Mohon tunggu...
Jojo Simatupang
Jojo Simatupang Mohon Tunggu... Guru - Sarjana Pendidikan | Guru | Penulis

Menjadi manfaat bagi banyak orang dan menjadi lebih baik setiap harinya.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Hore! Di Kampus Ini Skripsi Bukan Satu-satunya Syarat Wisuda

26 Mei 2016   00:51 Diperbarui: 26 Mei 2016   11:00 1722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Wisuda adalah mimpi bagi setiap mahasiswa, namun tidak akan terjadi tanpa melewati skripsi atau komprehensif. Sumber: harianterbit.com"][/caption]

Skripsi menjadi perihal tugas paling terberat selama menjalankan perkuliahan. Tentunya skripsi merupakan rangkuman dari hasil selama belajar di bangku kuliah, teori-teori dan ilmu pengetahuan yang diemban selama kurang lebih empat tahun di coba kembangkan dan dijadikan riset dalam sebuah tindak nyata. Penemuan-penemuan tersebut menjadi tolak ukur mahasiswa menguasai atau terampil dalam menggunakan ilmu-ilmunya.

Skripsi di rasa sangat sulit, tatkala mencari judul saja sudah menjadi tugas berat bagi sebagian mahasiswa. Judul harus relevan dan tidak pernah digunakan oleh mahasiswa lain sebelumnya. Perubahan-perubahan kecil diperbolehkan dari skripsi yang terbit sebelumnya sebagai bentuk pengembangan terkini. Judul yang ditentukan mahasiswa atau ditentukan dosen merupakan tugas berat, selain harus terdapat subjek dan objeknya, tentu keduanya harus mampu selaras. Jangan sampai sebuah subjek dan objek tidak cocok, bahkan meluas, atau tidak terukur. Hal itu dapat menjadi petaka bagi mahasiswa yang menggarap judul tersebut.

Lanjut dengan masalah-masalah lain, seperti buku referensi yang wajib banyak. Karena sebuah ilmu itu terus berkembang dan tidak hanya satu orang ahli, harus lebih dari satu ahli, itupun baru dari satu buah materi, belum lagi jika dalam satu skripsi ada tiga sampai empat materi. Kalikan saja dengan minimalnya dua sumber, harus tersedia delapan referensi.

Masalah lainnya juga dengan dosen pembimbing yang sering dikeluhkan mahasiswa, sulit ditemui. Mengapa demikian? Jangan salahkan dosen pembimbing karena seorang dosen itu mengemban tri dharma perguruan tinggi, yakni mengabdi masyarakat, meneliti, dan mengajar. Bisa dibayangkan, bukan saja urusan mahasiwa, tapi masih ada urusan-urusan lain yang perlu dikerjakan. Ini jelas demi kebaikan, karena riset dan ilmu harus terus dikembangkan. Setiap harinya akan selalu ada perubahan dan ditemukan masalah-masalah baru. Demi menyelesaikan itu semua, dosen memiliki tugas dan tanggung jawab yang sangat berat.

Skripsi tampaknya menjadi sesuatu yang sakral bagi sebuah Universitas, apa lagi kampus tersebut berstatus Negeri atau kampus top. Jelas saja, semakin sulit dan kritis, semakin berkembang, semakin maju sebuah penelitian ilmiah mahasiswa, maka kampus tersebut di rasa berhasil mencetak mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi, tangkas, dan memiliki nilai jual yang tinggi.

Skripsi merupakan dilema, karena itu banyak masalah yang diciptakan skripsi. Bukan menyalahkan skripsi, tapi sebagian banyak mahasiswa yang tidak mampu merasa berhadapan dengan Tuhan ketika berkaitan dengan skripsi. Dosen pembimbing sendiri menjadi dewa-dewinya, sehingga harus hormat dan mengemis kepada dosen tersebut. Padahal dosen memang sibuk, mungkin jika Tuhan dan dewa adalah manusia, mereka tampak sepeti dosen yang mengurusi ini itu manusia yang terus disampaikan lewat doa. Jawab ini, tunda dulu, bahkan tidak juga dijawab.

Skripsi menjadi mimpi buruk ketika mendengar berita mahasiswa yang tewas bunuh diri karena skripsi, tewas akibat hidupnya terpaut pada skripsi hingga lupa kesehatan, mahasiswa membunuh dosen karena tidak di acc, mahasiswa putus kuliah dan menjadi pengedar narkoba, bahkan ada juga yang menjadi pengonsumsi narkoba. Sungguh ironis jika kuliah dijadikan mimpi buruk hanya karena tuntutan sebuah karya.

Ternyata sudah lama terdengar di kampus ini, bahwa skripsi bukan lagi satu-satunya cara agar menyandang gelar sarjana. Sebuah kampus top negeri yaitu Universitas Indonesia memiliki terobosan yang lain dari yang lain. Selain skripsi ada juga komprehensif dan magang yang menjadi jalur kelulusan non-skripsi. Komprehensif sudah lama tersedia karena menjadi alternatif bagi yang tidak mau melalui jalur skripsi. Namun banyak bagi beberapa kampus selain Universitas Indonesia terdengar bahwa levelnya lebih rendah dari skripsi. Ya secara frontal dikatakan sampah bagi sebagian orang, karena susah-susah kuliah, namun hanya komprehensif. Komprehensif sendiri ternyata memang nyatanya lebih rendah dari skripsi, karena dianggap seperti paket C pada SMA. Secara otomatis kurang diakui dan tidak dapat digunakan untuk meraih gelar lanjutan yaitu pascasarjana atau S2 dan S3. Sedangkan bagi Universitas Indonesia, komprehensif masih dapat diakui dan dikatakan setara dengan skripsi.

Magang merupakan sebuah terobosan yang baru saya dengar, mengingat di kampus saya sendiri yang sama-sama PTN tidak ada jalur tersebut. Mungkin saja Universitas Indonesia bukan satu-satunya kampus yang sudah menerapkan hal itu, namun baru itu saja yang saya ketahui. Setelah saya cari tahu, ternyata magang di rasa lebih dibermanfaat dan setara dengan skripsi. Ibarat S1 dengan D4 yang dianggap setara jenjangnya. Namun jangan senang dulu, jalur magang ini tidak berlaku bagi seluruh jurusan atau fakultas di Universitas Indonesia.

Sistem magang yang digunakan Universitas Indonesia sangat sportif. Mahasiswa akan dituntut praktik di lapangan kerja di sebuah institusi. Memang lebih memakan waktu banyak, namun hasilnya akan sepadan dengan hasil yang diperoleh. Penilaian yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak universitas yaitu dosen pembimbing dan pihak institusi. Penilaian tersebut menjadi tolak ukur kelulusannya. Riset ini dirasa menjawab segala penyataan-pernyataan orang banyak yang berkata kuliah tidak penting, ilmu ketika di kuliah tidak digunakan dalam realita kehidupan kerja, dan bla bla bla. Hal ini jelas mengurangi beban dosen pembimbing, karena dosen cukup mengawasi mahasiswanya dan dibantu oleh institusi yang memperkerjakan mahasiswanya.

Namun, sebuah hasil akhir bukan berarti anda tidak membuat sebuah bentuk kertas. Semuanya tetap dengan kertas, namun sekadar laporan-laporan selama magang. Jalur ini dirasa lebih efektif dibandingkan jalur lain. Namun siapa sangka, tidak semua mampu melakukan hal ini. Setiap manusia memiliki kemampuan berbeda-beda. Mungkin saja skripsi dilakukan hanya kepada orang yang mampu menulis dan kuat dalam teori saja, dalam hal praktik merekan hanya sekadar mampu. Namun jalur magang digunakan pada orang yang mampu teori namun mereka terampil dalam hal mengerjakan sesuatu. Ya itu, ada yang mahir di teori, ada yang mahir di praktik. Hal tersebut lazim dialami setiap manusia di muka bumi.

Universitas Indonesia sebagai kiblat dan contoh pendidikan tinggi di Indonesia, dirasa selalu mengembangkan ilmunya agar tetap menjadi lulusan unggul. Sehingga kampus ini tetap saja menjadi yang terbaik dan menjadi dambaan bagi sebagian besar tamatan-tamatan SMA/sederajat. Kepuasan dan kebanggan menjadi hal utama saat ini, tentu saja karena mahasiswa tidak akan lagi merasa ilmunya tidak berguna, namun mereka akan bersyukur dan bangga pernah mengalami hal-hal demikian. Tidak perlu lagi penyesuaian, sudah terjun ke dunia nyata dalam kurun waktu lama, akan menjadi kebiasaan hingga akhirnya. Tolak ukur sudah dapat diterka, maka bayangan-bayangan tersebut sudah mampu ditebak.

Hal-hal baik seperti ini merupakan contoh pendidikan Indonesia tidak hanya diam. Universitas Indonesia juga baru-baru ini terus mengembangkan program studinya yang baru sebagai ilmu-ilmu terapan. Patutnya bukan hanya kampus top saja seperti Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bangung, Institut Pertanian Bogor saja yang produktif. Seharusnya kampus lain juga dapat menyusul dan mengimbangi hal-hal baik ini, terutama bagi kampus-kampus berplat merah. Jalur nonskripsi menunjukkan kemajuan-kemajuan dan bukti nyata bahwa pemuda-pemudi tidak tidur, namun terus bekerja dan mengembangkan segala ilmu-ilmu yang diembannya. Semoga saja langkah-langkah kebaikan ini diikuti oleh kampus-kampus lain yang bukan sekadar peningkatan fasilitas melulu yang digembar-gemborkan, namun riset pengembangan pendidikan yang memotivasi mahasiswa terus berkembang. Bayangkan saja, celaan kepada mahasiswa terus terlontar dari mulut orang-orang yang tidak mengenyam bangku kuliah dan orang-orang yang putus kuliah. Jangan mau dikatakan demikian, waktu 4 tahun tidak sedikit, dan biaya tidak murah meskipun berstatus negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun