 yang dikabarkan senilai 4o Triliun (2% dari pendapatan negara yang direncanakan untuk tahun 2014 sebesar 1667,1 triliun) tapi politik nanti hanya politik seremonial lagi-lagi tidak berhasil menggairahkan industri dan terutama peningkatan rasio elektrifikasi terutama di daerah, rasanya angka triliunan itu hanya mubazir saja. Padahal Indonesia sejak kemerdekaan usianya akan memasuki umur 69 tahun tahun ini, kalau ukuran manusia sudah mulai renta. Mari kita lihat upaya pemerintah Jerman dalam waktu 25 tahun membangun mantan Jerman Timur supaya sama dengan tingkat kesejahteraan Jerman Barat.

Jerman dan Pembangunan Daerah Tertinggal

Bagaimana Jerman mengentaskan perbedaan kesejahteraan di dalam negeri terutama di negara bagian mantan DDR, membuat saya terpekur dan memikirkan kiprah Kabinet Indonesia Bersatu dan kabinet-kabinet sebelumnya terutama Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal selama ini.

Tidak dipungkiri lagi, peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah tujuan akhir dari segala bentuk pembangunan. Untuk membangun dibutuhkan investasi, untuk investasi dibutuhkan dana dan para pemilik dana biasanya adalah industri besar. Lalu bagaimana industri besar tertarik untuk berinvestasi, salah satunya adalah infrastruktur kota atau daerah yang baik.

Ketika pada tahun 1989 Jerman Barat kembali bersatu dengan Jerman Timur, tugas berat pemerintah saat itu sudah menanti. Perbedaan tingkat kesejahteraan yang mencolok antara masyarakat Jerman Barat dan Jerman Timur terutama adalah tugas berat yang harus segera diselesaikan dengan adil dan tanpa huru hara. Lalu, dana yang luarbiasa tinggi dibutuhkan untuk sesegera mungkin memperbaiki infrastruktur Jerman Timur yang ketinggalan zaman.

Saya yang mengalami masa-masa itu, dapat merasakan suasana senang tapi diiringi sedikit khawatir dan keinginantahu masyarakat Jerman di Barat. Media selalu menayangkan bagaimana eufori masyarakat Jerman Timur ketika berbelanja di Jerman Barat, bagaimana mobil Trabi mobil khas Jerman Timur menjadi bahan tertawa masyarakat Jerman Barat, setiap hari selalu ada berita dan gosip terdengar mengenai itu. Setahun pertama bersatunya kembali Jerman Barat dan Timur menjadi satu tahun geliat perkenalan kembali yang penuh hati-hati tapi untungnya tanpa insiden yang berarti dan menurut pandangan saya, cukup berhasil.

Lalu dari mana pemerintah Jerman menggalang dana untuk pembangunan di Jerman Timur?? Salah satu programnya dikenal dengan nama Solidaritätszuschlag atau biaya solidaritas. Walaupun awalnya menunjukkan ketidakpuasan di sana sini, namun biaya solidaritas yang merupakan urunan masyarakat se Jerman sekarang sebesar 5,5% dari pajak pendapatan, dilakukan sejak tahun 1991 untuk menutupi biaya penyatuan Jerman Barat dan Timur. Biaya ini selain untuk memperbaiki infrastruktur tentu saja juga untuk bantuan bagi industri-industri yang mau membuka lapangan kerja.

Kenapa menurut saya berhasil ?? Saya ambil contoh kota Leipzig, salah satu kota di negara bagian Sachsen, mantan DDR, dari hasil sebuah studi baru-baru ini, telah berhasil masuk menjadi salah satu dari 10 kota besar terbaik di Jerman, selain Munich, Stuttgart, Ingolstadt, Regensburg kota-kota besar di Selatan, yang memang sudah kaya karena industri dari sejak dulu kala. Apa sebab ?? Industri besar seperti BMW, Porsche dan DHL mau investasi di Leipzig sehingga lapangan kerja serta kesejahteraan masyarakat dan kota menjadi terjamin.

Eratnya sejarah kemapanan kota dan industri ini di banyak bisa ditelusuri di kota-kota yang berhasil di Jerman. Tidak ada industri bila tidak ada listrik. Produksi listrik Jerman kurang lebih 3 kali produksi listrik Indonesia, padahal jumlah penduduknya hanya 1/3 dari jumlah penduduk Indonesia, namun produktifitas negaranya memang tidak diragukan. Bila di Indonesia tahun 2012 konsumsi listrik terbesar di sektor rumah tangga sebesar 41,5% , di Jerman tertinggi 41% dipegang oleh sektor industri.

Jadi, korelasi rasio elektrifikasi sangat erat hubungannya dengan produktifitas industri, yang kemudian akan mengurangi migrasi manusia artinya mengurangi kemacetan kota-kota terutama di Jawa. Apalagi kalau saya pikir lagi, 40 triliun biaya PEMILU 2014 bisa membangun kurang lebih 4000 MW PLTU, rasanya keterlaluan bila PEMILU 2014 dalam 5 tahun tidak bisa balik modal dengan memberikan listrik yang cukup untuk rakyat. (ACJP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun