Penerimaan rapor pada tanggal 24 Juni 2023 menjadi penanda berakhirnya tahun pelajaran 2022-2023 di SLB A Karya Murni Medan. Dalam rangkaian peristiwa setahun itu, tentu ada pencapaian pencapaian yang pantas disyukuri baik itu bidang akdemik maupun non akademik. Ada juga catatan evaluasi yang harus diperbaiki dan ditingkatkan di masa datang.
Namun kurang lengkap rasanya, suka duka setahun ajaran tidak diisi dengan sebuah momen kebersamaan yang lebih special. Kerinduan akan momen special kebersamaan kali ini kami putuskan dengan berkarya wisata ke luar kota Medan.Â
Sambil kami juga memperkenalkan SLB A Karya Murni kepada masyarakat khusunya umat katolik di paroki Saribudolok, sekaligus menjaring kaum disabilitas netra yang mungkin belum mendapatkan hak pendidikan. Kami meluangkan waktu dua hari 17-18 Juni untuk kegiatan ini.
Sabtu 17 Juni kurang lebih pukul 07.00 kami meninggalkan kota Medan menggunakan satu bus pariwisata. Rona bahagia mengembang wajah kami semua.Â
Music bus pariwisata yang biasa menemani penumpang digantikan canda tawa di antara kami. Tak ada sekat guru dan murid, semuanya melebur dalam berbagai ekspresi gembira.Â
Talenta dadakan pun bermunculan, menjadi pelawak, penyanyi, macamlah aksi yang bikin tertawa seisi bus. Cuaca cerah dan jalanan yang relative lancara menemani perjalanan kami. Ada tiga objek yang kami kunjungi dalam 2 hari perjalanan kami.
Mengunjungi museum Jamin Ginting yang ikonik
Bagi warga kota Medan dan sekitarnya, Jamin Ginting bukanlah nama asing. Jamin Ginting adalah nama jalan yang membentang dari pusat kota Medan sampai Berastagi.Â
Panjangnya lebih kurang 60 km. Untuk jalanan kota Medan, jalan Jamin Ginting adalah yang terpanjang. Kebanyakan orang mengenal Jamin Ginting sebagai nama jalan, ada juga yang mengenalnya sebagai pahlawan dari Sumatera Utara.Â
Tetapi sosok Jamin Ginting, kiprah dan karyanya sehingga diangkat menjadi pahlawan nasional tidak banyak yang tahu. Termasuk kami semua tidak ada yang mengenal sosoknya.
Mengunjungi museum Jamin Ginting menjawab pertanyaan kami dan bagi siapa saja yang ingin mengenal  tentang siapa itu Jamin Ginting. Museum Jamin Ginting berada di wilayah Kabupaten Kabanjahe, tepatnya di kecamatan Tiga Panah, desa Suka.Â
Jika ingin mengunjungi museum Jamin Ginting harus menggunakan kendaraan pribadi atau sewaan karena letaknya agak jauh dari jalan lintasan kendaraan umum. Lebih kurang 7 km jika diukur dari jalan lintasan Kabanjahe -- Sidikalang.Â
Kami tiba di musem Jamin Ginting lebih kurang pukul 10.30. Kedatangan kami disambut hangat dan penuh akrab oleh pihak pengelola museum. Berada di tengah hamparan lahan pertanian, udara sejuk serta arsitektur bangunan yang unik menjadi kenangan indah bagi setiap pengunjung.
Kelelahan kami setelah menempuh 3,5 jam perjalanan dari Medan terbayar dengan kemegahan museum serta koleksi barang-barang unik. Kebersihan, keindahan dan kenyaman sangat diperhatikan oleh pihak pengelola. Â
Bangunan museum terdiri dari dua lantai. Lantai satu menampilkan alat-alat pertanian dan memasak masyarakat suku Karo jaman dulu. Sedangkan lantai dua menyajikan napak tilas karir bapak Jamin Ginting semasa hidup dan beberapa peninggalan barang pribadinya. Ada seragam militer, tas, buku, foto kenangan semasa hidup.Â
Jamin Ginting memiliki banyak jasanya bagi bangsa dan negeri ini. Dia terlibat dalam beberapa pertempuran melawan penjajahan Belanda. Dia juga terlibat dalam berbagai misi diplomatik  memperjuangkan kemerdekaan. Nilai-nilai perjuangan bapak Jamin Ginting menjadi kado tak ternilai bagi kami dari kunjungan ini.
Perjalanan mendebarkan menuju Haranggaol
Setelah dari museum Jamin Ginting, kami meneruskan perjalan menuju Haranggaol. Di daerah yang terkenal dengan salah satu  penghasil ikan nila danau toba terbesar, kami berencana untuk menikmati keindahan alam danau toba.Â
Namun sesi perjalanan kami ini sedikit dihantui perasaan cemas dan hati yang berdebar-debar. Kami semua tidak menyangka jika bus yang kami gunakan ukuran terlalu panjang untuk menyusuri jalanan menuju Haranggaol yang sempit dan berkelok-kelok.
Idealnya, tipe bus yang mesti digunakan adalah yang berisi 40 penumpang. Sementara bus kami ukuran tipe 45 penumpang. Di beberapa tikungan perjalanan bus mengalami kendala yang bisa saja mengancam keselamatan kami.Â
Beberapa kali pak sopir menghela napas panjang saat bus menemui kendala. Terkadang  pak supir tak bisa menyembunyikan wajah cemas. Jalan sempit, turunan dan ada jurang di sisi kanan, membuat pak supir harus ekstra hati-hati mengemudikan bus. Kami terdiam seraya berdoa di hati masing-masing. Puji Tuhan kami tiba di pantai Haranggaol dengan selamat.
 Hari itu cuaca sekitar danau kurang bersahabat. Air danau nampak lagi bergejolak. Ombak dan angin lumayan kencang membatalkan rencana kami untuk mandi-mandi di danau toba. Walau tidak mandi tidak mengurangi kegembiraan kami. Dari pelataran hotel Agape, kami menikmati deburan ombak yang berkejaran.
Pemilik hotel Agape adalah keluarga bapak Nainggolan dan ibu boru Sihaloho yang juga merupakan tokoh katolik di Gereja stasi Haranggaol. Walau memiliki hotel dengan fasilitas setara hotel berbintang, sang pemiliknya tetap rendah hati dan dermawan.
Kehadiran kami disambut dengan penuh keramahan. Fasilitas hotel yang kami gunakan diberikan gratis buat kami. Kegiatan juga diisi dengan acara perpisahan untuk kelas IX dan VI. Terkhusus buat kelas IX, ini merupakan momen terakhir bersama teman-temannya serta bapak ibu guru. Menambah semarak dan kenangan dalam kebersamaan kami di pinggiran danau toba. Pukul 17.00 kami meninggalkan Haranggaol menuju Saribudolok.
Kenangan bersama umat paroki Saribudolok
Sesi terakhir dari rangkaian perjalanan kami adalah berjumpa dengan para pastor, suster dan umat paroki Saribudolok. Di aula paroki Saribudolok kami bermalam. Keramahan demi keramahan selalu mewarnai perjalanan kami.Â
Dari gerbang gereja, para pastor sudah siaga menyambut kedatangan kami. Sesekali pastor turut menyeberangkan para sisiwa SLB A Karya Murni.Â
Kekuatiran kami akan merasa kedinginan saat tidur malam di aula paroki sudah diantispasi oleh para pastor. Selimut-selimut tebal tersedia membuat kami semua dapat terlelap tidur sampai pagi.
Di hari Minggu kegiatan kami adalah misa bersama umat dan ambil bagian sebagai petugas liturgy. Sebagai lector, pemazmur, pembawa doa umat dan paduan suara.Â
Kami ingin memperkenalkan kepada dunia, bahwa penyandang tunanetra memiliki berbagai kemampuan, serta mampu hidup mandiri seperti orang pada umumnya.Â
Berdecak kagum dan riuhnya tepuk tangan menjadi bukti kekaguman umat akan kemampuan yang dimiliki para siswa disabilitas netra, orang-orang yang kerapkali kurang mendapat perlakuan yang layak di tengah masyarakat. Tak sedikit umat yang mendonasikan uang sebagai ungkapan terima kasih dan bangga.
Selain di dalam perayaan ekaristi, para siswa juga menampilkan bakat dan kemampuan mereka di depan gereja. Bak gula dan semut, keluar dari gereja umat berbondong-bondong menyaksikan hingga meluber ke pinggir jalan raya.Â
Indikatornya jelas, donasi uang yang terkumpul terbilang besar untuk ukuran pendapatan masyarakat setempat. Bukan besarnya nilai uang sebagai pengukur, tetapi luapan kegembiran umat atas kehadiran kami menjadi ungkapan syukur bagi kami bahwa betapa besarnya karya Tuhan. Tuhan selalu menemani setiap karya kami, baik sebagai siswa mapun pendidik.
Setelah makan siang, kira-kira pukul 14.00 kami kembali ke Medan. Perjalanan kami berjalan lancar sesuai rencana dan harapan kami. Ada saja kebaikan Tuhan yang kami terima lewat orang-orang yang berbaik hati.Â
Pantaslah kami mengucapkan terima kasih berlimpah buat siapa saja yang terlibat dalam rangkaian perjalanan kami kali ini. Kiranya Tuhan membalas dengan berlipat ganda berkat-Nya.
Penulis : Kristogonus Lagho, S.Ag
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H