Siapa yang tidak tahu 'Bajing Loncat'? Bajing Loncat dikenal sangat mengerikan, karena selalu saja meminta uang secara paksa (baca: palak). Mereka adalah preman-preman yang bertampang sangar, tidak sekadar sangar, tetapi mereka juga nekat.Â
Kejadian paling sering adalah Jalinsum (Jalur Lintas Sumatera), sepanjang jalinsum pada malam hari akan sangat sepi, tidak banyak kendaraan lalu lalang di jalan tersebut, jika ada pun mereka akan beriring-iringan dengan maksud agar saling menjaga. Tapi namanya juga preman, di persimpangan sopir truk diberhentikan secara paksa, dan bajing loncat pun memeras supir untuk membayar.Â
Memalak satu kendaraan, bajing loncat bervariasi tergantung kondisi dan kesediaan si sopir, kalau ada Rp 10.000 ya bisa, kalau ada Rp 50.000 juga digasaknya. Tetapi sangat jarang yang mau Rp 10.000, supir bisa diancam dengan sajam atau bahkan diminta buka dompetnya.
Tidak sekadar palak, bajing loncat juga melakukan aksi pencurian terhadap kendaraan-kendaraan yang melintas di jalan lintas Sumatera. Bayangkan saja, sebuah truk bermuatan beras yang sedang berjalan bisa dicuri mereka sampai sopir tidak mengetahuinya. Ada pun sopir mengetahui, mereka hanya bisa pasrah karena kerap kali bajing loncat justru menodongkan pedang, pisau, celurit, hingga senjata api. Perlu diketahui juga, mereka itu berkelompok, jadi tidak hanya 1 atau 2 orang saja.
Bajing loncat ini sudah terkenal sejak puluhan tahun lamanya. Dilansir dari Boombastis.com, seorang kakek berusia 56 tahun dibekuk kepolisian lantaran sedang beraksi menjadi bajing loncat. Ia mengaku sudah menjadi bajing loncat sejak berusia 32 tahun. Tidak terbayang kan, seseorang berpuluh-puluh tahun rela berprofesi seperti kakek tersebut. Entah karena nyaman menjadi bajing loncat atau sulitnya mencari pekerjaan.
Kejadian ini tidak hanya di Jalinsum saja, tetapi terjadi juga di jalur Pantura (Pantai Utara) pulau Jawa. Seakan tidak ada habis-habisnya, pihak Kepolisian dan warga sekitar jalur tersebut sudah sangat resah dan gerah akan aksi-aksi bajing loncat tersebut.
Pengalaman yang dialami seorang supir sebuah bank swasta di Jakarta, sebut saja Haposan. Pada 2014 lalu Haposan bertugas mengantarkan tim Surveyor sebuah bank Swasta ke daerah Riau. Perjalanan melalui lintas Timur Sumatera, berangkat dari Jakarta dan berlanjut hingga Banten, Lampung, Palembang, dan berakhir di Riau. Namun perjalanan yang berisikan 4 orang tersebut tidaklah semulus perjalanan bis ALS (Angkutan Lintas Sumatera).Â
Setiba di Muara Enim, kira-kira jam menunjukkan pukul 01:00 dini hari, mobil yang digunakan Haposan menemukan sebuah pohon yang ditaruh melintang di jalanan. Jalanan sepi, tidak ada mobil yang lewat, tetapi ada beberapa kali motor lewat dan bisa melewati pohon tersebut melalui sisi pinggirnya. Namun sangat sulit untuk mobil, karena sisi pinggir jalanan adalah bahu jalan yang berbatasan langsung terhadap jurang.
Pagi itu Haposan memang berencana akan mencari penginapan, namun belum ditemukannya sehingga terus berjalan dengan harapan menemukan penginapan diperjalanan. Di tengah perjalanan menemukan pohon, Haposan dengan seorang temannya turun mencoba menggeser pohon tersebut, ternyata tidak bisa di geser sedikit pun. Pohon tersebut sangat besar dan berat, apa lagi Haposan hanya dengan seorang temannya, 2 lainnya adalah wanita sehingga diam di dalam mobil.
Tiba 10 menit mencoba menggeser batang pohon tersebut, Haposan dan temannya dihampiri seorang pemotor dengan Yamaha RX-King, dia mengajak bicara bertanya tujuan dan dengan siapa saja pergi, ia mengatakan bahwa ini tidak beres ada pohon di tengah jalan. Tidak lama juga ada motor dari lawan arah datang dengan 2 orang, yang 1 mencurigakan karena terlihat tonjolan seperti punuk di punggungnya.Â
Merasa aneh dan curiga, Haposan menebak bahwa pedang yang ada dibalik jaket orang tersebut. Sontak Haposan mengajak temannya masuk ke mobil, "duh, terima kasih ya bang, kami lanjut putar arah saja deh bang." Ketika menuju mobil, Haposan dan temannya mendengar derap kaki cepat mengejar mereka, Haposan lari dan benar saja, orang tersebut memegang tonjolan tersebut. Tiba dalam mobil semua, Haposan kabur dengan cepat memaksa mobil jalan di pinggir bahu jalan dengan harapan tidak masuk jurang. Benar saja, Haposan dengan teman-teman lolos dari jebakan pertama.
Lolos dari pohon, namun ada lagi 2 motor datang dari arah belakang, mereka mengejar Haposan. Dengan panik Haposan izin, "Kalau mobil ini rusak gak apa-apa kan?" "Iya tidak apa-apa, ini kan darurat", jawab ketua Survey tersebut. Akhirnya dengan tanpa tedeng aling-aling Hapsoan menyerempet 2 motor hingga masuk jurang dan terjatuh hingga terasa mobilnya melindas sesuatu.Â
Selanjutnya ada 2 motor lagi yang mengejar Haposan dan teman-teman, mereka ini orang yang bertemu di jebakan pohon sebelumnya. Yang berboncengan tersebut teriak-teriak dan mengacungkan pedang ke arah Haposan. Haposan mengendarai mobil dengan zig-zag dengan maksud menakut-nakuti dan menghalangi 'bajing loncat tersebut'. Diputar-putar pedang tersebut hingga mengenai pintu belakang mobil, Haposan sontak mengerem mendadak hingga mobil ringsek, komplotan pun terjatuh tak berdaya, kaca belakang retak. Perjalanan pun dirasa sudah aman dan Haposan tancap gas hingga menemukan kantor polisi terdekat.
Sampai di kantor Polisi, teman-teman Haposan yang trauma berusaha menenangkan diri, sedangkan Haposan melapor ke polisi dan dimintai keterangan oleh pihak kepolisian hingga hampir 2 jam lamanya. Mereka akhirnya beristirahat di kantor polisi dan melanjutkan perjalanan pada keesokan paginya.
Cerita Haposan tampaknya membuat kagum bosnya, sehingga 3 bulan sejak kejadian tersebut Haposan dimintai kembali untuk menuju Sumatera Utara. Tapi tidak seperti yang lalu, kini dia bukan lagi sebagai sopir dalam sebuah bank swasta, namun sopir 'cabutan' (baca: harian). Waktu itu tepat di waktu menjelang Natal, ia diminta pamannya yang seorang perwira Polri untuk menjadi sopir Jakarta-Siborongborong. Mereka hanya berdua saja berangkat, karena memang domisili asli pamannya adalah Siborongborong, sedangkan beliau tidak membawa keluarga ke Jakarta saat dinas.
Sebelum kejadian, paman Haposan sudah diberi tahu akan pengalamannya. Paman Haposan menganggap remeh namun tetap standby berjaga-jaga. Diberitahukan bahwa di belakang mobil, tepatnya di safety box terdapat senjata api (pistol) yang sudah berisikan peluru dan dikokang. Sehingga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang mengancam keselamatan, senpi tersebut dapat digunakan sebagai perlindungan.
Haposan tidak ada pengalaman menggunakan senpi, dalam kondisi panik dia sigap memegang senpi tersebut. Ketika itu dia turun dari mobil dan memang sebuah golok atau celurit sudah dilayangkan ke arah paman Haposan. Paman Haposan berhasil menghindari dan tidak melakukan perlawanan, Haposan teriak agar lari dan Haposan menembakkan senpi tepat mengenai dahi 'begal' tersebut.Â
Dua orang lainnya tidak jera, mereka berusaha menyerang Haposan dan pamannya, tetapi Hapsoan memilih tancap gas dan kabur sejauh-jauhnya. Tampaknya memang dua orang begal lainnya tidak melakukan pengejaran terhadap dirinya. Namun Haposan mengalami shock karena ia baru saja membunuh seorang begal, tangannya gemetar dan keringat dingin.Â
Melihat keadaan seeprti itu, pamannya meminta untuk gantian mengemudi, hingga akhirnya mereka menepi di sebuah kedai makan. Disana paman Haposan memuji Haposan, karena ketepatan dan kesigapannya, Haposan bisa melindungi pamannya dari upaya pembunuhan. Andai saja Haposan meleset, tentu nyawa pamannya tidak tertolong, mobil beserta isinya dirampas, bahkan nyawa Haposan bisa jadi sasaran selanjutnya.
Sebagai anggota Polri yang bertanggung jawab, paman Haposan melapor ke Polsubsektor terdekat, dengan banyak hal yang diperbincangkan, termasuk pengakuan paman Haposan yang mengatakan bahwa dirinya yang melakukan penembakan, bukan Haposan yang melakukan. Mengingat bahwa masyarakat sipil tidak diperkenankan memiliki dan/atau menggunakan senpi, termasuk anggota Polri mau pun TNI sekali pun kecuali memiliki izin dan/atau surat perintah.
Cukup meresahkan memang, sudah menjadi pilihan bagi orang-orang Sumatera yang menggunakan kendaraan untuk pulang kampung atau melintas, memilih jam-jam yang tepat untuk jalan. Untuk di pulau Jawa juga sebenarnya terjadi, namun saya tidak pernah mendengar langsung dari orang-orang yang pernah mengalaminya.
Tetap waspada, jangan bersikap berani dan tinggi hati meski pun anda seorang aparat sekali pun, karena situasi dan kondisi kita takkan pernah tahu. Sekali pun anda aparat, di jalanan berpakaian 'preman' anda dipandang sebagai masyarakat sipil. Bahkan kita harus menoleh sedikit kejadian belum lama ini, tukang parkir yang berani melawan aparat TNI yang sedang berpakaian dinas loreng. Tetap mawas diri dan sayangilah diri anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H