Lolos dari pohon, namun ada lagi 2 motor datang dari arah belakang, mereka mengejar Haposan. Dengan panik Haposan izin, "Kalau mobil ini rusak gak apa-apa kan?" "Iya tidak apa-apa, ini kan darurat", jawab ketua Survey tersebut. Akhirnya dengan tanpa tedeng aling-aling Hapsoan menyerempet 2 motor hingga masuk jurang dan terjatuh hingga terasa mobilnya melindas sesuatu.Â
Selanjutnya ada 2 motor lagi yang mengejar Haposan dan teman-teman, mereka ini orang yang bertemu di jebakan pohon sebelumnya. Yang berboncengan tersebut teriak-teriak dan mengacungkan pedang ke arah Haposan. Haposan mengendarai mobil dengan zig-zag dengan maksud menakut-nakuti dan menghalangi 'bajing loncat tersebut'. Diputar-putar pedang tersebut hingga mengenai pintu belakang mobil, Haposan sontak mengerem mendadak hingga mobil ringsek, komplotan pun terjatuh tak berdaya, kaca belakang retak. Perjalanan pun dirasa sudah aman dan Haposan tancap gas hingga menemukan kantor polisi terdekat.
Sampai di kantor Polisi, teman-teman Haposan yang trauma berusaha menenangkan diri, sedangkan Haposan melapor ke polisi dan dimintai keterangan oleh pihak kepolisian hingga hampir 2 jam lamanya. Mereka akhirnya beristirahat di kantor polisi dan melanjutkan perjalanan pada keesokan paginya.
Cerita Haposan tampaknya membuat kagum bosnya, sehingga 3 bulan sejak kejadian tersebut Haposan dimintai kembali untuk menuju Sumatera Utara. Tapi tidak seperti yang lalu, kini dia bukan lagi sebagai sopir dalam sebuah bank swasta, namun sopir 'cabutan' (baca: harian). Waktu itu tepat di waktu menjelang Natal, ia diminta pamannya yang seorang perwira Polri untuk menjadi sopir Jakarta-Siborongborong. Mereka hanya berdua saja berangkat, karena memang domisili asli pamannya adalah Siborongborong, sedangkan beliau tidak membawa keluarga ke Jakarta saat dinas.
Sebelum kejadian, paman Haposan sudah diberi tahu akan pengalamannya. Paman Haposan menganggap remeh namun tetap standby berjaga-jaga. Diberitahukan bahwa di belakang mobil, tepatnya di safety box terdapat senjata api (pistol) yang sudah berisikan peluru dan dikokang. Sehingga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang mengancam keselamatan, senpi tersebut dapat digunakan sebagai perlindungan.
Haposan tidak ada pengalaman menggunakan senpi, dalam kondisi panik dia sigap memegang senpi tersebut. Ketika itu dia turun dari mobil dan memang sebuah golok atau celurit sudah dilayangkan ke arah paman Haposan. Paman Haposan berhasil menghindari dan tidak melakukan perlawanan, Haposan teriak agar lari dan Haposan menembakkan senpi tepat mengenai dahi 'begal' tersebut.Â
Dua orang lainnya tidak jera, mereka berusaha menyerang Haposan dan pamannya, tetapi Hapsoan memilih tancap gas dan kabur sejauh-jauhnya. Tampaknya memang dua orang begal lainnya tidak melakukan pengejaran terhadap dirinya. Namun Haposan mengalami shock karena ia baru saja membunuh seorang begal, tangannya gemetar dan keringat dingin.Â
Melihat keadaan seeprti itu, pamannya meminta untuk gantian mengemudi, hingga akhirnya mereka menepi di sebuah kedai makan. Disana paman Haposan memuji Haposan, karena ketepatan dan kesigapannya, Haposan bisa melindungi pamannya dari upaya pembunuhan. Andai saja Haposan meleset, tentu nyawa pamannya tidak tertolong, mobil beserta isinya dirampas, bahkan nyawa Haposan bisa jadi sasaran selanjutnya.
Sebagai anggota Polri yang bertanggung jawab, paman Haposan melapor ke Polsubsektor terdekat, dengan banyak hal yang diperbincangkan, termasuk pengakuan paman Haposan yang mengatakan bahwa dirinya yang melakukan penembakan, bukan Haposan yang melakukan. Mengingat bahwa masyarakat sipil tidak diperkenankan memiliki dan/atau menggunakan senpi, termasuk anggota Polri mau pun TNI sekali pun kecuali memiliki izin dan/atau surat perintah.
Cukup meresahkan memang, sudah menjadi pilihan bagi orang-orang Sumatera yang menggunakan kendaraan untuk pulang kampung atau melintas, memilih jam-jam yang tepat untuk jalan. Untuk di pulau Jawa juga sebenarnya terjadi, namun saya tidak pernah mendengar langsung dari orang-orang yang pernah mengalaminya.