Netizen atau warganet adalah sebutan untuk para pengguna internet. Sebutan ini marak digunakan karena internet atau dunia maya adalah dunia yang berbeda dari dunia nyata. Internet seperti dunia (sisi) lain dan memiliki rakyat yang disebut warganet, membuatnya sah menjadi sebuah dunia tersendiri.
Indonesia sebagai negara demokrasi, tentu menjadikan rakyatnya bebas berkomentar dan menanggapi hal-hal yang ada di internet, tidak terkecuali hal-hal yang di luar jangkauannya (luar negeri, lain bidang, dan di luar kemampuan/nalarnya).
Sebagai negara yang mengedepankan hak asasi manusia, tentu berpendapat adalah hal yang terasa nikmat di negeri Indonesia ini. Pro kontra dapat digulirkan, hingga ke hal-hal yang tidak masuk akal, hingga hoax sekalipun.
Warganet seringkali berkomentar terhadap suatu isu atau gosip yang sedang terjadi di tengah masyarakat, kemudian memviralkan yang dianggapnya menarik. Hal tersebut beriringan dengan isu-isu hangat dan tokoh yang mengangkatnya.
Sebut saja saat ini di masa-masa menjelang akhir tahun 2023, isu paling hangat bahkan panas adalah pemilu 2024. Pemilu 2024 menjadi topik paling digemari dan ditunggu-tunggu rakyat Indonesia, baik secara langsung (dunia nyata) maupun dunia maya. Sehingga isu politik ini paling mudah terangkat dan digoreng.
Salah satu contoh saat ini, yaitu mengenai kekurangan-kekurangan bakal calon Presiden yang masing-masing mulai muncul ke permukaan. Dimulai dari isu bacapres Anies dan Ganjar, yang isunya adalah minim prestasi di kancah kepemimpinannya di tingkat Provinsi. Kemudian bacapres Prabowo yang terlibat isu HAM di masa lalu. Hal itu terus diungkap dan diangkat.
Tetapi bukan hal itu yang perlu menjadi sorotan utama. Ada hal yang lebih parah dari sekadar kebebasan berpendapat para warganet yang budiman. Hal ini dibuktikan pada video-video viral, yang kerap muncul di media sosial mainstream seperti Tiktok, Instagram, dan Facebook.
Sebuah video kejadian viral yang dilakoni oleh atlet binaraga, Laurend Lee Hutagalung. Kegeramannya kepada para pelanggar lalu lintas, mewakili keresahan seluruh pengguna jalan yang tertib. Hal paling sering terjadi yang hingga saat ini tidak mampu diatasi oleh aparat penegak hukum adalah lawan arah/lawan arus. Hal ini umumnya dilakukan oleh pengemudi roda dua. Rupanya penindakan yang dilakukan Laurend tersebut masih mengundang pro dan kontra oleh warganet.
Ungkapan pro tidak perlu dipertanyakan, karena sejalan dengan tujuan Laurend dan sejalan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, ungkapan kontra menjadi sorotan yang sangat sangat menggelitik. Seperti mencemooh tindakan Laurend yang dinilai merugikan para pengguna jalan, menyebabkan kemacetan, merasa paling benar, sebuah konten yang dianggap pencitraan, hingga berujung pada pengepungan oleh para warga beserta pelanggar lalu lintas.
Rupanya tindakan Laurend yang meminta maaf atas perbuatannya membuat para warganet kontra menyerang akun Instagram dan kanal youtube Laurend. Namun tidak lama setelah kejadian itu, Laurend mengklarifikasi bahwa permintaan maaf hanya untuk meredam keributan di tempat kejadian. Kemudian, provokator keributan berhasil diamankan oleh aparat kepolisian.
Kejadian serupa juga menimpa atlet MMA, Rudy Golden Boy. Rudy setidaknya 2 kali viral karena tindakannya melawan tingkah laku yang tidak terpuji. Yang pertama, aksinya menegur pengemudi mobil yang 'ugal-ugalan' hampir mencelakai dirinya sekeluarga. Pada akhirnya harus berujung dengan aksi 'baku hantam' oleh keduanya.
Aksi kedua adalah ketika Rudy menegur 2 orang, yang menyela antrean tanpa permisi di sebuah minimarket. Aksi tersebut juga berujung pada aksi 'baku hantam'. Nyatanya hal tersebut menimbulkan reaksi pro dan kontra di kalangan warganet.
Menyoroti komentar kontra aksi Rudy, mereka (warganet kontra) juga menanggapi hal yang sama seperti kepada Laurend Hutagalung. Mereka merasa yang boleh bertindak, hanya orang yang benar atau aparat, menggeneralisir setiap orang pasti punya salah, sehingga tidak perlu menegur, urus hidup masing-masing saja.
Kemudian juga marak ditemukan akun-akun palsu. Akun tersebut dibuat sebagai bentuk menyembunyikan identitas asli, agar lebih bebas berpendapat dan berekspresi. Hal ini bertujuan demi keamanan dan keleluasaan si pemilik akun palsu tersebut. Namun hal ini sesungguhbya berbahaya sekali. Sering kali akun palsu ini menjadi provokator memicu keributan melalui kolom komentar. Kata kasar dan hinaan terlontarkan oleh akun-akun tersebut, hal ini dibaca secara bebas bagi warganet semua usia.
Contoh saja pada konten-konten yang sering muncul di beranda, dengan tujuan meminta pertolongan dan belas kasihan warganet agar viral, dengan menunjukkan keburukan atau ketidakadilan suatu kejadian, dan lain-lain. Akun palsu ini dengan lantang menghujat pembuat konten dengan kata "urusin hidup orang aja lu?" "Hidup lu udah paling bener?" "Yaelah gitu doang sok mau viral," dan masih banyak lagi komentar-komentar provokatif semacamnya.
Kemudian, hal serupa juga menimpa kanal Dash Cam Owner Indonesia di Youtube. Kanal yang berisi kumpulan rekaman kejadian-kejadian lalu lintas alami, yang terjadi di sekitar. Rupanya banyak warganet yang minim pengetahuan namun berani berkomentar, bahkan sampai memaksakan argumennya yang jelas salah, harus menjadi benar. Tidak sedikit kata-kata kasar hingga lontaran menantang warganet lain yang berkomentar kontra terhadapnya. Tidak berhenti sampai di situ, akun asli ataupun palsu yang tersulut emosinya tersebut berani mengatur lokasi dan waktu, untuk bertemu 'adu jotos' layaknya preman atau bahkan centeng.
Kumpulan video-video pelanggar lalu lintas di Dash Cam Owner Indonesia tidak hanya berhenti sampai di situ. Banyak juga yang membela mati-matian setiap kesalahan-kesalahan yang sudah terlihat jelas salah. Namun, masih saja banyak warganet yang membela, karena asumsi-asumsi yang terkadang di luar nalar.
Di Tiktok lebih parah lagi rupanya. Media sosial pendatang baru ini sedang digandrungi banyak orang. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Rupanya rentang usia yang terpaut jauh ini menciptakan kericuhan di media sosial Tiktok ini. Ditambah dengan akun-akun palsu yang menjadi provokator, dengan berani memaksakan kehendaknya.
Konten-konten di Tiktok lebih bervariasi. Hal ini disebabkan oleh rentang usia yang terpaut jauh, dibarengi dengan kebebasan berekspresi para penggunanya. Sebut saja remaja yang memamerkan aksi ucap kotor, tindakan tidak sopan atau terpuji, aksi tidak senonoh seperti pamer aurat dan adegan dewasa. Anehnya, Tiktok tidak melakukan tindakan terhadap konten tersebut. Tidak sedikit warganet melaporkan konten tersebut, hanya saja admin Tiktok menyebut konten tersebut tidak melanggar pedoman berkomunitas mereka.
Aksi remaja yang merokok, kaum dewasa yang memamerkan tubuh, gaya hidup dunia malam, konten yang mengkampanyekan pergaulan bebas, LGBT, paham-paham sesat yang bertentangan dengan norma-norma, hingga komentar eksplisit dihiraukan oleh Tiktok.
Hal ini tentu kembali kepada warganet. Setiap konten yang mengundang keramaian, menjadi ladang bagi penyedia media sosial panen pamor. Norma-norma tidak lagi diindahkan oleh pembuat konten dan penikmat konten.Â
Saat ini, anak-anak Indonesia semakin teracuni tingkah lakunya. Usia boleh muda, pikiran mereka seperti orang dewasa pada umumnya, namun orang dewasa yang tersesat.
Seperti contoh, anak-anak di usia SMP saja sudah mengenal banteng PDI-P, Soeharto sang Presiden kedua RI dengan kekuasaannya 32 tahun, Petrus dan intel tukang baso, meme Joko Widodo YNTKTS (Ya Ndak Tahu Kok Tanya Saya), kekejian Hitler, kedigdayaan Rusia dengan Presiden Putin, hingga sejarah PKI yang dikatakan sejarah diukir oleh pihak yang menang sehingga PKI bukan lagi unsur yang membahayakan.
Tidak heran, jika survey yang dilakukan Pemkot Depok, menghasilkan tingginya jumlah siswi SMP yang sudah tidak 'gadis' lagi. Aksi tawuran yang terus marak dilakoni anak-anak remaja di tengah-tengah upaya Mendikbud membuat sistem pendidikan zonasi, anak remaja yang berani mencelakai bahkan membunuh orang lain, aksi asusila yang dilakukan terencana dan bersama-sama, hingga tindakan perundungan (bullying) yang sekarang sedang marak hampir di setiap sekolah tidak henti-hentinya.
Hal tersebut mampu menggerus nilai-nilai budaya, agama, dan sosial bangsa Indonesia. Satu persatu dianggap sekadar isapan jempol belaka, tanpa sadar ideologi-ideologi semakin memudar dan berubah. Semua dianggap perlu berubah, dengan alasan perkembangan zaman yang mengharuskan nilai-nilai dasar (agama, sosial, dan budaya) juga harus ikut berkembang. Padahal semua hal tersebut dapat tercipta karena manusia bersifat kompromistik terhadap hal-hal yang dilarang.
Akankah rakyat Indonesia yang juga warganet mampu kembali mengedepankan nilai-nilai Pancasila dimulai dari Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan? Apakah kita semakin memburuk di masa depan? Apakah akhlak saat ini adalah suatu bentuk keterbukaan berdemokrasi, bukan suatu kekhawatiran yang berarti? Apakah ini yang disebut revolusi mental?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H