Konten-konten di Tiktok lebih bervariasi. Hal ini disebabkan oleh rentang usia yang terpaut jauh, dibarengi dengan kebebasan berekspresi para penggunanya. Sebut saja remaja yang memamerkan aksi ucap kotor, tindakan tidak sopan atau terpuji, aksi tidak senonoh seperti pamer aurat dan adegan dewasa. Anehnya, Tiktok tidak melakukan tindakan terhadap konten tersebut. Tidak sedikit warganet melaporkan konten tersebut, hanya saja admin Tiktok menyebut konten tersebut tidak melanggar pedoman berkomunitas mereka.
Aksi remaja yang merokok, kaum dewasa yang memamerkan tubuh, gaya hidup dunia malam, konten yang mengkampanyekan pergaulan bebas, LGBT, paham-paham sesat yang bertentangan dengan norma-norma, hingga komentar eksplisit dihiraukan oleh Tiktok.
Hal ini tentu kembali kepada warganet. Setiap konten yang mengundang keramaian, menjadi ladang bagi penyedia media sosial panen pamor. Norma-norma tidak lagi diindahkan oleh pembuat konten dan penikmat konten.Â
Saat ini, anak-anak Indonesia semakin teracuni tingkah lakunya. Usia boleh muda, pikiran mereka seperti orang dewasa pada umumnya, namun orang dewasa yang tersesat.
Seperti contoh, anak-anak di usia SMP saja sudah mengenal banteng PDI-P, Soeharto sang Presiden kedua RI dengan kekuasaannya 32 tahun, Petrus dan intel tukang baso, meme Joko Widodo YNTKTS (Ya Ndak Tahu Kok Tanya Saya), kekejian Hitler, kedigdayaan Rusia dengan Presiden Putin, hingga sejarah PKI yang dikatakan sejarah diukir oleh pihak yang menang sehingga PKI bukan lagi unsur yang membahayakan.
Tidak heran, jika survey yang dilakukan Pemkot Depok, menghasilkan tingginya jumlah siswi SMP yang sudah tidak 'gadis' lagi. Aksi tawuran yang terus marak dilakoni anak-anak remaja di tengah-tengah upaya Mendikbud membuat sistem pendidikan zonasi, anak remaja yang berani mencelakai bahkan membunuh orang lain, aksi asusila yang dilakukan terencana dan bersama-sama, hingga tindakan perundungan (bullying) yang sekarang sedang marak hampir di setiap sekolah tidak henti-hentinya.
Hal tersebut mampu menggerus nilai-nilai budaya, agama, dan sosial bangsa Indonesia. Satu persatu dianggap sekadar isapan jempol belaka, tanpa sadar ideologi-ideologi semakin memudar dan berubah. Semua dianggap perlu berubah, dengan alasan perkembangan zaman yang mengharuskan nilai-nilai dasar (agama, sosial, dan budaya) juga harus ikut berkembang. Padahal semua hal tersebut dapat tercipta karena manusia bersifat kompromistik terhadap hal-hal yang dilarang.
Akankah rakyat Indonesia yang juga warganet mampu kembali mengedepankan nilai-nilai Pancasila dimulai dari Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan? Apakah kita semakin memburuk di masa depan? Apakah akhlak saat ini adalah suatu bentuk keterbukaan berdemokrasi, bukan suatu kekhawatiran yang berarti? Apakah ini yang disebut revolusi mental?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H