3. Kondisi sosial yang ramah dan budaya saling mengingatkan, masih kental di masa lalu. Hal ini menjadi tolak ukur anak yang masih tidak tahu hal benar dan salah. Maka tidak sedikit, dahulu orang tua yang sibuk bekerja namun masih dapat mengontrol anak-anaknya. Aduan-aduan dan laporan-laporan mengenai perilaku anak, sering sampai ke telinga orang tua. Tetangga dan keluarga sering kali ikut campur, membuat anak-anak jera dan enggan melakukan hal-hal yang tidak baik tersebut, karena merasa diawasi atau dipantau.
4. Media yang membentuk anak, menjadikan anak berpikir dirinya layaknya realitas orang dewasa. Uang dan harga diri menjadi daya tarik diri mereka di mata teman-temannya. Padahal dalam usianya yang masih sangat muda, statusnya yang belum bekerja, tidak memerlukan pandangan-pandangan orang lain untuk menjadi kebanggaan.
5. Budaya "malu terlihat miskin" menjangkit kehidupan anak-anak masa kini. Anak-anak sekarang cenderung memamerkan dirinya dan yang dimilikinya, sehingga membuat mereka terbagi pikirannya. Jika dulu hanya memikirkan belajar dan kewajibannya di rumah, sekarang mereka berpikir lebih jauh. Sekolah, keluarga, gaya hidup, pergaulan (termasuk pertemanan), dan popularitas.
6. Motivasi menjadi yang terbaik telah luntur. Jika dahulu persaingan menjadi nomor satu ibarat pertarungan hidup dan mati, kini justru berbalik. Kebanggaan menjadi nomor satu menjadi pudar. Kebanggaan tersebut hanya tersematkan bagi orang tua, namun tidak berdampak bagi anak. Meskipun sering kali diberikan reward dari orang tua, namun anak tidak merasa puas. Mengapa demikian? Anak-anak masa kini kerap mudah mendapatkan hal-hal tanpa harus berusaha/berprestasi. Hal ini menjadikan hidup malas dan ala kadarnya. Maka persepsi "lulus saja alhamdulilah", "naik kelas saja sudah untung", menjadi tren dan pola pikir anak-anak.
7. Menjadi dewasa merupakan kebanggaan. Baik penampilan (termasuk pakaian) dan perilaku dewasa, menjadi kebanggaan bagi anak-anak masa kini. Kekinian menjadi sebuah frasa yang diciptakan akibat tingkah laku tidak wajar anak-anak masa kini. Berpenampilan seksi, rambut yang bermodel baru, gadget yang canggih, perilaku pacaran yang tidak wajar, dan kendaraan pribadi menjadi kebanggaan bagi mereka. Layaknya seorang yang dewasa, mereka merasakan dampaknya. Terlihat dewasa menjadikan mereka terus berbenah diri agar tidak 'ketinggalan zaman'. Tidak sedikit orang tua yang lupa akan hal ini, justru menjerumuskan anak-anak mereka ke dalam dunia dewasa. Anak-anak yang cepat dewasa perlu dikhawatirkan, bukan dibanggakan. Kematangan mental dan rasa keingintahuan mereka membuahkan hal negatif.
Sudah sangat berbeda kondisi masa kini dengan masa lalu. Jangan serta merta menyalahkan guru sebagai pendidik, jika anak tidak mampu menjadi yang diharapkan. Seorang anak masih memandang sekitarnya, meniru dan melakukannya. Mari saling merangkul dan berbenah diri dalam mendidik, generasi muda adalah kita. Mereka adalah kita, kita yang kelak menjadi kebanggan. Jangan biarkan anak-anak kita terpuruk dengan dilema duniawi. Ciptakan keceriaan yang hakiki dengan mereka, biarlah kebahagiaan mereka tak luput karena zaman modern ini.
Menjadi dewasa bukanlah hal yang buruk, tetapi menjadi dewasa di usia dewasa adalah hal wajar. Manusia dewasa bersikap dewasa jelas paham baik dan buruk yang perlu dilakukannya. Bukan dewasa yang dipaksakan, tidak paham dan minim pengalaman menjadikan pola pikir yang minim, serta pemikiran yang sangat pendek.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H