Aku menghela nafas dalam-dalam lalu menghembusnya sekeras mungkin. Namun, di sisi lain aku tulus menerima keadaanku saat ini. Dibenakku, aku hanya memikirkan beban ibuku yang membuatku masa bodoh oleh nilai-nilaiku itu.Â
Setelah satu minggu di kota, akhirnya Pak Soleha bersama istrinya pulang ke rumah. Aku menyambut kepulangan mereka dengan sangat senang. Tentu saja karena mereka sangat baik kepadaku. Aku langsung memeluk anak bungsunya Ibu Iska itu, karena aku sangat akrab dengannya. Ibu Iska mengeluarkan sebuah bingkisan lalu memanggilku.
"La, sini! " sambil tersenyum kepadaku.
Aku langsung menghampirinya sambil duduk di sampingnya. "Ini, ada ole-ole, ibu bawah untuk kamu, semoga kamu suka yah," katanya lagi padaku. "Ya ampun bu, terima kasih banyak, pasti aku suka bu." Aku langsung bergegas ke kamar lalu membukanya. Sebuah baju berwarna merah muda dengan manik-manik di depannya, ah sungguh indah. Aku sangat bersyukur dan pastinya aku semakin semangat untuk berkerja.
Keesokan harinya, ibu Iska memanggilku. "La, nanti sore ajak teman-teman kelasmu untuk membantu ibu mengambil kayu bakar di kebun yah."
Aku mengerti maksud Ibu Iska karena kayu bakar itu untuk membuat gorengan. Hal itulah yang membuatku kelelahan karena harus menggoreng menggunakan kayu api. "Iya bu, nanti saya sampaikan," jawabku sambil tersenyum. Karena hari ini hari Sabtu maka kami semua diwajibkan datang pagi ke sekolah karena banyak ekstrakurikuler yang dilakukan di sekolah.
Pulang sekolah, kami semua berkumpul untuk mengambil kayu bakar di kebun Ibu Iska. Sekembalinya dari kebunnya, aku menyiapkan makan untuk teman-teman sekelasku.Â
Sungguh hari yang sangat sial bagiku. Aku membuat kuah tahu dengan takaran air yang banyak hingga memenuhi wajan. Setelah menyiapkan nasi aku berniat mengangkat wajan itu. Tanpa aku sadari, "ah,...........!" teriakku dengan suara keras hingga membuat semua temanku berbalik menengokku. Kuah tahu yang sangat panas itu tumpah di punggung kakiku. Rasanya sangat panas, pedis dan sangat sakit tentunya.
Namun, karena aku ingin terlihat baik-baik saja, aku pun langsung mengambil pepsodent dan mengoleskan pada punggung kakiku yang sangat sakit itu. Setelah itu kakiku membengkak dan sangat perih rasanya jika mengenai sinar matahari.Â
Aku sangat kesulitan berjalan sejak itu. Aku merasa sangat sedih. Meski demikian, aku harus mengerjakan pekerjaanku walau dalam keadaan sakit. Rasanya aku ingin menyerah. Aku menangis di sudut kamar di malam hari. Aku terus bertanya dalam hati, kenapa aku harus lahir ke dunia ini jika endingnya harus seperti ini? Kenapa aku harus menyiksa diriku sampai sebegini jadinya? Dalam tangisanku, aku terus memeluk dadaku yang kini semakin sesak membayangkan nasibku yang begitu malang. Namun, setelah kupikir semua yang telah kulewati begitu berat aku tidak ingin berhenti karena hal ini.
Ibu sempat melarangku untuk tidak bekerja lagi. Ia sangat sedih dengan nasibku saat ini. Dengan pengeluaran biaya yang terus bertambah karena kakakku yang terus naik semester dan adikku yang telah naik kelas dan akan tamat, aku pun kembali bangkit.Â
Setelah beberapa minggu kemudian, akhirnya kakiku membaik. Aku pun kembali bekerja lebih giat lagi. Aku yakin, di balik semua ini, doa ibuku menyertaiku.