Salah satu contoh yang cukup membuat saya menelan ludah adalah seorang peserta seleksi, tidak memenuhi syarat administrasi, namun mampu lolos.
Ketika itu terjalin komunikasi yang ternyata secara tiba-tiba dilakukan peserta seleksi. Menang lumrah jika mempelajari lawan dalam seleksi, mulai dari nama dan formasi yang diambil. Memang mengherankan, dalam jurusan bahasa Indonesia, namun panitia terkesan kurang paham tentang seleksi administrasi.
Hal pertama, saya hadir membawa ijazah berdasarkan pendidikan dan formasinyang diminta. Dalam pendaftaran daring di Mabes TNI, administrasi saya sesuai. Namun ketika di Kodam Jaya, tepatnya Ajendam Jaya, menganggap bahwa jurusan saya tidak sesuai permintaan. Saya pun harus putus harapan. Namun, saya melihat ada orang lain yang masuk, namun jurusan tidak sesuai.Â
Saya pun beranikan diri datang di keesokan harinya dengan panitia yang berbeda. Ternyata benar saja, saya ditolak lagi. Saya pun bersikeras bahwa jurusan saya diakui dan sesuai dengan permintaan Mabes TNI. Bahkan saya membeberkan bahwa ada yang jurusan Ilmu Tarbiyah, namun masuk formasi bahasa Indonesia. Panitia menghubungi Ketua Panitia, akhirnya saya diloloskan dari syarat administrasi.
Hal kedua, jika diperdebatkan jurusan saya yang notabene adalah pendidikan, mengapa jurusan ilmu tarjamah, fakultas ilmu tarbiyah diperbolehkan? Padahal jelas-helas jurusan tersebut tidak sesuai permintaan Mabes TNI, yakni jurusan bahasa Indonesia. Jika ditilik, jurusan atau program studi Bahasa Indonesia itu bergelar S.Hum., sehingga yang bergelar S.Pd. dan S.S. pun tidak sesuai persyaratan. Di sini saya menganggap panitia seleksi tidak paham dan menguasai perekrutan calon anggotanya.
Hal ketiga, seleksi menggunakan sistem akumulasi. Sehingga jika tidak lulus di satu seleksi, ia tidak mengetahuinya, namun ia terus lanjut hingga tahap seleksi berikutnya. Ia baru menyadari ketidaklolosannya di akhir seleksi. Pengumuman tersebut dibacakan dan diberikan surat hal seleksinya. Hal ini berbeda dengan sleeksi Polri yang hasilnya keluar pada haru itu, sistemnya gugur. Jika gagal, maka tidak akan berlanjut berdasarkan nilai standar minimum.
Hal keempat, keputusan yang hanya diberikan sepucuk surat tidak adil. Hanya nilai kurang saja yang dijelaskan, namun tidak disertakan nama-nama yang lolos beserta nilainya. Masing-masing panda hanya memajang nama yang lolos dan tidak lolos tanpa informasi nilainya.
Hal kelima, sangat miris sekali melihat seorang pejuang bangsa Indonesia, nilai hasil seleksi melebihi batas maksimal, dapat disimpulkan 100, namun harus gugur. Ya, seorang atlet lari maraton putri, Odekta Naibaho harus gugur dalam seleksi Pa-PK TNI. Jurusan yang direbut hanya satu saja seluruh Indonesia. Nilainya cemerlang, bahkan surat keputusan mengatakan "Kuota tidak tercukupi".