Mohon tunggu...
Jojo Simatupang
Jojo Simatupang Mohon Tunggu... Guru - Sarjana Pendidikan | Guru | Penulis

Menjadi manfaat bagi banyak orang dan menjadi lebih baik setiap harinya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Megalomania, Penyakit Menular dari Dunia Maya

9 April 2022   13:54 Diperbarui: 16 April 2022   03:38 1825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi memamerkan sesuatu di media sosial. (sumber: unsplash.com/@joshsrose)

Megalomania adalah sebuah kebutuhan seseorang untuk diakui orang lain, tanpa sadar hal itu membuat dirinya menjadi merasa sangat hebat dan meninggikan dirinya sendiri. 

Tentunya megalomania tidak ada hubungannya dengan Megaloman, sang tokoh fiksi yang berasal dari negeri 'Matahari Terbit'.

Megalomania secara singkat bisa kita artikan orang yang merasa paling hebat dan paling percaya diri karena diakui oleh orang-orang melalui pujian-pujian. 

Namun ingatkah anda dengan 'narsistik'? Narsis sudah banyak orang tahu adalah suatu sifat yang menganggap dirinya adalah yang paling elok, merasa yang terbaik. Lalu apa bedanya dengan megalomania.

Megalomania dan narsistik sama-sama memusatkan pada dirinya sendiri, dirinya berada paling top dari orang-orang lain, bahkan beberapa megalomaniak menganggap lebih dari Tuhan sekali pun. Perlu kamu ketahui bahwa megalomania dan narsistik adalah sama.

Jika anda sering memuji orang atau 'menjilat' atasan anda, sadarkah anda itu justru dapat membuat orang yang dipuji menjadi seorang megalomaniak (sebutan orang megalomania). Sehingga dampaknya orang tersebut merasa takkan terkalahkan oleh siapa pun, ia menjadi manusia tunggal yang hebat.

Hati-hati, bukan berarti orang yang sukses kemudian merasa dirinya paling hebat saja yang dianggap menjadi megalomaniak, namun orang-orang yang belum menjadi apa-apa pun dapat menjadi megalomaniak. Loh kok bisa? 

Ya karena orang tersebut sering kali mengungkapkan pada ceritanya atau hidupnya, bahwa dirinya itu hebat. Ada juga yang merasa di masa lalu ia pernah menggapai sebuah kehebatan yang "dilebih-lebihkan" sangat hebat, sehingga orang yang mendengar dan menyaksikannya memberikan apresiasi atas kisahnya.

Jadi megalomania tidak sekadar dipuji saja menjadi megalomaniak, namun bisa juga terjadi karena sang megalomaniak ketagihan untuk dipuji. Dimana-mana ia selalu menjadi sanjungan dan dianggap orang hebat, orang bijak, orang yang mumpuni dalam satu atau banyak hal. 

Padahal pada kenyataannya sebaliknya, bahkan ia sendiri adalah orang gagal yang melebih-lebihkan dirinya sendiri.Megalomaniak tampak dengan karakter yang tidak bisa melihat kenyataan. 

Pada dasarnya megalomaniak adalah masalah kejiwaan yang berujung pada depresi bahkan demensia. Risiko megalomania sejatinya berawal muncul ketika seseorang memiliki rasa percaya diri yang amat tinggi dan hasrat yang berlebihan untuk menjadi dominan atau sempurna. Berikut tingkatan dalam megalomania:

Tahap pertama.

Megalomaniak merasa selalu ingin dibandingkan dengan orang-orang. Dimulai dari orang yang nasibnya lebih buruk dari dirinya, sehingga ia merasa tersanjung dan terhormat, bisa menjadi orang yang lebih baik dari orang tersebut. 

Tahapan ini masih sebatas ingin diakui, dipuji dengan apa yang ia lakukan atau ia ceritakan.

Tahap kedua.

Megalomaniak tidak segan-segan untuk ingin membandingkan dirinya dengan orang lain yang dipandang hebat. Ia ingin dirinya menjadi dominan, menjadikan dirinya lebih dihormati dan dikagumi oleh orang banyak. 

Tidak segan-segan seorang megalomaniak 'menjelekkan' orang lain yang menjadi 'pesaingnya', baik masa lalu orang tersebut, aib orang tersebut, sampai ke tahap fitnah. Ia tidak mau dirinya dibandingkan lebih rendah dari orang lain, terutama orang-orang yang menjadi buah bibir di kalangannya.

Tahap ketiga.

Dari segi fisik dan mental, seorang megalomaniak semakin serius. Depresi muncul karena sudah habis akal untuk tampak 'bersinar'. 

Orang tersebut sudah tidak mendapatkan pujian, bahkan sudah dianggap orang 'halu' (halusinasi), dijauhi orang-orang sekitarnya. Pada tahap ini, depresi memuncak sehingga timbul keinginan untuk bunuh diri, demensia pun berkembang.

***

Hati-hati, jika semakin parah, megalomania bisa berkembang menjadi skizofrenia, neurosis atau masalah mental, trauma moral, trauma otak, sampai pada masalah pada sejumlah saraf. Dalam jangka panjang, bisa berdampak serius hingga kerusakan otak.

Megalomania terjadi karena tuntutan yang tinggi dari orang terdekat seperti keluarga, kemudian rasa iri hati akan kesuksesan orang, dan dampak dari perlakuan tidak adil. Maka dari itu, megalomania berkembang dan semakin menjadi karakter seseorang yang faktanya adalah masalah kejiwaan.

Gejala megalomania adalah sebagai berikut:

  1. Penilaian terhadap diri sendiri yang selalu baik bahkan cenderung sempurna.
  2. Aktivitas yang tidak bisa berhenti.
  3. Insomnia.
  4. Agresif.
  5. Apatis dan tidak mau mendengar pendapat orang lain.
  6. Mood yang tidak beraturan atau tidak dapat ditebak.
  7. Hanya berpusat pada dirinya sendiri.

Untuk mengatasinya, tentu dengan lapang dada anda harus belajar tenang baik secara spiritual mau pun batin. Tidak melibatkan diri pada setiap hal yang biasanya anda merasa selalu ingin dilibatkan. 

Berusaha mau mendengar orang lain dan bicara sesuai porsinya saja. Tidak mudah senang ketika mendapat pujian. Tidak berlebihan dalam mengungkapkan sesuatu yang berujung pada kapasitas diri seolah tinggi.

Itulah fakta yang sering kali terjadi akhir-akhir ini. Di dunia nyata lingkupnya kecil namun sangat terasa, namun di dunia maya hal ini menjadi hal yang menular. 

Tidak sedikit kita dapat temui di dunia maya yang membanggakan prestasinya. Mulai dari pengkat, jabatan, hartanya sebagai tanda status dirinya yang tinggi. 

Tidak lupa juga kita baru saja temukan orang-orang pamer harta yang ternyata semu. Masih banyak lagi megalomaniak yang tersorot namun tidak disadari, malah justru tertular dan mengikuti jejak para megalomaniak.

Saat ini, orang-orang berlomba terlihat hebat dan mapan. Memang zaman dulu demikian sama, namun sekarang tujuannya agar dapat pengakuan dan pujian. Kehebatan dijadikan konten agar banjir pujian, tidak sedikit yang ternyata hanya kepalsuan semata. 

Sekejap sirna karena ketahuan dan akhirnya bermasalah hukum, depresi, hingga bunuh diri. Penyakit ini tidak berhenti begitu saja, sekarang semakin menjamur dari dunia maya. 

Tidak heran jika penipuan sangat tinggi, perusahaan pinjaman online berjamur, kredit macet marak, sampai hal-hal konsumtif sangat meningkat tajam padahal sedang masa pandemi.

Hal penting juga untuk ditangani oleh rohaniawan agar mendapatkan ketenangan spiritual. Bisa juga anda ke psikiater agar megalomania tidak berkembang. 

Jangan pernah takut dan khawatir berkonsultasi kepada psikiater, hal ini lumrah dilakukan untuk memeriksa kesehatan kejiwaan anda. Sama saja halnya anda ingin medical check up, tentu diperiksa juga. Jika ada potensi penyakit atau bahkan penyakit, akan diberikan solusi. Mari kita selalu beryukur dan tetap tenang dalam segala hal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun